Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 18 – FINALE)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Rabu, 7 Juli 2021 – Hari ke 26

Semalam saya sudah menyusun rencana untuk pagi ini. Kalau beberapa hari terakhir saya terpukau dengan pemandangan matahari terbenam, di hari terakhir ini saya ingin melihat indahnya langit dengan pemandangan matahari terbit. Meskipun matahari terbit dan terbenam terjadi setiap hari sama seperti udara yang kita hirup setiap detik, namun kita sering tidak menyadari keberadaannya.

Saya membuka gorden di kamar. Langit masih gelap. Saya panjatkan doa dengan menitikkan air mata. Grateful, excited, terharu biru After 23 days in isolation, I am finally going home to be with my family. Saya membayangkan mungkin seperti ini yang dirasakan seorang napi di hari pembebasannya.

5.35 saya ke rooftop. Di sebelah timur, langit begitu cantik. Terlihat ada gradasi warna alami yang sangat indah disana. Saya mengabadikannya di handphone sambil mengagumi fenomena ini. Dari gradasi warna tadi, perlahan saya melihat matahari terbit seperti cincin dengan semburat warna oranye yang indah di sekitarnya, hingga akhirnya Sang Mentari tampak sepenuhnya. Saya merekamnya selama 9 menit tanpa berhenti. Pegel? Iya wkwkw, tapi worth it.

Saya kembali ke kamar dan mulai memasukkan barang ke mobil satu per satu. Dimulai dengan yang ringan dulu supaya bisa dibawa sekaligus di lengan kanan dan kiri. Lalu balik ke kamar untuk mengambil barang selanjutnya. Baru sekali jalan, badan sudah berkeringat dan nafas ngos-ngosan, tapi saya berusaha santai dan tidak buru-buru sambil sesekali mengatur nafas.

Setelah bolak balik 4 kali, saya berdiam diri sejenak, agar keringat berhenti mengalir. Saya rapihkan ranjang dan bersihkan kamar sehingga tampak bersih dan rapih sama seperti waktu saya datang. Lalu saya mandi dan sarapan.

Saya membuka pintu kamar membawa koper dan oksigen. Ternyata ada petugas hotel yang sedang membersihkan lorong. Saya minta tolong bapak tersebut untuk membantu membawakan sisa barang saya ke mobil. Akhirnya selesai sudah sesi angkut-angkut barang. Saya menyerahkan kunci kamar ke mbak yang bertugas di reception dan memberikan sedikit apresiasi atas pelayanannya selama saya disana.

Jam 7.30 saya meninggalkan hotel menuju rumah sakit untuk mengambil hasil X-ray kemarin sekaligus mengulang cek lab yang kemarin gagal. Saya juga datang pagi karena ingin daftar on the spot untuk konsultasi dengan dr. Indra.

Saya sangat senang ketika membaca hasil X-ray yang menyatakan bahwa bercak sudah berkurang. Meski jujur kalau lihat film x-ray nya, saya tidak bisa membedakan dengan hasil-hasil sebelumnya. Tapi, kesan yang ditulis dokter disitu cukup membuat saya senang dan puas. Finally, ada satu titik dimana bercak tidak terus bertambah namun berkurang. It is a good sign.

Suasana di ruang tunggu lab begitu sepi. Hanya ada suster yang duduk di belakang counter. Yes.. I’m the first one, pikir saya.

“Sus, saya mau daftar untuk konsultasi dengan dr Indra pagi ini bisa ya?”

“Sebentar saya cek ya. Em… maaf ibu, dr Indra hari ini cuti tuh”

“Lho, kemarin malam saya telepon kesini katanya praktek, malah disuruh daftar langsung pagi ini”

“Iya bu, maaf mungkin yang angkat telepon tidak tahu kalau dr Indra hari ini cuti”

“Oh ya udah kalau begitu, terima kasih Sus”

Saya langsung menuju ke lab untuk pengambilan darah. Tidak ada pasien lain yang menunggu disitu. Suster yang bertugas seorang wanita yang belum saya lihat sebelumnya.

“Pagi ibu, silahkan duduk. Bisa tolong sebutkan nama dan tanggal lahir”

“Semoga hari ini berhasil ya Sus, kemarin saya ditusuk 3x tapi gagal semua.”

Tanpa ditanya, saya lalu bercerita pada susternya kalau hari ini saya akan pulang ke rumah menemui anak-anak.

“23 hari isoman sus, hari ini saya pulang”

“Sama persis bu, saya juga 23 hari isoman dan hari ini saya pertama kali mulai bekerja lagi.”

“Wah kita jodoh ya. Kok bisa persis”

Lalu suster tersebut bercerita bahwa hampir semua koleganya sudah terpapar.

Kali ini sekali coblos saja, darah langsung mengalir. Saya lega… lega sekali, karena kemarin saya ketakutan kalau darah kental.

Setelah selesai semua, saya bergegas meninggalkan rumah sakit. I just can’t wait to go home.

Di tengah perjalanan menuju rumah, saya ingat kalau sudah beberapa hari anak saya yang sulung ingin makan semangka, jadi saya mampir dulu ke super market yang saya lewati. Entah mengapa saya merasa bahagia bisa bebas kembali melakukan aktifitas seperti sebelumnya.

Bayangan saya, sepulangnya nanti, saya akan mulai masak kembali, menyiapkan sarapan, makan siang, cemilan, makan malam, sehingga yang awalnya hanya bertujuan membeli semangka, berakhir dengan satu troli penuh, termasuk Dark Chocolate favorit saya yang sudah saya idam-idamkan.

Sampai di depan rumah, saya masukkan mobil, lalu menurunkan belanjaan dan sebagian barang. Lalu saya mandi di kamar mandi belakang. I can’t wait to surprise my sons.

Rambut yang masih basah saya tutup dengan handuk dan saya bergegas masuk ke dalam rumah. Saya menyapa tanaman-tanaman saya yang berjajar di tangga. Syukurlah kalian masih hidup.

Saya sudah menyiapkan handphone untuk merekam adegan pertemuan saya dan anak-anak, meski saya tahu reaksi mereka akan biasa-biasa saja seperti beberapa surprise yang saya berikan sebelumnya.

Memasuki ruangan depan, kondisi rumah masih sama persis sewaktu saya tinggalkan 23 hari yang lalu. Tidak ada yang berubah, letak berantakannya masih sama wkwkkwwk. Lalu saya memasuki kamar anak-anak dengan diam-diam. Mereka berdua sedang rebahan sambil asik bermain iPad.

“Boys, I’m home”
Serentak mereka menoleh dan menghampiri saya.

“Mama….”

“I miss you so much boys.” Saya tak kuasa membendung air mata. Kami bertiga berpelukan.

“You miss me?” – Tanya saya lagi… wkwkwk mama yang insecure ini. Memang kadang kita perlu peneguhan kalau keberadaan kita sungguh-sungguh diharapkan.

Ditinggal 3 minggu aja, anak2 sudah kelihatan lebih tinggi. Saya mengajak anak-anak untuk selfie lalu mengirimkan fotonya kepada keluarga dan teman-teman.

