“Kekepoan yang membawa berkah” – kisah papiku yang kepo.


Sore itu Papih menelepon dengan background yang agak bising.

“Pei, ini Papih teh lagi di ondangan, ada tamu yang semeja sama Papih teh cucunya kena kawasaki cenah. Jadi ku Papih dikasih nomer Pepei ya bisi mau tanya-tanya langsung.” (Note:kami bicara dengan logat dan tambahan kosa kata bahasa Sunda 😄 seperti: cenah, teh, naon dll)


Ayah saya, yang saya panggil Papih adalah seorang yang sangat gemar berorganisasi. Sejak remaja Papih menekuni bela diri Karate dan beliau sangat aktif di organisasi tersebut hingga sekarang di usia 74 tahun. Papih juga seorang supel dan ramah. Apabila di sebelahnya ada orang yang tidak dikenal di sebuah momen yang sama, dia tidak akan segan untuk menyapa dan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Dia juga pandai berbicara di depan umum. Dia sering diberi tugas menjadi Master of Ceremony (MC) di acara perkumpulan yang dia ikuti. Kalau ada Papih, pasti suasana menjadi seru. Istilah jaman sekarang ‘ga ada lu ga rame’.

Papih juga seorang yang murah hati dan suka menolong. Dia akan melakukan apa yang dia bisa ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Siapa pun itu, baik saudara, teman, pegawai atau orang yang tidak dia kenal sekalipun.

Seperti yang terjadi sore itu, ketika dia sedang berada di sebuah pesta pernikahan. Dia duduk semeja dengan beberapa teman yang dia kenal dan sebagian yang tidak dikenalnya.

Tamu yang duduk tepat di sebelahnya, seorang pria paruh baya yang tidak dikenalnya, sangat sibuk menelepon beberapa kali dan kelihatannya beliau sedang dihadapkan pada satu masalah yang cukup serius. Hingga akhirnya si Om sedikit berteriak ketika dia bicara di telepon dan Papih mendengarnya.

“…naon? Kawasaki? Naha siga ngaran motor? Panyakit eta teh?”(apa? Kawasaki? Koq seperti nama motor? Memangnya itu penyakit?”)

Setelah si Om selesai menelepon, Papih tidak segan2 lagi bertanya, “maaf ko, siapa yang kena Kawasaki? Cucu saya barusan kena juga.”

“Oh, bener itu teh penyakit? Ini anak saya barusan telepon, katanya cucu saya udah panas beberapa hari, trus tadi ke dokter teh cenah kena Kawasaki. Sugan saya teh hereui, da Kawasaki mah setau saya ngaran motor. (Saya kira dia bercanda, soalnya saya taunya Kawasaki itu nama motor).

Lalu berlanjutlah pembicaraan mereka hingga berujung pemberian nomer telepon saya.

Tak lama setelah itu, anak dari Om ini menelepon saya. Kami tidak perlu berbasa basi lebih lanjut waktu itu karena kondisi anak ini memang sudah cukup serius untuk segera dibawa ke Jakarta untuk ditangani oleh dokter spesialis yang ahli di bidangnya. (untuk informasi mengenai penyakit Kawasaki, bisa klik link berikut)

Perjalanan iman melalui “Kawasaki Disease” – part 1

Akhir dari cerita yang diawali oleh ‘kekepoan’ Papih saya ini berujung bahagia. Sang anak segera dibawa ke Jakarta dan mendapat perawatan yang tepat.

Papiku yang kepo nan peduli terhadap sesama

Saya jadi teringat, suatu hari saya makan di sebuah cafe cantik. Sambil menunggu makanan keluar, datanglah sekawanan orang asing berambut pirang duduk tidak jauh dari meja saya.

Pelayan cafe itu tidak dapat berbahasa Inggris dan menunya juga disajikan dalam bahasa Indonesia. Saya mendekati mereka dan menawarkan bantuan untuk menjadi penerjemah di antara keduanya. Setelah mereka selesai memesan, kami pun lanjut bercakap-cakap sambil berkenalan.

