Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 4)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Selasa, 15 Juni 2021 – Hari ke 4

Semalam ketika saya chatting dengan Dr L dan adik saya yang di Jakarta, Diana, saya merasa lapar. Biasanya kalau lapar lewat jam 9 malam saya tahan. Tapi karena saya sedang berperang, akhirnya saya makan sebuah apel karena mulut mulai berasa tidak enak dan saya ingin yang segar-segar. Adik saya info berbagai tips untuk terapi covid dari berbagai sumber dan salah satunya adalah terapi uap, dimana kita harus membuka mulut kita di atas teko yang di dalamnya ada air mendidih. Tujuannya agar virus-virus yang di mulut bisa mati dan tidak mencapai saluran pernafasan. Sudah lama saya mendengar tentang terapi ini. Papi saya melakukannya setiap hari meskipun dia tidak sakit. Dia percaya dengan melakukannya secara konsisten akan mencegah virus yang akan masuk ke dalam saluran pernafasan. Meski saya skeptik akan efektifitasnya, tapi tidak ada salahnya saya coba. Masalahnya di kamar saya tidak ada teko listrik, jadi adik saya berinisiatif untuk mengirimkan panci electrik mini yang belum pernah dia pakai, yang bisa juga untuk menghangatkan soup atau merebus telur. (baca: masak indomie wkwkwkwk)

Pagi ini saya bangun dengan ucapan syukur karena masih hidup. Bener deh, kalau sudah sakit, setiap moment jadi berharga dan harus kita syukuri. Meskipun biasanya setiap bangun tidur saya selalu mengucap syukur, tapi kali ini ucapan syukur itu terasa lebih sungguh-sungguh. Ketika saya membuka mata dan saya melihat lampu kamar, saya tahu saya masih hidup di dunia. Setelah itu saya langsung mengambil oximeter dan thermometer yang selalu saya taruh di samping saya. Masih di 38.8, saturasi 98 dan detak 113.

Semalam sudah minum obat penurun panas karena demam tak kunjung turun. Namun pagi ini masih dengan suhu yang sama. Tapi saya tidak merasakan demam, sudah tidak begitu pusing, hanya keluar keringat dingin sesekali. Entah itu akibat dari efek penurun panas yang saya minum, biasanya kan gitu, kalau sudah keluar keringat, suhunya turun dan kita berkerigat.

Saya segera mencari 2 obat yang masih belum saya dapatkan yaitu pengencer darah Lixiana 15mg dan Prove Vit D3 5000iu. Saya coba kontak apotik dekat rumah saya. Dan puji Tuhan ada. Langsung saya pesan meskipun jaraknya dari apotik ke hotel sangat jauh dan biaya ongkirnya sendiri lumayan mahal, namun saya tidak ada pilihan lain karena beberapa apotik dekat sini yang saya WA juga kosong.

Saatnya menyusun strategi untuk menang dari peperangan ini. Saya susun daftar obat yang harus saya minum dalam sehari. Lalu saya buat jadwal di handphone dengan setting alarm untuk tiap obat. Dimulai dari bangun pagi jam 6.30, saya beri judul alarm tersebut “Rise & shine, eat healthy breakfast”. Ceritanya untuk memotivasi diri supaya semangat bahwa kita masih diberi kesempatan untuk hidup dan be healthy. Lalu saya setting alarm untuk masing-masing obat beserta jadwal breakfast, lunch and dinner supaya saya minum obat dengan teratur dan terjadwal. Jadi awal minum obat jam 7, dan berakhir jam 9 malam karena antibiotik pertama yang saya minum jam 9 malam dan saya sudah di warning agar meminumnya di waktu yang sama setiap hari.

Pagi itu saya ingin makan bubur Wa Apuy lagi. Selain dekat dengan hotel, sepertinya nafsu makan saya sudah agak menurun sehingga saya harus makan makanan yang saya sukai. Di benak saya, tidak ada kenikmatan lain selain makan bubur Cianjur Wa Apuy saat itu. Dan puji Tuhan, masih enak.