“Ci, udah tak bilangi, kowe kudu ayu, kok malah andukan” wkwkwkk

“Kesuwen kalo macak dulu (kelamaan kalau dandan dulu)”

Lalu saya menuju ke meja makan dan terkejut ketika melihat lap tangan biru yang masih tergantung disana. Lap tangan yang sama ketika saya meninggalkan rumah ini 23 hari yang lalu wkwkwk… Yang berbeda adalah, ada air purifier di setiap ruangan.

Saya membereskan belanjaan saya dan barang-barang dari hotel, namun baru sebentar saja, jantung rasanya sudah berdegup kencang dan nafas kembali ngos-ngosan. Ah sebaiknya saya rebahan dulu. Mungkin perlu penyesuaian, karena biasanya ruang lingkup saya di kamar hotel hanya sepetak saja.

Sambil rebahan, saya chatting di beberapa group. Menginformasikan kelegaan saya that I’m finally home.

Saya masih berbaring ketika menerima berita yang sulit untuk diterima.

Itax sudah berpulang.

Ada rasa sakit di dada. Nyesek rasanya. Begitu cepat dia pergi. Belum siap menerima kabar ini.


Di sekolah anak-anak kami, saya dan Itax dipertemukan. Waktu itu kami diberi tugas untuk membuat kostum dari barang-barang bekas. Jujur, saya bukan penganut aliran kreatif. Untuk art & craft, I give up.

Bersyukur saya dipasangkan dengan Itax, seorang yang kreatif dan telaten. Dia mengusulkan membuat kostum dari bungkus nutrijel. Saya ‘manut’. Tinggal gunting, gunting, lem…. gunting, gunting, lem…. tidak ada kreasi lebih dari saya. Itax dengan sabar membantu sebisanya. Tiga tahun anak-anak kami sekelas terus, sehingga kami pun sering bertemu saat menjemput sekolah.

Di mata saya, Itax sangat perhatian pada anak-anaknya. Dia selalu ‘well prepared’ kalau ada tugas dari sekolah. Dia yang selalu info di group mami2 perihal tugas anak-anak. Dia yang selalu menawarkan diri membantu mendekor kelas untuk acara pemotretan dan perpisahan. Dia juga yang berinisiatif membuat group ketika mami2 perlu berdiskusi untuk acara kelas. Dia seorang ibu yang rajin dan cakap.


Hari ini, 7 Juli 2022, tepat setahun Itax meninggalkan kami semua. Baru hari ini saya dapat menyelesaikan rangkaian tulisan saya mengenai pengalaman saya selama karantina 23 hari tahun lalu. Awalnya saya menulis dengan menggebu-gebu, berbagi pengalaman dan cerita lucu, siapa tau ada yang butuh saat itu. Namun seiring berjalannya waktu, ketika tiba saatnya untuk menceritakan apa yang terjadi di hari itu, 7 Juli 2021, hari dimana saya pulang ke rumah, namun di saat yang sama, Itax pulang ke rumah Bapa. Saat itu, saya tidak mampu menulis lagi. Tidak mampu menyelesaikan episode terakhir ini.

Hari ini, saya selesaikan apa yang sudah saya mulai. Tuhan sangat baik dan saya percaya Dia telah mengangkat dan memulihkan Itax untuk berada dalam kekekalan menikmati kemuliaanNya. Terima kasih Itax, telah mewarnai kehidupanku dengan ketulusanmu, keceriaanmu, kesederhanaanmu, ke-kreatifanmu. Kamu telah meninggalkan legacy yang berharga untuk anak-anakmu. Rest in peace my dear friend, we love you.


Buat teman-teman yang telah mengikuti perjalanan covid saya dari episode 1 hingga episode terakhir ini, saya mengucapkan terima kasih telah menyempatkan diri untuk membaca dan memberikan feedback, komentar dan menghibur sekaligus memberi semangat pada saya untuk terus menulis.
Maaf kalau tiba-tiba terhenti, saya juga heran sendiri, mengapa tak mampu menulis lagi.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan perhatian dalam doa, kiriman makanan, obat, buah, panci, ucapan lewat WA, telepon, haha hihi di group dan berbagai tips dalam menanggulangi Covid.

Hari ini saya telah kembali. Doa saya agar kita semua diberi kesehatan dan selalu dalam perlindungan Tuhan. To God be the glory.

7 Juli 2022.

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 17)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Minggu, 4 Juli 2021 – Hari ke 23

“Me time” akan segera berakhir. Sooner or later saya harus memutuskan kapan saya akan pulang ke rumah. Ada keluarga yang menanti disana.

“Sudah 23 hari masa masih menular?”

“Kamu gak kangen rumah to ci?”

“Gak kangen anak-anak?”

“Gak bosen tah kamu di hotel terus? Gak kesepian?”

“Anteng ya pei ..hebat lu teh😁. Udh 3 mg di htl ya?”

Begitulah beberapa komentar dan pertanyaan dari teman-teman yang selama ini memantau.

Memasuki minggu ketiga memang suasana yang saya rasakan mulai berubah. Kondisi fisik yang semakin hari semakin membaik membuat isoman ini menjadi sebuah “waktu s e n g g a n g” yang secara tidak sadar telah ‘hilang’ dalam hidup saya. Saya tidak dengan sengaja meluangkan waktu untuk beristirahat dari rutinitas sehari-hari. Padahal ‘me time’ itu sangat diperlukan agar kita bisa tetap waras. Akibatnya, saya burned out.

Selama isoman, saya bisa melakukan berbagai kegiatan tanpa merasa bersalah dan otak tidak memikirkan ‘besok masak apa ya? nanti siang anak-anak kasih cemilan apa ya? nanti malam masak apa?’. Saya bisa meluangkan waktu untuk merenung tanpa diburu-buru. Saya bisa ‘being mindful’; sesuatu yang saya upayakan terus untuk dilakukan namun seringkali gagal.

Being mindful adalah ketika kita melakukan sesuatu secara sadar dan fokus sepenuhnya – tubuh, jiwa, raga bersatu sepakat dalam melakukan aktifitas tersebut. Contoh yang mudah adalah ketika kita sedang nonton film. Mata, pikiran, tubuh fokus pada aktifitas menonton film tersebut.

Seringkali dalam kesibukan dan keseharian kita, mindfulness sulit diterapkan, namun tidak mustahil untuk dilakukan. Contohnya, ketika saya sedang cek WA, lalu anak saya bertanya tentang sesuatu hal. Saya bisa dengan mudah menjawab apa yang dia tanyakan tanpa melihat wajah anak saya, dengan mata masih tertuju pada layar handphone. Seharusnya yang terjadi adalah, ketika anak saya bertanya, saya berhenti menatap layar handphone atau meletakkannya, lalu saya palingkan wajah saya pada anak saya dan menatap matanya untuk menjalin sebuah komunikasi.

Contoh yang lain ketika saya makan siang di kantor, biasanya saya menyantap makanan sambil liat Youtube. Seharusnya, being mindful, saya fokus pada setiap kunyahan menikmati rasa dan tekstur makanan yang masuk ke mulut saya.

Latihan nafas adalah salah satu bentuk penerapan mindfulness. Ketika kita fokus pada oksigen yang masuk ke dalam tubuh, melalui saluran pernafasan, memasuki pembuluh darah lalu ke paru-paru kemudian ke jantung dan dipompa oleh jantung untuk disebarkan ke seluruh sel dalam tubuh, kita akan menyadari lambat laun nafas kita semakin panjang, semakin lambat dan kita pun semakin relaks.

Mindfulness memang harus dilatih, harus diupayakan – tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Saya yakin ketika kita ‘being mindful’, akan banyak aspek dalam kehidupan kita yang berubah -> menuju ke arah yang lebih baik tentunya.

Pagi ini saya excited sekali karena mau berjemur memakai topi yang baru saya beli. Ternyata sukacita memakai barang baru itu bukan hanya milik anak-anak saja wkwkwk… Tidak lupa saya selfie dan mengirimkan pada mami dan beberapa teman untuk menunjukkan bahwa saya sudah sehat dan segar bugar; tidak perlu khawatir lagi.

Entah kenapa hari ini saya ngidam roti tawar pake meises lagi. Saya titip suami untuk belikan, tapi sebelum suami keluar rumah, Alice sudah menawarkan untuk membelikannya buat saya. Thank you Alice.

Siang ini saya dan suami membahas secara mendalam kira-kira apa yang menyebabkan saya terpapar, padahal kami selalu bersama-sama, makan makanan yang sama, berada di ruangan yang sama juga. Kami mengingat-ingat kapan dan kemana kami pernah pergi sendiri. Tapi sulit memang kalau mau ditelusuri. Menurut analisa saya, saya kecapean, waktu istirahat kurang, jadi ketika virus itu masuk, imun sedang drop dan virus menyerang.

Tapi suami berpendapat lain. Menurutnya, air rebusan bawang dayak yang dia dan mami mertua minum setiap hari selama setahun terakhir membantu menjaga stamina sehingga mereka tidak terpapar. Sangat mungkin, karena dari dulu bawang sudah terkenal memiliki manfaat sebagai anti virus. Mungkin nanti sepulang isoman, saya akan ikut meminumnya juga.

Hari ini saya putuskan untuk PCR hari Selasa, tanggal 6 Juli sekaligus cek darah dan rontgen lagi untuk terakhir kali sebelum saya pulang. Saya berharap setelah 25 hari dari awal gejala, hasilnya langsung negatif dan besoknya bisa pulang. Intinya saya ingin membawa raport dengan nilai biru sebelum pulang, setidaknya ada ‘reassurance’ (kepastian).

Dengan plan ini, saya tahu kalau ‘me time’ saya hanya tersisa dua hari lagi. Rasanya sungguh nano-nano, tentu rasa senang lebih dominan. Saya pun mulai membereskan barang-barang di kamar. Menyusun rencana bagaimana nanti membawa pulang barang yang sebanyak ini sendirian.

Saya pergunakan waktu yang ada untuk menjawab beberapa WA yang masuk. Ada beberapa teman yang juga sedang isoman dan kami saling berbagi cerita. Gejalanya bervariasi ada yang ringan hingga berat.

Sore ini saya kembali ke rooftop, selain mencari udara segar, saya juga ingin menikmati indahnya ‘golden hour’. Sudah lama tidak melihat ‘sunset’ – dimana matahari benar-benar ‘tenggelam’. Sore ini saya bisa menyaksikannya dan sangat indah sehingga saya terus menerus mengabadikannya di handphone saya. Besok akan saya nikmati lagi pemandangan ini.

Senin, 5 Juli 2021 – Hari ke 24

Setelah 2 hari minum obat ramuan, saya merasa batuk jauh berkurang. Sesekali masih, tapi tidak sesering sebelumnya. Kemarin sewaktu sharing dengan beberapa teman yang pernah mengkonsumsi obat ini, ternyata ada juga yang tidak cocok dan menyebabkan berbagai reaksi di tubuh mereka.

Hari ini saya tidak berolah raga karena detak jantung kembali meningkat dan sejak semalam kaki kanan saya terasa kebas. Saya tidak tahu pasti penyebabnya, tapi hal ini membuat saya cukup khawatir. Saya pernah dengar kalau kaki yang kebas itu kemungkinan karena aliran darah yang kurang lancar, saya jadi deg-degan juga.

Selain itu, saya juga merasa otot di bagian tulang bahu ke arah tulang dada depan terasa tegang dan sedikit pegal, sehingga saya oles dengan YL oil dan memijitnya. Setelah beberapa saat memijat otot di sekitarnya, saya bisa merasakan kaki saya sudah tidak kebas lagi. Apakah keduanya memang berhubungan? Pijat bagian bahu dan dada kiri, kaki kanan tidak kebas lagi. It works.

Mengetahui bahwa waktu isoman tinggal sehari lagi, saya lebih memperhatikan apa yang saya lakukan hari ini – try to be mindful. Dari mulai berjemur, pandangan mata saya arahkan pada pemandangan 360 derajat di rooftop, dari sisi kanan, sisi kiri, juga di bawah sana. Lalu saya rasakan panas matahari yang menembus pakaian di bagian punggung belakang. Setelah 10 menit, saya kembali ke kamar.

Tidak berapa lama, kaki kembali terasa kebas, padahal tadi setelah dipijat rasanya sudah mulai lancar. Saya jadi sedikit concern, apakah Ddimer meningkat lagi? Apakah darah saya mengental? Apakah gara-gara trombosit yang naik kemarin?

Saya coba mengintip mbah Google untuk mencari info tentang badai sitokin yang beberapa kali saya dengar menjadi penyebab kematian pasien covid. Saya cek, tanda2nya jauh dari apa yang saya alami sekarang. Terkadang memang masih demam, tapi tidak tinggi sama sekali, hanya berkisar di 37.1C. Besok rencana ke rumah sakit pagi-pagi sebelum antrian menjadi panjang. Hari ini saya hanya rebahan, dengan kaki diganjal bantal dan selimut agar lebih tinggi dari badan, dan merenung.

Saya percaya apa yang terjadi dalam hidup ini tidak ada yang kebetulan, dan semua yang terjadi, yang kita alami, seijin Tuhan. Begitu juga dengan pengalaman saya terpapar covid ini. Meski dari awal saya sangat yakin akan dapat melewatinya dengan baik, namun ada masa-masa dimana saya ragu, bahkan saya sempat berpikir tentang kematian.

Tentu kekhawatiran itu tidak terucap, hanya terlintas dan menjadi pergumulan di kepala saja. Namun satu pikiran itu berkembang menjadi kemana-mana. Apakah saya sudah siap jika memang waktunya tiba? Jujur, jawabannya adalah belum. Masih banyak yang belum saya selesaikan. Lucunya, yang saya pikirkan ‘kamar saya masih berantakan, kasian nanti yang membereskan’.

Yang awalnya hanya merenung tentang ‘bukan kebetulan’, akhirnya menjadi sebuah perenungan yang dalam. Saya ingat sebuah kejadian tiga tahun yang lalu, dalam perjalanan dari Semarang menuju Jakarta. Siang itu pesawat kami berangkat pukul 1.50 pm. Cuaca di luar cerah. Saya pergi berdua bersama suami. Saat itu pilot mengumumkan kalau pesawat akan segera mendarat. Seperti biasa, para pramugari pun bersiap dan mengambil posisi. Saya dan suami masing-masing sedang fokus pada tayangan di layar masing-masing. Saya ingat sekali, suami sedang menonton film India yang kocak sehingga sesekali dia tertawa.

Saya bisa merasakan kalau pesawat sudah mulai turun dari ketinggian, namun tidak lama kemudian saya merasa pesawat berputar-putar sambil menaikkan ketinggian. Tidak ada pemberitahuan dari pilot atau kru pesawat mengapa tidak kunjung mendarat. Saya pun hanya bertanya-tanya dalam hati, kok perasaan tadi sudah mau mendarat kenapa sekarang naik lagi. Saat itu saya duduk di pinggir jendela dan saya lihat keluar ternyata pesawat sudah berada di awan-awan lagi. Jantung saya mulai berdegup lebih kencang. Ada apa gerangan?

Setelah kurang lebih 20 menit berada di ketinggian, akhirnya terdengar suara pilot di cabin. Saya masih ingat dan masih bisa membayangkan intonasi dan suara dari sang pilot hingga hari ini. Suara yang terpatah-patah dan penuh keraguan………

“Bapak & Ibu yang terhormat, dikarenakan cuaca di Soekarno Hatta tidak memungkinkan kita untuk mendarat, eeeemmmm…. (ada keheningan disini) maka kami akan usahakan agar dapat mendarat di … eeemmmm (pause lagi) di … em… (pause lagi)…. – (disini rasanya lutut udah lemes)- Tanjung Karang…. (sisa dari kata-kata pilot sudah tidak saya dengarkan lagi karena jantung sudah deg-degan, lutut terasa lemas).”

Saya menoleh pada suami yang saat itu tidak ada perubahan sikap duduk maupun raut wajah. Matanya masih tertuju pada film India tersebut, padahal saya yakin dia pun mendengar pengumuman yang sama melalui headsetnya. Saya berpikir dalam hati, apakah ada sesuatu yang salah dengan pesawat ini sehingga suara pilot terdengar terbata-bata dan penuh keraguan. Tapi saya lihat penumpang lain pun terlihat biasa saja. Mungkin mereka sedang berdoa dalam hati.

Pesawat tidak menunjukkan tanda-tanda akan mendarat, masih berputar-putar di atas. Saya berusaha mengingat lagi apa kata pilot tadi. Bukankah dia mengatakan Tanjung Karang? Mungkin masih di Jakarta juga, mungkin di landasan kecil, mungkin dekat Tanjung Priuk? Tapi kenapa tidak segera mendarat? Bukankah udara di luar sana cukup cerah? Tidak ada awan gelap, tidak ada hujan.

Saya bisa merasakan jantung saya berdegup sangat cepat. Nafas yang tadinya biasa, menjadi lebih berat dan sesekali saya menghela nafas panjang. Saya berdoa dalam hati dan sungguh berserah pada yang Kuasa. Saat-saat seperti ini sungguh saya merasa sangat kecil dan tak berdaya. Semua dalam kendaliNya.

Pikiran sudah meraja lela kemana-mana. Bagaimana kalau…. bagaimana kalau….. Sementara mulut komat kamit mengucap doa, menyerahkan semua ke tangan yang Kuasa.

Hingga tak berapa lama, terdengar suara pilot kembali. Kali ini dengan suara yang lebih mantap dan meyakinkan.

“Bapak & Ibu yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Radin Inten Bandar Lampung. …”

What?? Tujuan kita ke Jakarta kenapa sekarang kita mendarat di Sumatera? wwkwkkw.. Meski kebingungan namun ada satu kelegaan. Sang pilot menginformasikan bahwa pesawat akan segera mendarat dan berhenti beberapa saat untuk pengisian bahan bakar.

Fiuh…. ingin nangis rasanya. Terlihat beberapa penumpang pun turut lega. Mereka mulai membuka suara.

Setelah selesai mengisi bahan bakar, akhirnya pesawat terbang menuju Jakarta dan mendarat di Soekarno Hatta dengan selamat. Tentunya pengalaman ini tidak akan saya lupakan, karena sesampainya di Jakarta, kami mendapat kabar dari travel agent bahwa trip kami ke Eropa malam itu juga dibatalkan. Meski demikian, kami tetap bersuka cita, karena kami telah mendarat dengan selamat, hanya itu yang kami pikirkan.

Hari ini, saya kembali mengulang pertanyaan yang pernah terngiang …. ‘bagaimana kalau waktu saya tiba, sudah siapkah saya menghadap Dia? adakah yang belum saya selesaikan (selain membereskan kamar saya wkwkwk)? adakah ganjalan dan kepahitan yang masih tersisa di hati saya?’

Saya mengambil waktu untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dari sekian banyak yang terlintas di pikiran saya, satu yang saya rasa cukup penting yaitu r e l a s i atau hubungan dengan orang-orang yang saya temui dalam perjalanan kita di dunia ini. Bukankah saya percaya tidak ada yang kebetulan? Dari sekian banyak umat manusia di dunia, jika kita dipertemukan dengan pasangan, anak, orang tua, saudara, sahabat, teman, karyawan, boss tentunya satu hal yang luar biasa. Kita dipertemukan di tengah perjalanan untuk saling menyapa, mengenal, lalu berjalan bersama atau berpisah di persimpangan sebelum akhirnya kita semua menuju kepada kekekalan.

Renungan saya akhiri karena tak terasa saya jadi menangis sendiri. Hanya karena anugrahNya saja saya berada disini hingga detik ini.

Covid yang tidak saya harapkan ini mengajarkan banyak hal. Meski tak diharapkan, waktu luang ini diijinkan agar saya dapat ‘beristirahat sejenak’ di tengah rutinitas yang membara. Kita semua perlu menekan tombol ‘break’ untuk s l o w i n g d o w n agar dapat menikmati esensi kehidupan. Tubuh yang lelah ini berteriak untuk diperhatikan, berikan tidur yang cukup, makanan yang sehat, pikiran yang tenang. Dan inilah yang saya dapatkan selama isoman.

Pandemi secara global memberikan dampak yang besar dalam setiap aspek kehidupan, baik positif maupun negatif tentunya. Sisi positif yang saya dapatkan adalah bisa spend more time dengan anak-anak di rumah, mengajari life skill (baca: masak nasi, cuci piring dan jemur baju wkwkwk) yang selama ini mungkin dianggap tidak perlu. Saya juga bisa memahami dan mengerti pergumulan anak-anak dalam menjalani online school pada saat ini. Sekolah yang kita pikir selama ini hanya untuk kegiatan belajar dan mengajar, ternyata bagi anak-anak adalah wadah untuk mereka mengembangkan kemampuan bersosialisasinya. Mereka sangat kehilangan moment-moment di sekolah bersama teman-teman mereka.

Pandemi memang telah banyak merubah hidup kita. Mungkin ini saatnya kita merubah strategi, ganti posisi, menggali potensi.

Sore ini saya tidak ingin melewatkan sunset lagi. Matahari tenggelam tepat di samping apartment MG Suite persis seperti kemarin, hanya saja hari ini matahari tertutup awan tebal, namun di justru tampak ‘ray of light’ yang terlihat bersinar di sekitar matahari yang warnanya seperti kuning telur asin. Semuah fenomena alam yang selalu saya kagumi dan tidak pernah membosankan untuk dinikmati.

Malam ini saya menanyakan pada Grace, teman saya yang juga sedang isoman, apakah sebaiknya saya tes PCR di tempat lain saja untuk menghindari ‘varian delta’ yang katanya bisa menular hanya dengan berpapasan saja.

“Ciiii kita tu kenanya varian delta wkwkwkwkw”

“oya? kok tau?”

“yang ct nya rendah-rendah itu varian delta wes”

“hahaha jadi aku aman dong kalo ke rumah sakit”

“iya ci gapapa, justru kamu lagi aman-amannya”

Baiklah kalau begitu, kembali ke rumah sakit lagi besok.

Selasa, 6 Juli 2021 – Hari ke 25

Pagi ini suhu tubuh di 36.5C dan saturasi di 98, detak jantung 89. Semuanya baik dan normal. Selesai Mezbah Syukur, saya merebus 2 butir telur untuk sarapan. Pesan Firman Tuhan pagi ini mengingatkan untuk ‘menguasai diri, jadilah tenang, supaya kita dapat berdoa’. Penguasaan diri itu tidak mudah, namun perlu dilatih agar kita bisa tenang dari segala pikiran yang tidak karuan dan dapat berdoa. Noted, mari kita berlatih untuk menguasai diri.

Sambil menunggu telur matang, saya teringat sebuah lagu lama yang dulu sering dinyanyikan oleh The Budionos Sisters – lima sahabat kakak beradik yang saya kenal di persekutuan pemuda di Melbourne. Begini refrainnya:

Hidup bukan kar’na hari, hidup hanya kar’na arti
Bebas dari segala dosa, inilah arti hidupku
Hidup bukan kar’na hari, hidup hanya kar’na arti
Bebas dari segala dosa, inilah arti hidupku
Arti hidupku

Jam 7.30 saya sudah keluar dari hotel. Suasana di jalan menuju ke rumah sakit sangat sepi. Entah karena masih pagi, atau karena memang kegiatan dikurangi.

Sesampainya di tempat PCR, , konter masih tutup namun sudah ada beberapa orang yang menunggu disana. Jam 8, sudah ada suster yang berdatangan dan bersiap-siap melaksanakan tugas masing-masing. Saya mendapat antrian nomer 10. Masih tetap menunggu lama, tapi tidak selama PCR yang sebelum-sebelumnya.

Lalu saya bergegas ke radiologi. Aman. Masih sepi. Ini kali ke 4 saya cek thorax. Sudah hafal semua prosedur yang harus dilakukan. Setelah selesai, lalu saya ke lab. Ada beberapa orang yang menunggu disana. Saya bertemu dengan Eko dan istrinya, teman gereja yang juga terpapar di saat yang hampir bersamaan. Sejak pandemi, bertemu dengan teman itu adalah sesuatu yang menyenangkan, apalagi bertemu sesama penyintas Covid serasa bertemu sesama alumnus. We do have something in common.

Petugas yang mengambil darah pagi itu seorang pria yang pernah mengambil darah saya beberapa waktu yang lalu. Seperti biasa, saya diminta untuk menggenggam telapak tangan sementara dia menepuk-nepuk lengan saya untuk mencari pembuluh darah yang nyaris tidak kelihatan dari sisi mana pun. Akhirnya dia putuskan untuk mengambil dari lengan siku kanan.

“Maaf ini akan sedikit sakit ya bu, tarik nafas panjang, ….. “

Biasanya setelah darah mengalir, petugas akan menyuruh saya untuk relaks dan melepaskan genggaman. Namun kali ini beliau masih mencoba menggerak-gerakkan jarum sedikit ke kanan, kiri, tusuk lebih dalam, tarik, belok…. tidak berhasil. Akhirnya dia mencabut jarum dari lengan saya.

“Maaf ibu, ini tidak bisa keluar darahnya. saya coba di lengan satunya ya.”

“apa saya minum dulu aja gimana? saya bawa minum satu botol mau saya habiskan dulu”

Saya mulai deg-degan. Kok bisa gak keluar ya? apakah darah saya terlalu kental? padahal tadi sudah minum di hotel dan cukup banyak.

Saya keluar dari ruangan. Saya duduk di pojok ruang tunggu dan meminum sebotol air mineral yang saya bawa. Saya atur nafas saya agar lebih tenang. Lalu saya pergi ke toilet. Panik ga, panik ga, panik ga??? Lumayan panik. Saya coba menenangkan diri. Saya harus fokus agar pengambilan darah bisa berhasil hari ini. Lalu saya teringat, apakah karena saya belum minum pengencer darah sehingga darahnya terlalu kental? Tapi jadwal minum obat pengencer darah itu nanti jam 12 setelah makan. Ah tapi sewaktu ddimer saya meningkat pun, proses pengambilan darah berjalan lancar. Jadi sepertinya bukan itu masalahnya.

Setelah kondisi saya cukup tenang, saya kembali ke ruangan tindakan.

“Mas, saya sudah minum sebotol, bisa dicoba lagi ya.”

Lalu lengan kiri mulai ditusuk, dan sama juga, hanya keluar sedikit lalu berhenti. Darah yang keluar seperti tersendat. Petugas tersebut menarik sedikit jarum kecil itu, lalu menusukkan lagi ke arah yang berbeda. Persis seperti yang dia lakukan di lengan kanan saya. Tidak berhasil hingga akhirnya petugas tersebut mencabut jarum dari lengan kiri saya.

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dia berkata,”Ibu, boleh saya coba sekali lagi mungkin di balik telapak tangan ibu?”

“Iya gapapa Mas”

Kali ini pun tidak berhasil. Hasilnya sama. Sudah 3 jarum dipakai dan semuanya tidak menghasilkan apa-apa. Padahal jarum yang dipakai jarum yang kecil.

“Ibu kalau mau makan dulu, atau nanti siang kembali kesini gapapa bu.”

Saya WA teman dokter saya menceritakan apa yang terjadi. Dia bilang, tidak mungkin kalau gara-gara pengentalan darah lalu tidak berhasil diambil darahnya, karena dia sendiri pernah mengalami Ddimer sampai tinggi sekali dan bisa diambil darahnya dengan mudah. Dugaan dia, tadi jarumnya yang kurang pas mengenai sasaran.

Saya turun ke lantai bawah sambil berpikir apakah saya perlu menunggu di rumah sakit untuk kembali diambil darah, atau saya kembali ke hotel dulu lalu balik lagi sore. Saya tidak menyukai kedua ide tersebut karena sudah agak trauma ditusuk 3x hari ini. Sebaiknya saya kembali besok saja.

Saya menuju ke toko roti untuk membeli beberapa cemilan. Rasanya senang sekali bisa kembali berbelanja tanpa takut menulari atau terpapar. Karena ‘lapar mata’ saya membeli beberapa snack kesukaan saya. Lalu saya membeli Nasi Ayam Gepuk yang dibungkus daun juga untuk makan siang nanti. Melewati kios Cincau, saya membeli segelas cincau herbal tanpa santan untuk diminum di perjalanan. Partyyyyyy!!

Sebelum ke parkiran, saya mampir lagi ke lab untuk menginfokan susternya bahwa saya akan kembali besok untuk pengambilan darah.

Sesampainya di hotel, ternyata sudah ada kiriman dari Stacey lagi. Makan siang komplit dengan minuman. Meski sudah lapar, saya sempatkan berjemur sebentar. Sudah jam 11 siang, tapi saya tidak mau melewatkan berjemur untuk terakhir kali sebelum besok pulang. Saya foto lagi pemandangan dari rooftop, padahal sudah banyak sekali foto pemandangan seperti itu selama saya isoman. Setelah itu, saya mandi, keramas lalu lesehan sambil menikmati Nasi Ayam Gepuk yang saya beli tadi. Hari ini boleh makan banyak karena diet selalu dimulai esok hari.

Tidak lama ada kiriman juga dari Yosi, Nasi Kuning lengkap dengan lauknya dan berbagai cemilan, yoghurt, buah-buahan dan susu beruang. Meriah sudah situasi di kamar. Antara bingung dan bahagia banyak yang memperhatikan. Tenanglah kawan, saya tidak akan mengecewakan kalian…. makanan ini akan saya habiskan wkwkwkwk…. Saya pilih-pilih mana yang harus dimakan segera dan bisa dimakan nanti atau bahkan besok.

Seharian menunggu hasil PCR rasanya seperti menunggu hasil ujian, padahal saya tahu, hasil PCR baru akan keluar besok pagi.

Siang ini saya menelepon anak-anak lagi. Saya tidak katakan kapan akan pulang, karena memang kalau hasil PCR masih positif, saya akan lanjut isoman. Tapi saya sungguh berharap hasilnya sudah negatif.

“Niel, kalo mama pulang seneng ga?” (ini pertanyaan ibu yang insecure wkwkwk)

“seneng lah”

“kenapa kok seneng?” (perlu konfirmasi bahwa kehadiran saya diharapkan)

“soalnya kalau ada mama, Nielsen ga bingung pas recess sama lunch mau makan apa”

Deg… saya sedih banget mendengarnya. Meski mereka terlihat baik-baik saja, tentunya kehadiran seorang Mama pasti sangat berdampak. Baik Nak… Mama besok pulang. Tunggu ya sayang….

Saya mulai ngepak barang-barang lagi. Yang tidak perlu dibawa pulang harus saya relakan. Biasanya botol kaca bekas minuman sarang burung saya simpan untuk wadah di rumah. Tapi kali ini, harus saya relakan karena sudah terlalu banyak barang juga di rumah. Setelah saya kumpulkan barang-barang tersebut, saya cukup terkejut karena ketika saya cek in, saya hanya membawa 1 koper, 1 ransel, 1 container berisi peralatan makan dan 1 tas berisi laptop. Sekarang barang-barang sudah berkembang menjadi sangat banyak.

Hari ini terakhir menikmati suasana dan pemandangan yang saya lihat selama 23 hari saya berada di kamar ini. Pemandangan dari tempat tidur saya ke arah kanan, genteng hijau itu dan rumah kecil berwarna tosca yang ternyata adalah pos pintu ke sekolah Loyola. Pemandangan dari jendela yang sama, apabila saya duduk tepat di depannya, dapat melihat hotel Tentrem dengan keindahan lampunya di waktu senja. Pemandangan dari jendela yang sama melihat kanvas luas milik Sang Pencipta. Pemandangan dari jendela yang sama melihat burung-burung terbang bersama, dalam formasi yang simetris dan kecepatan yang sama. Hal-hal kecil yang dulu tidak saya perhatikan, sekarang menjadi sesuatu yang saya kagumi. Semuanya saya abadikan untuk dikenang suatu saat nanti, sesuatu yang tak akan terulang kembali.

Saya kembali menikmati sunset di rooftop, for the last time…. tak henti-hentinya saya kagum akan fenomena ini. Betapa tidak, seolah sang surya mengerti dimana dia harus pergi. Tempat yang sama, jam yang hampir sama setiap hari. Pujian pengagungan pun terucap…. “ku kagum, hormat akan Engkau…. “

Menjelang jam makan malam, datang lagi sebuah kiriman….. dari Sis Lisa yang cantik jelita. Dia mengirimkan yang sehat-sehat berupa Salad Roll dan Croissant. Both are my favorites, but how can I fit them in my tummy? Thank you Lisa.

Hingga jam 7 belum ada kabar tentang hasil PCR. Mami menelepon dan kali ini kami berbicara panjang lebar. Saya mensharingkan apa yang saya dapatkan selama isoman ini. Meski hari-hari sebelumnya kami selalu saling menyapa, namun baru kali ini saya bisa mencurahkan isi hati saya dengan lega. Sambil sesekali saya menangis, saya katakan kalau saya sangat bahagia bisa melewati covid ini, saya bersyukur bisa diberi kesempatan lagi. Di kesempatan isoman ini juga saya bisa terkonek kembali dengan Tuhan, dan ‘membereskan’ hal-hal yang masih mengganjal, kepahitan-kepahitan yang secara tidak sadar banyak terpendam, sudah saya serahkan semuanya di kaki Tuhan. Saya ingin pulang dengan hati yang ringan, menemui suami dan anak-anak yang sudah merindukan. Peila yang baru akan pulang.

Setelah selesai sesi curhat panjang lebar, saya mendapat WA dari Grace.

“ciii congrats uda negatieveee”

Meski belum melihat hasil hitam di atas putih, tapi saya percaya berita ini, karena berasal dari sumber yang dapat dipercaya wkwkwk…. Senangnya seperti mendapat lotre! I’m going home.

Dear Ps Budi and Ci Nany,
Hasil PCR sudah negative. Iam going home tomorrow. Thank you for your support and prayer. 🥰
#staycationisover #23dayswithJesus

Much love,
Peila

Begitu template yang saya buat dan saya kirimkan pada teman-teman yang selama ini sudah mendoakan dan mensupport saya.

Saya informasikan pada suami rencana untuk esok hari. Saya minta agar dia tidak beritahu anak-anak karena saya ingin memberikan surprise kepada mereka. Saya minta suami untuk menyiapkan handuk dan pakaian bersih di kamar mandi belakang karena saya mandi terlebih dahulu sebelum bertemu anak-anak.

Saya informasikan juga ke admin hotel bahwa besok saya jadi cek out. Lalu saya menelepon rumah sakit untuk membuat janji dengan Dr Indra. Saya pikir, ingin konsultasikan hasil Xray dan lab terakhir kali. Namun suster info bahwa pendaftaran untuk besok sudah penuh, tapi saya bisa langsung datang dan ambil nomor di tempat. Baiklah, besok saya akan datang pagi-pagi lagi.

Di group mami internasional, Helen berpesan,”Pulanggg jangan lupa macak sek cikk”

“Pulang mandi di kamar mandi mbak sek 🤣”

“Jangan kayak org sakitt … kudu ketok segerrr. Jd org rmh liat ga wedi. Pokok e kudu ketok ayuuu” (Jangan seperti orang sakit, harus terlihat segar, jadi orang rumah tidak takut. Pokoknya harus kelihatan cantik)

Mezbah Doa malam ini sungguh saya hayati dengan sungguh-sungguh. Terharu biru mengingat kembali momen-momen saya masuk ke kamar ini, dalam kondisi demam, ct hanya 12, dan mengalami masa-masa yang berat hingga sekarang saya bisa pulang dalam kondisi sehat. Saya tahu ini bukan kebetulan, ini adalah mujizat. Dan saya tidak pernah merasa sendiri disini, meskipun dinamai “isolasi mandiri” tapi saya ditemani oleh keluarga dan sahabat yang perduli. Selain suami yang memantau lewat CCTV, saya tahu pasti……. that God is watching over me.

Saya panjatkan sebuah doa permohonan untuk sahabat tercinta, Itax, yang sedang berjuang. God be with you Sis.

#23dayswithJesus #mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 16)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Jumat, 2 Juli 2021 – Hari ke 21

Pagi-pagi Itax sudah lapor di group kalau dia lemes karena kesentor AC semalam sehingga subuh jam 3 dia bangun dan muntah-muntah. Meski demikian, Itax bertekad kalau hari ini dia harus makan Indomie gara-gara dia melihat postingan Tania makan Indomie beberapa hari yang lalu. Saya paham sekali sis… Memang Indomie ini formulanya sangat pas di lidah dan selalu bikin ngiler.

Pagi ini titipan saya berupa ember, gantungan baju, barbel dan abs roller sudah sampai. Rempong ya? Isoman ribet amat bawa segala macam barang, padahal mungkin beberapa hari lagi saya sudah bisa pulang. Masalahnya, saya takut bosan kalau tidak ada kegiatan.

Saya cuci pakaian dalam pakai ember dan gantungan yang tadi dikirim. Entah mengapa saya bahagia bisa nyuci baju lagi hahaha.. naluri ibu rumah tangga sejati. Jemurnya dimana? Kemarin dikasih tips sama Ellen, katanya dia gantung di dalam kamar mandi hingga kering. Kalau versi saya, digantung di kamar mandi sampai airnya sudah tidak menetes lalu siangan saya bawa ke rooftop di jam-jam dimana sudah tidak ada orang yang jemur lagi agar tidak merusak pemandangan.

Sambil mencuci baju, saya rebus dua telur lagi untuk sarapan. Tapi ternyata saya keasikan hingga saya mendengar suara ‘kretek tek tek tek….’ – ternyata air rebusannya habis dan telurnya gosong wkwkkw… Habis sudah persediaan telur di kamar. Untungnya panci tidak apa-apa dan masih berfungsi dengan baik. Thank God masih ada siomay dan pao yang dikirim Stefanie kemarin.

Setelah mencuci, saya mulai olah raga lagi. Selain stretching, saya juga latihan lengan menggunakan barbel dan tone perut buncit ini dengan abs roller. Baru sebentar saja sudah ngos-ngosan lagi. Saya teringat Nadine, seorang teman yang terpapar hampir berbarengan namun sudah mendaki gunung pagi ini. Super sekali Sis!

Saya cerita di group kalau hari ini saya mulai olah raga lagi. Lalu Tania cerita kalau dia juga kemarin mulai olah raga namun setelahnya berasa mual. Kesimpulan, setelah pulih dari Covid dan tubuh berasa ‘enakan’, jangan langsung olah raga yang berat-berat dulu. Kalau bisa, 10 hari bedrest, makan enak, banyak tidur, banyak senang, setelah itu mulai dengan olah raga yang ringan dan bertahap.

Menu siang ini dikirim oleh adik ipar saya Levi yang tinggal di Jakarta. Dia memesankan Nasi Empal Bu Marie milik temannya di sini. Tentu saya suka – habis juga. Thank you Lev.

Siang Itax laporan lagi kalau dia masih pusing dan kalau tiduran malah merasa lebih tertekan sehingga meskipun pusing, dia memilih menyetrika baju dibanding tiduran. Lalu group WA kembali tegang karena ada teman kami, Susan, yang sedang on the way ke Tegal untuk menjemput Papanya karena Mama dan adiknya terpapar Covid. Namun di tengah jalan ternyata dia dikabari kalau Papanya juga positif. Akhirnya dia tidak melanjutkan perjalanannya ke Tegal dan putar balik ke Semarang. Sudah dua minggu hampir tiap hari mendapat kabar seperti ini. Berita dari teman-teman yang kerabatnya atau dirinya terpapar.

Siang ini saya video call dengan anak-anak di rumah. Mereka sedang membuat Mango Smothies. Semenjak ditinggal sendiri, mereka jadi kreatif dan lebih mandiri. Hari itu saya bertanya pada si bungsu yang biasanya selalu cerita-cerita di kelas mengenai apa yang terjadi di sekitarnya.

“Niel, kamu cerita ga ke temen-temen di kelas kalau mama kena covid?”

“Engga”

“kok tumben? Biasanya kamu selalu cerita-cerita sama temen2.”

“Nielsen takut dijauhin temen-temen kalau pada tau mama kena covid”

Gak tahan saya tertawa terbahak-bahak. Lucu sekali si kecil ini.

Saya menyantap asinan buah yang sejak tadi pagi sudah saya pesan. Mulut rasanya ingin yang segar-segar, karena sejak awal gejala hingga sekarang, rasanya ada selaput di lidah atau di mulut yang membuat saya selalu merasa belum sikat gigi padahal sudah dan bahkan disertai kumur pakai Betadine. Tapi rasa tidak nyaman itu terus ada sepanjang hari sehingga selalu ada keinginan untuk makan yang segar-segar seperti buah atau sesuatu yang dingin.

Sudah terbayang enaknya asinan ini. Dari penampilannya saja sudah bikin ngiler. Tapi ketika saya memakannya, kok rasanya biasa aja ya. Entah indra perasa yang masih belum 100% kembali, atau memang kuah asinannya yang kurang nendang. Ternyata apa yang terlihat nikmat, belum tentu enak.

Berita-berita tentang ‘post covid’ terus berdatangan di WA. Sesuatu yang perlu diwaspadai tentunya. Hasil thorax ketiga yang masih menunjukkan penambahan bercak terus menghantui saya. Bagaimana kalau ternyata bercak itu terus bertambah dan tiba-tiba tanpa saya ketahui menutupi paru-paru seperti cerita-cerita yang saya dengar sebelumnya? Saya teringat seorang teman yang pernah menolong saya sewaktu Nielsen kena penyakit Kawasaki. Namanya Kathryn. Dia berprofesi sebagai dokter di Jepang. Saya belum pernah bertemu face to face dengannya, tapi beberapa kali kami bertegur sapa lewat media sosial.

Saya chat Kathryn via WA. Saya jelaskan kronologisnya, obat-obatan yang sudah saya konsumsi dan saya kirim hasil-hasil test selama ini. Begini analisa beliau.

“Sejak gejala pertama, PCR 12-14 Juni, sampai sekarang sudah lewat 2 minggu. I think you are getting better. Setidaknya sudah lewat masa yang dianggap biasanya kritis untuk jatuh ke severe. Nah, meski masa yang dianggap biasanya mungkin kritis sudah lewat, tapi memang hasil lab sampai balik normal masih butuh waktu dan ya tetap waspada karena D-dimer dan CRP masih cukup tinggi. Rontgen paru sih gak apa ya. Sementara dia sampai titik stagnan. Tidak bertambah banyak tapi belum berkurang. Moga2 setelah ini pelan pelan berkurang. Kalau mau sih sekali cek CT scan paru. But I think gak terlalu perlu kalau tidak ada gejala mengarah ke buruk.”

“Trombosit naik perlu concern ga?”
“Well, menurut aku gak perlu terlalu khawatir soal thrombocyte naik saat ini. Ada kemungkinan ini rebound perjalanan penyakitnya. Biasanya si Covid ini sering diikuti thrombocyte turun meski D-dimer naik. Kamu ini juga sudah dapat obat pengencer darah khan? Selama ini minum, semoga gak ada apa2. Nanti pelan2 D-dimer, CRP balik ,semoga thrombocyte juga balik normal.”

Lebih ayem rasanya setelah ada opinion dari Kathryn. I am in the right track towards recovery. Thanks Kathryn.

Hari ini saya membaca sebuah buku yang saya beli dua tahun yang lalu di acara Treasure Women Conference – JPCC. “Without Rival” by Lisa Bevere. Sudah lama saya tidak membaca buku. Alasannya klasik. Tidak ada waktu. Mumpung sedang banyak waktu, saya akan membacanya.

Biasanya kalau saya membaca buku, saya harus memegang stabilo dan meng-highlight kalimat-kalimat yang saya anggap penting, menginspirasi, ‘yes, I agree’. Namun tidak ada stabilo disini. Jadi, supaya saya bisa fokus dan menghayati, saya baca dengan mengeluarkan suara sambil berlatih kembali pengucapan kata dalam bahasa Inggris. Awalnya geli, seperti sedang kursus bahasa Inggris. Tapi saya berhasil membaca hingga 27 halaman lalu saya berhenti karena haus wkwkwk….

Bahasan di bab pertama cukup menarik buat saya. Penulis menjabarkan tentang siapa diri kita yang sebenarnya. Di akhir bab ada pertanyaan yang harus saya jawab untuk menganalisa diri. Saya ambil waktu untuk merenung. Saya duduk di pinggir ranjang menghadap genteng bangunan sebelah, pemandangan yang saya lihat setiap hari dan yang saya kagumi.

Sambil merenung, saya melihat betapa indah ciptaan Tuhan. Langit biru yang membentang, burung-burung yang terbang bersamaan membentuk barisan yang simetris dalam kecepatan yang sama. Sungguh menakjubkan.

Saya masih merenung untuk menemukan jawaban ‘siapa diri saya di mata Sang Pencipta?’

Sungguh pertanyaan yang simpel sebetulnya, namun perlu waktu untuk saya menemukan jawabannya. Ketika saya mencoba untuk memejamkan mata dan membuka telinga, muncullah ingatan-ingatan di masa kecil hingga dewasa. Saya tahu Tuhan sedang berbicara, meskipun saya tidak mendengar suaraNya.

Sebuah lagu lama tiba-tiba muncul dalam hati saya. Lagu ini saya dengar pertama kali di gereja saya di Melbourne – Mulgrave Uniting Church. Saya tidak tahu persis tahun berapa, tapi mungkin sekitar tahun 1992 – 1993. Lagu ini seingat saya dinyanyikan duet oleh Kak Ruby & Kak Evie. Lagu ini diambil dari sebuah puisi yang menceritakan tentang seorang pria yang bermimpi sedang berjalan dengan Tuhan di tepi pantai. Dia melihat di langit ada berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Dalam setiap peristiwa tersebut, dia melihat ada dua pasang kaki disitu; satu miliknya dan satu lagi milik Tuhan. Ketika dia melihat peristiwa terakhir yang terpampang disana, dia melihat kembali jejak-jejak kaki di peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dia menyadari bahwa di beberapa peristiwa, hanya ada satu pasang jejak kaki yang terlihat. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah masa-masa dimana dia mengalami masa-masa tersulit dan terendah dalam hidupnya. Dia sangat penasaran akan hal ini dan tidak tahan untuk menanyakan pada Tuhan.

“Tuhan, Engkau berkata bahwa sekali saya mengikutmu, Engkau berjanji tidak akan meninggalkanku sedetikpun. Tapi aku melihat di masa-masa tersulit dan terendah, hanya ada satu pasang kaki. Aku tidak mengerti, di saat aku sangat membutuhkanMu justru Engkau meninggalkanku”

Lalu Tuhan menjawab:
“Anakku, anakku yang sangat berarti dan berharga, aku mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu. Di saat engkau berada dalam pencobaan dan penderitaan, ketika engkau hanya melihat satu pasang jejak kaki, saat-saat itulah Aku menggendong kamu.”

Saat itu air mata mengalir. Saya tahu Tuhan sedang berbicara secara pribadi kepada saya melalui lagu ini. Tidakkah engkau percaya Peila…. Aku telah menggendongmu di saat engkau tak mampu, janganlah engkau ragu lagi.

Sebuah perasaan yang teduh dan damai meliputi hati. Tak bisa digambarkan dan dituliskan dalam kata-kata. Hanya dapat dirasakan.

Lalu saya menuliskan di buku diary saya apa yang saya dapatkan di hati saya.

“Peila is God’s precious daughter. So precious that He always give the best for her. So loved that He carried her when she was down.”

“Peila adalah anak perempuan milik Tuhan yang sangat berharga. Sangat berharga sehingga Dia selalu memberikan yang terbaik untuknya. Sangat dikasihi sehingga Dia menggendongnya ketika dia susah/sedih.”

Sore itu suami berada di proyek dekat hotel. Dia hendak mengirimkan kopi yang dibelinya untuk saya. Dia tau saya pecinta kopi. Tapi niat baiknya hari itu terpaksa saya tolak karena jantung masih berdebar-debar dan saya masih harus minum obat. Thank you for thinking of me.

Malam ini saya tiba-tiba ingin makan Bibimbap. Ternyata, sering nonton drakor, selain vibes romantisnya yang terbawa, urusan lidah pun terpengaruh. Sudah menimbang-nimbang antara ramyun atau nasi, akhirnya pilihan jatuh pada nasi. Bibimbap it is.

Setelah beres meminum obat-obat untuk hari ini, saya menunggu beberapa jam untuk meminum obat ramuan China itu. Sambil chat sana sini via WA, tiba-tiba saya melihat ada berita duka datang dari Salatiga. Ps Samuel telah berpulang. Semua terkejut tidak menyangka. Selamat menikmati kemuliaan Tuhan dalam kekekalan, Pastor.

Akhirnya tiba saatnya untuk meminum obat ramuan. Saya siapkan cangkir kecil, lalu menyendokkan 6 sendok takar bubuk obat dan menyeduhnya dengan air panas. Setelah aman untuk diminum saya menyeruputnya. Saya sudah menyiapkan diri untuk merasakan rasa pahit dari minuman yang berwarna coklat pekat ini. