Perjalanan iman melalui “Kawasaki Disease” – part 1


Satu tahun 2 bulan yang lalu, tepatnya bulan Februari 2013,  my second child, Nielsen di diagnosa “Kawasaki Disease”. Sudah lama saya ingin membuat catatan di blog mengenai hal ini, karena banyak yang saya pelajari dari pengalaman ini. Saya juga ingin membagikan informasi mengenai penyakit KAWASAKI yang masih belum diketahui oleh banyak orang tua.  I hope our true story can be a blessing to all of you.

Kamis, 31 Januari 2013, Nielsen badannya hangat (sekitar 37 °C – 38.5 °C). Beberapa hari sebelumnya memang dia batuk grok-grok seperti banyak angin.

Jumat pagi, 1 Februari 2013, saya bawa ke dokter karena semalaman panas. Diagnosa dokter, Infeksi Saluran Pernafasan, banyak riak yang kental di dada.

Hari Sabtu, 2 Februari 2013,  Nielsen masih panas sehingga saya memutuskan untuk cek lab. Hasil lab nya baik walaupun trombositnya sudah di ambang nilai rujukan. Seharian Nielsen rewel sekali. Waktu itu Nielsen masih ASI, dan maunya nempel terus tidak mau lepas. Saya sampai stress dibuatnya, karena tiap kali dilepas dia menangis sejadi-jadinya. Mungkin badannya tidak enak dan dengan nenen dia merasa nyaman. Tapi karena sudah terlalu cape, akhirnya saya pikir, mungkin sudah saatnya juga disapih karena memang rencana sudah ingin menyapih, dan mungkin ini saatnya. Suami pun mendukung karena sudah seharian saya ‘disetrap’ oleh Nielsen, tidak bisa mengerjakan apa-apa seharian, apalagi waktu itu tidak ada pembantu sama sekali, jadi banyak pekerjaan rumah yang terbengkalai.

Minggu malam, 3 Februari 2013, suhu tubuh Nielsen mencapai 40°C dan kami bawa ke UGD. Diagnosa dokter jaga adalah Infeksi Saluran Pernafasan dan disarankan untuk opname karena khawatir mengarah ke asthma. Namun karena tidak ada kamar yang kosong maka kami pulang.

Senin, 4 Februari 2013, suhu tubuh Nielsen sudah kembali normal. Selama sakit, Nielsen ingin makan Rotiboy. Dia bilang, “nanti kalau sudah sembuh, ke Paragon beli Rotiboy ya Ma….”

Selasa, 5 Februari 2013, Nielsen sudah mulai ceria. Hari itu saya membawa dia ke Paragon sesuai janji saya. Dia memakan Rotiboy dengan lahap.

makan roti boy

Jumat, 8 Februari 2013,  Nielsen kembali sekolah. Pulang sekolah, gurunya laporan kalau Nielsen agak diam dan minta gendong terus. Saya juga perhatikan lehernya keluar rash seperti biang keringat. Sorenya rash nya semakin banyak terutama di punggung tapi suhu badannya normal.  Untuk memastikan, sorenya saya bawa lagi ke dokter. Dokter bilang, ada 2 kemungkinan: pertama, Exanthem Xubitum biasanya setelah panas keluar merah-merah. Atau, apabila nanti demam lagi, bisa jadi ini Campak atau Rubella, atau Kawasaki tapi kasusnya jarang sekali.

Jumat malam ternyata Nielsen panas lagi. Rash nya semakin banyak dan Nielsen mulai rewel karena kelihatannya rash tersebut gatal.

Sabtu, 9 Februari 2013, rash di tubuh Nielsen semakin menyebar hingga bagian wajahnya pun kena. Kasian sekali karena dia terlihat sangat tidak nyaman.

Minggu malam, 10 Februari 2013,  suhu tubuh Nielsen mencapai 40°C lagi dan kami kembali ke UGD.  Melihat kondisi Nielsen dengan rash di sekujur tubuhnya, dokter jaga menyimpulkan Nielsen kena Campak.  Saya langsung teringat teman saya yang sedang hamil 7 bulan karena hari Kamis saya dan Nielsen mampir ke rumahnya dan kami mengobrol disana. Langsung saya kontak dia, saya ceritakan bahwa Nielsen kena campak dan saya minta maaf karena saya tidak tahu. Saya berharap kandungannya baik-baik saja.