Pernah juga suatu hari saya sedang mengantri di sebuah supermarket di mal Semarang. Di depan saya berdiri seorang wanita asing berambut pirang sedang menunggu giliran untuk bayar. Sesampainya di kasir, dia merogoh tasnya untuk mengambil dompetnya. Namun setelah beberapa saat dia tidak dapat menemukan dompet yang dicarinya. Saya kepo tentunya, dan spontan saya bertanya padanya apa yang terjadi.

Dia bilang kalau dia yakin dompetnya dicuri orang di mal itu. Dan bukan kebetulan kalau sehari sebelum kejadian ini, saya kehilangan handphone di mal ini juga. Saya membantu wanita ini untuk melapor ke bagian security seperti yang saya lakukan persis di hari kemarin. Seperti dejavu rasanya. Saya meminta security untuk memutar rekaman CCTV yang pada saat itu masih hitam putih dan gambarnya sangat buram, tidak jelas sama sekali dan saya merasa CCTV di mal tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan hanya untuk formalitas saja.

Wanita ini meminta tolong agar saya untuk menelepon supirnya melalui handphonenya karena supirnya tidak dapat berbahasa Inggris. Lalu dia menelepon suaminya dan menceritakan apa yang terjadi.

Mereka sangat terpukul karena besok mereka akan meninggalkan kota Semarang, setelah tinggal disini selama 5 tahun, untuk pindah ke New Zealand. Mereka harus memblokir credit card yang ada di dompet wanita tersebut dan melapor ke berbagai instansi untuk menghindari pencurian identitas. Yang saya kagumi dari wanita ini adalah cara dia menghadapi kejadian malang yang dialaminya. Dia tidak marah-marah, tidak emosi, tidak teriak-teriak atau menangis. Dia menghadapinya dengan tenang dan pasrah. (Beda banget dengan saya di hari kemarin wkwkwkwkwk)

Dari pengalaman-pengalaman di atas, saya setuju dengan pernyataan bahwa anak meniru orang tuanya meskipun mereka tidak pernah mengajarkannya.

Saya sering melihat Papih dan Mamih saya menyapa orang dan mengajak ngobrol, sehingga saya tidak pernah kesulitan untuk bertemu orang baru dan berada di lingkungan yang baru. Begitu pula berbicara di depan umum. Bagi saya, hal tersebut bukan sesuatu yang sulit karena saya sudah biasa melihat Papih melakukannya sejak saya kecil.

Di Indonesia, rasa kepo itu sangat tinggi. Lihat saja kalau ada kecelakaan di jalan. Yang kepo langsung berkerumun. Ga tau duduk perkaranya sok ikut-ikutan paham. Tapi, dari cerita di atas, kepo tidak selalu buruk.

Yang buruk itu, ketika kita kepo akan apa yang terjadi pada orang lain, lalu menjadikannya bahan gosip yang merugikan orang tersebut.

Jadi….

kepolah untuk mendatangkan berkah,

kepolah untuk mendatangkan kebaikan,

kepolah untuk menolong orang lain,

kepolah untuk sebuah perubahan,

kepolah untuk kemanusiaan,

kepolah untuk mendoakan.

Tetaplah kepo, karena kepo menunjukkan kita peduli.

#kepo #parenting #budayakepo

“Finding your innermost demon” – sebuah tulisan di atas awan.


Kala itu, dalam perjalanan Dubai ke Jakarta, saya berusaha untuk tidak tertidur, dengan harapan agar sesampainya di Jakarta saya bisa tidur di jam yang normal.

Agar tetap terjaga, saya menonton sebuah film Bollywood yang berjudul “Dear Zindagi”.


Saya bukan penggemar film India, bukan juga penggemar Shah Ruk Khan, tapi film ini saya pilih karena berada di Top 5 Emirates Picks.

15 menit pertama, film ini menceritakan tentang kisah hidup seorang wanita muda bernama Kaira yang kerap kali gagal dalam menjalin hubungan, baik dengan lawan jenis maupun dengan keluarga dan teman-teman wanitanya.