Setelah menyantap habis bubur tersebut, saya menyiapkan diri untuk mengkonsumsi obat antivirus yang harus diminum 8 tablet sekaligus. Saya bukan pecinta obat, meski saya tidak fit, biasanya saya akan mencari obat alami seperti lemon dan madu, empon-empon atau paling mentok pun Tolak Angin. Tapi kali ini, I have no choice.

Tidak lama, saya di WA sahabat saya yang sudah saya info sejak hari Minggu pas antigen saya positif. Dia menanyakan apa yang saya butuhkan dan dia mau mengirimkan beberapa makanan untuk saya. Jeng Tinah (bukan nama sebenarnya tapi saya memanggil dia dengan sebutan demikian – jangan tanya mengapa karena akan menjadi sebuah cerita panjang lagi hahahaha) ingin mengirimkan vitamin yang biasa dia minum dan merasa segar kalau dia minum itu. Saya bilang, tidak perlu karena vitamin yang diresepkan dokter sudah cukup banyak. Saya juga bukan seorang yang suka minum supplemen. Dalam pikiran saya, semua bahan yang diproses di laboratorium menjadi kapsul atau tablet atau liquid sekalipun, perlu diurai di dalam tubuh dan akan memperberat kerja ginjal. Jadi saya hanya meminum vitamin tertentu yang saya kira saya butuhkan.

Tibalah kiriman jeng Tinah sangat secure, diikat cable ties yang sangat tebal alias heavy duty dan saya baru menyadari kalau saya tidak punya gunting atau cutter yang mumpuni. Saya coba ingat-ingat.. apakah di perlengkapan emak-emak saya ada benda tajam yang bisa saya pakai untuk membuka cable ties ini. (cari akal ala MacGyver – kalo gak tau ini siapa artinya kita gak seangkatan ya wkwkwk). Dua benda tajam yang saya bawa ternyata pisau cukur alis dan gunting kuku. Dua-duanya gagal dalam misi.

Saya tidak mau pinjam sama pihak hotel karena apa yang sudah masuk kamar saya akan terkontaminasi dan saya akan butuh gunting tersebut untuk kiriman atau pesanan gojek saya selanjutnya. Akhirnya saya bilang sama Jeng Tinah bahwa saya tidak bisa membuka kirimannya karena tidak ada gunting dan tidak lama datanglah kembali kiriman kedua yang berisi cool box yang berisi es batu, cutter dan gunting. Jeng Tinah memang gercep dalam memberi dan menolong.

Beberapa teman di group sudah menyapa…

“Ci Pei apa kabar?”

“masih hidup”

Cek WA di beberapa group semua obrolan tidak jauh dari seputar covid. Si anu kena satu keluarga, si anu butuh plasma, si anu di ICU. Brrrrrrr berita-berita gini bikin hati ciut. Belum lagi tanggapan2 teman2 di group ketika ada kabar si anu kena covid. Yang satu akan bilang… “Kok bisa ya?”

“he? kena dari mana toh kok isa?”
“mungkin ga pake masker atau maskernya ga bener.”

Pagi itu Tania si juragan buah WA, dia infokan bahwa teman kita juga ada yang positif dan akan segera bergabung isoman dengan saya.

“Km mau buah apa ci ta kupasin sisan ta kirimin”

“Katane buah naga bagus Tan, punya ga?”

“Paling itu sama pisang aja. Disini ga ada kulkas jadi ga bisa store. Harus masuk perut langsung.”
Dan tidak lama kemudian, buah naga dan pisang sudah sampai.

Saya menyiapkan hati untuk memberi tahu kalau saya positif ke group satunya yang saya anggap sahabat-sahabat dekat saya. Saya ingin stigma tentang orang kena covid ini bukanlah aib, dan tidak perlu ditutup-tutupi, tapi tidak perlu juga untuk diumumkan ke semua orang. Yang kita perlukan adalah dukungan doa dari orang-orang terdekat kita.

“Morning Ladies.. Mau sampaikan berita kalo aku sekarang lagi isoman hari ke 2 karena positif. Sudah antigen dan pcr jg sama2 positif hasilnya. Mohon doanya ya. Tlg ga usah tanya dpt dr mana krn aku sendiri ga tau. Alvin, mami dan anak2 sdh dites semua mereka baik2 negative semua. Kondisiku baik2. Saturasi aku cek tiap jam. I guess the circle is getting smaller and smaller. Hope everyone are well.”

Ah akhirnya lega sudah memberi tahu family dan sahabat2. Kecuali Papih saya. Alasannya karena saya tidak ingin membuat dia down. Akhir-akhir ini dia banyak kehilangan sahabatnya karena covid sehingga dia sudah cukup stress. Saya tidak ingin dia tambah stress dan akhirnya kepikiran, imun turun – dan ini akan menjadi snowball. Papi stress, saya ikut stress juga. Saya teringat waktu anak saya usia 3 tahun, harus diopname. Papih langsung berangkat dari Bandung ke Semarang. Sebegitu concernnya dia. Meskipun saya tau ini tidak mungkin terjadi pada masa ini, tapi saya sangat khawatir kalau Papih tau saya terkena covid. Jadi untuk saat ini saya bilang ke adik-adik saya untuk tidak memberi tahu Papih.

Siang saya hanya makan buah naga yang dikirim Tania. Baru makan beberapa potong saya merasakan ada yang aneh. Saya WA Tania.

“ini buah naga harusnya manis kah.Krn skg aku nyoba udh ga ada rasane cenderung asem. Aku ga tau apa ini yg namanya hilang indra perasa 🤣?”

“Iyes. Ga berasa? Hahahaha ya paling 3 hr ilange kan ci”

“tadi makan bubur masih keroso 😀”

“it tasted weird tapi habis anyway”

Saya penasaran. Saya coba 1 siomay yang tadi dikirim Jeng Tinah. Oh no…. rasanya sama dengan buah naga tadi. Aneh.

Masih penasaran, saya coba 1 proll tape yang barusan dikirim Ci Nany. Rasanya sama anehnya dengan buah naga dan siomay. Hanya teksturnya yang berbeda. Rasanya sama. Aneh, tidak bisa di deskripsikan rasa apa. Fix, hari ke 4 dari gejala awal, aku kehilangan indra perasa.

Siang itu kondisi saya tidak sesegar kemarin. Kalau kemarin setelah rambut di blow saya terlihat segar, hari ini memang terlihat lebih lemas. Demam masih awet, meski saya minum obat penurun panas secara teratur. Basically seharian itu hampir tiap jam saya harus minum obat.

Saya sedikit kewalahan dengan kiriman hari ini. Ada siomay dari Jeng Tinah, ada roti dan proll tape dari Ci Nany, sekarang ada Chateraise dari Jeng Vivi, oleh2 dari Sby. Karena di kamar tidak ada kulkas, pilihannya adalah masuk perut atau throw kalau kelamaan tidak dimakan. Dan saya adalah tipe penyayang. Tidak boleh ada makanan yang dibuang …..

Akhirnya saya membuat pengumuman di group.

“Jgn repot2 teman2 kl mau ngirim janjian dl takut numpuk eman2 gak dmkn nanti. Hari ini tastebud ku slowly gone. All the food taste the same to me.”

Saya rebahan, pikiran saya sudah saya switch ke ‘survival mode’. Saya tidak memikirkan apapun selain fokus pada kesembuhan diri sendiri. Dan saya sangat ‘looking forward’ untuk menemukan diri saya dalam masa isoman ini. Setiap kali saya sakit, saya selalu berpikir bahwa mungkin memang badan saya perlu istirahat. Saya berusaha mengingat-ingat kegiatan yang saya lakukan selama beberapa hari sebelum gejala pertama. Just in case ada orang yang saya kontak namun belum saya info kalau saya positif.

Siang itu saya coba mengisi dengan mendengarkan beberapa kotbah. Moment yang biasanya hanya dapat dilakukan ketika saya masak pagi hari di dapur. Kali ini saya bisa mendengarkan sambil rebahan, dan tak lama saya tertidur mungkin akibat obat yang saya konsumsi. Saya merasa frekuensi saya ke toilet lebih sering dibanding biasanya ketika saya sehat. Entah itu termasuk gejala yang saya alami, atau bisa juga karena efek obat yang saya konsumsi.

Sore hari suami saya ada di dekat hotel sedang mengerjakan proyek dekat situ. Dia menyempatkan diri untuk survey ke apartement dengan kamar yang lebih luas, ada kulkas dan mini kitchen serta kamar mandi yang lebih luas. Saya bilang ga usah karena kalau tidak resmi isoman, barang belum tentu bisa diantar sperti di hotel ini.

Saya titip suami untuk bawakan paper towel untuk lap piring, tissue basah, speaker kecil – mau party wkwkwk. Mungkin kalau pria akan lebih simple, peralatan isoman gak harus sebanyak ini. Tapi saya sungguh-sungguh ingin menikmati my ‘me time’ disini dan saya harus nyaman.

Sesampainya di rumah, suami kirim foto ini …. ada kiriman Pizza 1M dari adikmu, Diana. Jauh-jauh masih inget keponakan.

Sore menjelang malam, ada kiriman lagi roti yang baru matang… dari seorang cici yang suka baking. Thank you ci Swanny. Saya tidak tahu akan bisa menghabiskan semua kiriman-kiriman ini….. we’ll see.

Untuk dinner saya pesan nasi tim di tempat yang biasa saya pesan. Namun betapa kagetnya ketika rasanya sangat tidak enak, dan malam itu saya sangat tidak nafsu makan, tapi saya ingat pesan teman saya,”harus dipaksa ci. walaupun ga enak, kamu harus makan.”

Oke baiklah, akan saya usahakan. Satu sendok… saya kunyah… telan…. sendok kedua… kunyah sambil berusaha mengidentifikasi rasa apa ini…. telan… Sendok ketiga… sepertinya ini yang terakhir ya, sudah tidak ada rasa sama sekali dan saya tidak terlalu lapar, tapi perut harus diisi karena mau minum antibiotik.

Akhirnya makan malam berakhir di suapan ketiga. That’s it. Ga bisa masuk lagi….

Saya ingatkan pada suami untuk menyiapkan 1 tabung oksigen yang terisi penuh untuk jaga-jaga. Di rumah kami sudah ada 3 tabung bekas papi mertua dulu. Tinggal diisi ulang dan beli selang yang baru. Saya juga sampaikan berita kalau tiket kami yang sudah di booking jauh-jauh hari sebelum pandemi kemungkinan besar sudah tidak bisa dipakai karena pihak Garuda tidak akan melanjutkan penerbangan ke Australia. One bad news after another.

Saya belum bisa tidur karena posisi tidur disarankan agar tengkurap atau miring. Dan dengan posisi ini sangat sulit untuk bisa tidur dengan nyenyak. Yang ada badan sakit semua.

Saya mencoba untuk relaks, cek saturasi, cek suhu, lalu berdoa menitipkan semua yang biasanya saya pikirkan kepada Tuhan. Anak-anak yang saat ini saya tidak bisa urus, tidak bisa sediakan makanan, tidak bisa jagai, saya serahkan pada Tuhan. Saya percaya dan yakin mereka akan baik-baik saja.

Malam itu Mami video call dari Australia. Meski disana susah malam, mami menyempatkan untuk mengecek keadaan saya. Malam itu saya sudah mulai batuk agak sering, sehingga ketika saya bicara, akan batuk… tp saya pastikan kalau saya akan baik-baik saja. Ini baru tahap awal, nanti akan membaik.

Setelah itu saya lanjut nonton drakor deh….dan akhirnya saya terlelap. Hari ini dilalui dengan baik. Meski batuk mulai mengganggu, indra perasa sudah hilang, dan nafsu makan berkurang, saya bersyukur akan penyertaan dan kemurahan Tuhan dengan banyaknya teman yang perduli dan mendoakan.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Leave a comment