Senin, 11 Februari 2013, Nielsen terlihat sangat menderita. Bangun tidur dia mulai garuk-garuk mukanya yang kemerahan. Dan sepertinya, rash yang berada di muka, menurut saya membentuk pola seperti kupu-kupu. Sering kali saya temui dia berada di kolong meja dalam keadaan tertidur. Jadi dia lebih nyaman tertidur di lantai. Nafsu makannya sangat menurun. Tingkat kerewelannya sangat tinggi. Keinginannya jadi aneh-aneh. Semaleman dia hanya tidur 10 menit lalu menangis terbangun, dan seringkali sulit untuk tidur lagi. Sementara saya sudah sangat lelah menjaga Nielsen dan sekaligus harus mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Saya merasa heran karena rasanya kalau Campak tidak serewel ini dan demamnya kok tidak turun-turun. Saya kontak dokternya Nielsen dan dia menyarankan supaya Nielsen dibawa saja ke tempat prakteknya keesokan paginya.

Selasa, 12 Februari 2013,  pagi-pagi saya bawa Nielsen ke dokter karena panas Nielsen masih turun naik dan obat turun panasnya sudah habis 1 botol.  Sewaktu dia lihat Nielsen, dia ragu kalau itu Campak dan dia khawatir kalau ini mengarah ke penyakit Kawasaki.  Untuk memastikan, Nielsen harus cek darah lagi.

Hasil lab menunjukkan trombosit Nielsen sudah naik dari hasil minggu lalu, namun CRP nya positif menunjukkan adanya infeksi di dalam tubuh. Saya sudah konsultasikan hasil lab tersebut ke dokter dan dia berkata masih ok. Perasaan saya masih ga enak dan malamnya saya Google “Kawasaki”. Yang keluar ternyata gambar-gambar motor Kawasaki terbaru….. ternyata saya harus mencantumkan kata ‘penyakit Kawasaki’ or ‘Kawasaki disease’. Tidak banyak yang mengulas tentang penyakit ini di situs-situs berbahasa Indonesia, dan informasinya kurang jelas. Namun satu hal yang pasti, yang saya ketahui sementara mengenai gejala atau ciri-ciri penderita sebagian besar cocok dengan gejala yang diderita Nielsen.  Ciri-cirinya antara lain yang terdapat pada Nielsen: bibir merah dan pecah-pecah, lidah merah, mata merah tapi tidak ada kotoran, rash, demam yang tak kunjung turun, anaknya rewel sekali. Hati saya sangat galau karena seandainya betul Nielsen kena penyakit Kawasaki, selain obatnya mahal, penyakit ini sangat berbahaya karena menyerang jantung. Malam itu saya sungguh berharap kalau Nielsen kena Campak saja…. bukan Kawasaki.

Rabu pagi, 13 Februari 2013, saya kontak dokter lagi karena saya khawatir dengan kondisi Nielsen yang sangat rewel. Setiap malam sejak dia mulai sakit, Nielsen selalu terbangun antara jam 3 subuh dan nangis-nangis minta keluar kamar dan minta banyak hal. Badannya sudah mulai kurusan karena nafsu makannya turun drastis. Juga dia tidak berhenti garuk-garuk. Kondisinya memprihatinkan. Dokter menyarankan Nielsen diopname saja karena dia sangat khawatir sakitnya mengarah ke Kawasaki. Kami segera menghubungi rumah sakit yang disarankan. Namun ternyata semua kamar penuh karena banyak sekali anak-anak yang kena DB dan typhus waktu itu. Kami dicantumkan dalam ‘waiting list’.

Kondisi Nielsen sebelum dibawa ke RS

Kondisi Nielsen sebelum dibawa ke RS

Rabu jam 3 siang kami mendapat panggilan dari RS sudah ada kamar kosong. Dengan kekuatan dari Tuhan, saya membawa Nielsen seorang diri, membawa tas dan barang-barang lain ke mobil menuju rumah sakit. Secara fisik dan mental, saya sungguh lelah sekali karena sudah 2 minggu Nielsen sakit dan setiap malam saya ikut begadang menjaga Nielsen. Dengan masuk rumah sakit, saya berharap Nielsen bisa beristirahat lebih baik, setidaknya kalau diinfus dia akan sedikit lebih enakan, pikir saya.

Sebelum saya cek in, beberapa teman saya menyarankan untuk minta second opini ke dokter yang lebih senior. Tapi waktu itu saya bingung karena dokter yang dimaksud baru praktek jam 6 sore sedangkan kondisi Nielsen sudah sangat lemas saya khawatir dia dehidrasi dan saya takut kalau kamarnya tidak diambil sekarang maka harus waiting list lagi.

Akhirnya saya cek in tanpa second opini. Nielsen langsung diambil darah lagi untuk yang ke 3 kalinya dan langsung diinfus. Malam itu Nielsen terlihat tidur dengan nyenyak, walaupun masih sesekali dia rewel karena tidak nyaman akibat infus, tapi kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya.

One thought on “Perjalanan iman melalui “Kawasaki Disease” – part 1

  1. Pingback: “Kekepoan yang membawa berkah” – kisah papiku yang kepo. | A Mom's Diary

Leave a comment