Masalah datang bertubi-tubi hingga akhirnya Kaira mengalami insomnia (kesulitan untuk tidur). Karena kondisi ini mengganggu aktifitas hariannya, Kaira memutuskan untuk berkonsultasi dan menjalani terapi dengan seorang psikiater yang diperankan oleh Shah Ruk Khan.

Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya Kaira dapat mengeluarkan isi hatinya yang paling dalam pada dokter tersebut. Ternyata ketakutan Kaira untuk menjalin hubungan dengan sesama disebabkan oleh kepedihan yang dialaminya waktu kecil.

Pada usia 2 tahun, Kaira dititipkan pada kakek dan neneknya sementara orang tuanya pergi ke luar kota untuk merintis sebuah bisnis. Hari demi hari dilalui Kaira tanpa kasih sayang ayah ibunya meskipun kakek dan neneknya sangat mengasihinya.

Setelah Kaira bisa menggambar dan menulis, dia selalu mencurahkan isi hatinya berupa gambar dan tulisan yang dikirim kepada orang tuanya. Namun, orang tuanya sangat jarang membalas suratnya dengan berbagai alasan.

Hingga akhirnya setelah Kaira berumur 6 tahun, orang tuanya kembali membawa adik bayi Kaira. Hal ini membuat Kaira cemburu dan hatinya sangat terluka karena di mata Kaira, orang tuanya tampak lebih peduli dan sayang pada adiknya.

Pengalaman ini menggoreskan luka yang sangat dalam dan mempengaruhi kepribadian Kaira yang kelihatan sangat sombong, judes dan angkuh. Kerap kali dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis dia enggan untuk berkomitmen karena sesungguhnya Kaira takut ditinggalkan & dicampakkan, seperti perlakuan orang tuanya di masa lalu.

Setelah menceritakan masa kecilnya yang pedih, Kaira menangis sejadi-jadinya dan saat itu menjadi titik balik dalam hidupnya.

Sang terapis memberi nasihat agar masa lalunya tidak mem-“black mail” kebahagiaan di masa sekarang dan menghancurkan masa depan Kaira.

Sejak saat itu, Kaira mulai dapat melihat orang-orang di sekitarnya dengan kacamata yang berbeda. Dia dapat merasakan atmosfir yang positif kembali. Hubungan dengan ayah dan ibunya mulai pulih. Ibunya bahkan meminta maaf pada Kaira.

Akhir dari film ini tidak akan saya ceritakan – just in case ada yang ingin nonton sendiri.

Tapi moral dari film ini menurut saya sangat bagus. Karena tidak sedikit dari kita yang mengalami masa kecil yang kurang bahagia.

Banyak anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang yang penuh dari ayah dan ibunya. Mungkin orang tuanya sibuk mengurus bisnis atau bekerja.

Ada juga yang mengalami trauma yang luar biasa pada masa kecilnya. Contohnya, perceraian orang tua, meninggalnya orang tua atau saudara kandung, sebuah peristiwa atau kecelakaan yang membekas dalam hidupnya.

Ada lagi yang keluarganya utuh, namun ayah ibunya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka tidak tahu bagaimana menjadi orang tua untuk anak-anaknya karena usia mereka terlalu muda ketika dikaruniai anak.

Sebagian mengalami trauma pada masa remaja. Mereka di bully atau dilecehkan, diputus pacar, di ghosting atau dilukai oleh pasangannya.

Banyak juga kasus dimana para orang tua secara tidak sadar menyakiti hati anak-anaknya karena mereka juga pernah terluka atau dilukai.

Atau para orang tua dengan segudang kesibukan dan rutinitas yang ada, kurang memberikan waktu dan perhatian sehingga anak-anak merasa diabaikan, tidak berharga dan tanki emosi anak-anak mereka menjadi kosong.

Hal-hal di atas akan mempengaruhi kepribadian dan emosi seseorang serta mempengaruhi hubungan dan cara dia berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

Yang klise, umumnya yang menjadi korban adalah orang-orang terdekatnya seperti ayah, ibu, suami, istri dan anak-anak. Dan orang yang bersangkutan akan sulit untuk mensyukuri dan menikmati kehidupan yang telah dianugrahkan Tuhan kepadanya.

Pernah mendengar sebuah ungkapan bahwa orang yang tersakiti, cenderung akan menyakiti orang lain?

Hurt people hurt people.

Apabila kita merasa hal ini terjadi pada diri kita, anak-anak atau orang-orang terdekat kita, carilah pertolongan untuk membereskannya. Trauma atau kepedihan itu harus diproses hingga tuntas.

Caranya?
Konseling dengan orang yang tepat. Atau untuk langkah awal, kenali trauma atau kepedihan ini dengan merenung secara pribadi apa yang selama ini menjadi ‘demon‘ (setan) dalam diri kita.

Berdamailah dengan masa lalumu. Berdamailah dengan diri sendiri. Ampuni orang yang melukai hati kita dan berkati mereka.

Yang terakhir…. move on. Enjoy life. Hidup hanya sekali. Nikmati anugrah yang sudah Tuhan beri. Make the best of it.

Seorang raja bijaksana pernah berkata, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan”

Peila Silvie
16th May 2017
@Emirates Aircraft
Otw from Dubai – Jakarta

#relationship #startingright #trauma #hurtpeople #forgiveness

“Dalam pernikahan: tak cukup hanya Cinta” – POV dari seorang yang telah menjalani.


Menemukan pasangan hidup lalu menikah kerap menjadi ‘final destination’ seseorang ketika memasuki usia dewasa, terutama kaum Hawa.

Proses ini biasanya berawal dari rasa ketertarikan pada lawan jenis dengan berbagai cerita; ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama, ada yang awalnya berteman lalu saling suka, ada yang bertemu di tempat kerja, ada yang bertemu secara tidak sengaja… duduk bersebelahan di dalam kereta misalnya.

Begitu banyak cerita dan peristiwa seputar cinta yang berujung di pelaminan. Banyak pula yang gugur di tengah jalan… meninggalkan luka, mengubur asa, berujung kepahitan.

Cinta memang mengawali sebuah hubungan, namun nyatanya, dalam pernikahan ‘tak cukup hanya Cinta’. Banyak hal lain yang perlu dimiliki dalam menjalani pernikahan.

1. Pengertian
Dibutuhkan pengertian untuk memahami sikap dan perilaku dua insan yang tumbuh dalam pola asuh dan latar belakang keluarga yang berbeda, kemudian bertemu ketika mereka sudah dewasa dan menjadi SATU.

2. Pengorbanan
Kesepakatan dapat diraih ketika keduanya bersedia mengorbankan ego masing-masing.

3. Materi
Meski terdengar duniawi, namun tak dapat dipungkiri uang dapat menjadi sarana untuk mewujudkan mimpi.

4. Komitmen
Cinta dapat pudar, namun janji suci untuk selalu mendampingi dalam segala kondisi yang diucapkan di hadapan Tuhan dan para saksi harus ditepati.

Namun, yang terutama dan yang terpenting tetaplah Cinta.

Tanpa cinta, kita tak mau mengerti,
Tanpa cinta, kita tak rela berkorban,
Tanpa cinta, materi menjadi tuan,
Tanpa cinta, komitmen menjadi beban.

Pernikahan bukan akhir dari sebuah pencarian. Bukan akhir dari masa pacaran. Bukan juga sebuah pencapaian. Apalagi sebuah pelarian.

Pernikahan adalah awal sebuah rumah tangga yang baru, awal sebuah proses pembentukan karakter, awal perjalanan yang seru, ketika dua menjadi SATU.

Dalam pernikahan, masa pacaran dengan segala keseruannya harus tetap berlanjut, karena dalam pernikahan kita akan semakin mengenal diri kita sendiri dan semakin mengenal pasangan kita.

Pernikahan adalah proses pemurnian. Bagi pria, menjadi seorang imam dan kepala yang mengasihi istri. Bagi wanita, menjadi penolong yang setia dan menghormati suami.

Peran suami dan istri bagaikan sepasang sepatu. Berbeda kanan dan kiri, namun tak dapat dipisahkan dalam menjalankan misi. Bersatu melangkah menggapai visi.

“Relationship goal” dalam setiap pernikahan adalah untuk selalu mengingat dan memahami esensi dari pernikahan itu sendiri. Bukan tentang aku atau kamu lagi, tapi tentang KAMI.

To have and to hold,
For better for worse,
For richer for poorer,
In sickness and in health,
To love and to cherish,
For as long as we both shall live.

07.01.22

#takcukuphanyaCINTA #relationshipgoal #marriagelife

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 18 – FINALE)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Rabu, 7 Juli 2021 – Hari ke 26

Semalam saya sudah menyusun rencana untuk pagi ini. Kalau beberapa hari terakhir saya terpukau dengan pemandangan matahari terbenam, di hari terakhir ini saya ingin melihat indahnya langit dengan pemandangan matahari terbit. Meskipun matahari terbit dan terbenam terjadi setiap hari sama seperti udara yang kita hirup setiap detik, namun kita sering tidak menyadari keberadaannya.

Saya membuka gorden di kamar. Langit masih gelap. Saya panjatkan doa dengan menitikkan air mata. Grateful, excited, terharu biru After 23 days in isolation, I am finally going home to be with my family. Saya membayangkan mungkin seperti ini yang dirasakan seorang napi di hari pembebasannya.

5.35 saya ke rooftop. Di sebelah timur, langit begitu cantik. Terlihat ada gradasi warna alami yang sangat indah disana. Saya mengabadikannya di handphone sambil mengagumi fenomena ini. Dari gradasi warna tadi, perlahan saya melihat matahari terbit seperti cincin dengan semburat warna oranye yang indah di sekitarnya, hingga akhirnya Sang Mentari tampak sepenuhnya. Saya merekamnya selama 9 menit tanpa berhenti. Pegel? Iya wkwkw, tapi worth it.

Saya kembali ke kamar dan mulai memasukkan barang ke mobil satu per satu. Dimulai dengan yang ringan dulu supaya bisa dibawa sekaligus di lengan kanan dan kiri. Lalu balik ke kamar untuk mengambil barang selanjutnya. Baru sekali jalan, badan sudah berkeringat dan nafas ngos-ngosan, tapi saya berusaha santai dan tidak buru-buru sambil sesekali mengatur nafas.

Setelah bolak balik 4 kali, saya berdiam diri sejenak, agar keringat berhenti mengalir. Saya rapihkan ranjang dan bersihkan kamar sehingga tampak bersih dan rapih sama seperti waktu saya datang. Lalu saya mandi dan sarapan.

Saya membuka pintu kamar membawa koper dan oksigen. Ternyata ada petugas hotel yang sedang membersihkan lorong. Saya minta tolong bapak tersebut untuk membantu membawakan sisa barang saya ke mobil. Akhirnya selesai sudah sesi angkut-angkut barang. Saya menyerahkan kunci kamar ke mbak yang bertugas di reception dan memberikan sedikit apresiasi atas pelayanannya selama saya disana.

Jam 7.30 saya meninggalkan hotel menuju rumah sakit untuk mengambil hasil X-ray kemarin sekaligus mengulang cek lab yang kemarin gagal. Saya juga datang pagi karena ingin daftar on the spot untuk konsultasi dengan dr. Indra.

Saya sangat senang ketika membaca hasil X-ray yang menyatakan bahwa bercak sudah berkurang. Meski jujur kalau lihat film x-ray nya, saya tidak bisa membedakan dengan hasil-hasil sebelumnya. Tapi, kesan yang ditulis dokter disitu cukup membuat saya senang dan puas. Finally, ada satu titik dimana bercak tidak terus bertambah namun berkurang. It is a good sign.

Suasana di ruang tunggu lab begitu sepi. Hanya ada suster yang duduk di belakang counter. Yes.. I’m the first one, pikir saya.

“Sus, saya mau daftar untuk konsultasi dengan dr Indra pagi ini bisa ya?”

“Sebentar saya cek ya. Em… maaf ibu, dr Indra hari ini cuti tuh”

“Lho, kemarin malam saya telepon kesini katanya praktek, malah disuruh daftar langsung pagi ini”

“Iya bu, maaf mungkin yang angkat telepon tidak tahu kalau dr Indra hari ini cuti”

“Oh ya udah kalau begitu, terima kasih Sus”

Saya langsung menuju ke lab untuk pengambilan darah. Tidak ada pasien lain yang menunggu disitu. Suster yang bertugas seorang wanita yang belum saya lihat sebelumnya.

“Pagi ibu, silahkan duduk. Bisa tolong sebutkan nama dan tanggal lahir”

“Semoga hari ini berhasil ya Sus, kemarin saya ditusuk 3x tapi gagal semua.”

Tanpa ditanya, saya lalu bercerita pada susternya kalau hari ini saya akan pulang ke rumah menemui anak-anak.

“23 hari isoman sus, hari ini saya pulang”

“Sama persis bu, saya juga 23 hari isoman dan hari ini saya pertama kali mulai bekerja lagi.”

“Wah kita jodoh ya. Kok bisa persis”

Lalu suster tersebut bercerita bahwa hampir semua koleganya sudah terpapar.

Kali ini sekali coblos saja, darah langsung mengalir. Saya lega… lega sekali, karena kemarin saya ketakutan kalau darah kental.

Setelah selesai semua, saya bergegas meninggalkan rumah sakit. I just can’t wait to go home.

Di tengah perjalanan menuju rumah, saya ingat kalau sudah beberapa hari anak saya yang sulung ingin makan semangka, jadi saya mampir dulu ke super market yang saya lewati. Entah mengapa saya merasa bahagia bisa bebas kembali melakukan aktifitas seperti sebelumnya.

Bayangan saya, sepulangnya nanti, saya akan mulai masak kembali, menyiapkan sarapan, makan siang, cemilan, makan malam, sehingga yang awalnya hanya bertujuan membeli semangka, berakhir dengan satu troli penuh, termasuk Dark Chocolate favorit saya yang sudah saya idam-idamkan.

Sampai di depan rumah, saya masukkan mobil, lalu menurunkan belanjaan dan sebagian barang. Lalu saya mandi di kamar mandi belakang. I can’t wait to surprise my sons.

Rambut yang masih basah saya tutup dengan handuk dan saya bergegas masuk ke dalam rumah. Saya menyapa tanaman-tanaman saya yang berjajar di tangga. Syukurlah kalian masih hidup.

Saya sudah menyiapkan handphone untuk merekam adegan pertemuan saya dan anak-anak, meski saya tahu reaksi mereka akan biasa-biasa saja seperti beberapa surprise yang saya berikan sebelumnya.

Memasuki ruangan depan, kondisi rumah masih sama persis sewaktu saya tinggalkan 23 hari yang lalu. Tidak ada yang berubah, letak berantakannya masih sama wkwkkwwk. Lalu saya memasuki kamar anak-anak dengan diam-diam. Mereka berdua sedang rebahan sambil asik bermain iPad.

“Boys, I’m home”
Serentak mereka menoleh dan menghampiri saya.

“Mama….”

“I miss you so much boys.” Saya tak kuasa membendung air mata. Kami bertiga berpelukan.

“You miss me?” – Tanya saya lagi… wkwkwk mama yang insecure ini. Memang kadang kita perlu peneguhan kalau keberadaan kita sungguh-sungguh diharapkan.

Ditinggal 3 minggu aja, anak2 sudah kelihatan lebih tinggi. Saya mengajak anak-anak untuk selfie lalu mengirimkan fotonya kepada keluarga dan teman-teman.

“Ci, udah tak bilangi, kowe kudu ayu, kok malah andukan” wkwkwkk

“Kesuwen kalo macak dulu (kelamaan kalau dandan dulu)”

Lalu saya menuju ke meja makan dan terkejut ketika melihat lap tangan biru yang masih tergantung disana. Lap tangan yang sama ketika saya meninggalkan rumah ini 23 hari yang lalu wkwkwk… Yang berbeda adalah, ada air purifier di setiap ruangan.

Saya membereskan belanjaan saya dan barang-barang dari hotel, namun baru sebentar saja, jantung rasanya sudah berdegup kencang dan nafas kembali ngos-ngosan. Ah sebaiknya saya rebahan dulu. Mungkin perlu penyesuaian, karena biasanya ruang lingkup saya di kamar hotel hanya sepetak saja.

Sambil rebahan, saya chatting di beberapa group. Menginformasikan kelegaan saya that I’m finally home.

Saya masih berbaring ketika menerima berita yang sulit untuk diterima.

Itax sudah berpulang.

Ada rasa sakit di dada. Nyesek rasanya. Begitu cepat dia pergi. Belum siap menerima kabar ini.


Di sekolah anak-anak kami, saya dan Itax dipertemukan. Waktu itu kami diberi tugas untuk membuat kostum dari barang-barang bekas. Jujur, saya bukan penganut aliran kreatif. Untuk art & craft, I give up.

Bersyukur saya dipasangkan dengan Itax, seorang yang kreatif dan telaten. Dia mengusulkan membuat kostum dari bungkus nutrijel. Saya ‘manut’. Tinggal gunting, gunting, lem…. gunting, gunting, lem…. tidak ada kreasi lebih dari saya. Itax dengan sabar membantu sebisanya. Tiga tahun anak-anak kami sekelas terus, sehingga kami pun sering bertemu saat menjemput sekolah.

Di mata saya, Itax sangat perhatian pada anak-anaknya. Dia selalu ‘well prepared’ kalau ada tugas dari sekolah. Dia yang selalu info di group mami2 perihal tugas anak-anak. Dia yang selalu menawarkan diri membantu mendekor kelas untuk acara pemotretan dan perpisahan. Dia juga yang berinisiatif membuat group ketika mami2 perlu berdiskusi untuk acara kelas. Dia seorang ibu yang rajin dan cakap.


Hari ini, 7 Juli 2022, tepat setahun Itax meninggalkan kami semua. Baru hari ini saya dapat menyelesaikan rangkaian tulisan saya mengenai pengalaman saya selama karantina 23 hari tahun lalu. Awalnya saya menulis dengan menggebu-gebu, berbagi pengalaman dan cerita lucu, siapa tau ada yang butuh saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, ketika tiba saatnya untuk menceritakan apa yang terjadi di hari itu, 7 Juli 2021, hari dimana saya pulang ke rumah, namun di saat yang sama, Itax pulang ke rumah Bapa. Saat itu, saya tidak mampu menulis lagi. Tidak mampu menyelesaikan episode terakhir ini.

Hari ini, saya selesaikan apa yang sudah saya mulai. Tuhan sangat baik dan saya percaya Dia telah mengangkat dan memulihkan Itax untuk berada dalam kekekalan menikmati kemuliaanNya. Terima kasih Itax, telah mewarnai kehidupanku dengan ketulusanmu, keceriaanmu, kesederhanaanmu, ke-kreatifanmu. Kamu telah meninggalkan legacy yang berharga untuk anak-anakmu. Rest in peace my dear friend, we love you.


Buat teman-teman yang telah mengikuti perjalanan covid saya dari episode 1 hingga episode terakhir ini, saya mengucapkan terima kasih telah menyempatkan diri untuk membaca dan memberikan feedback, komentar dan menghibur sekaligus memberi semangat pada saya untuk terus menulis.
Maaf kalau tiba-tiba terhenti, saya juga heran sendiri, mengapa tak mampu menulis lagi.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan perhatian dalam doa, kiriman makanan, obat, buah, panci, ucapan lewat WA, telepon, haha hihi di group dan berbagai tips dalam menanggulangi Covid.

Hari ini saya telah kembali. Doa saya agar kita semua diberi kesehatan dan selalu dalam perlindungan Tuhan. To God be the glory.

7 Juli 2022.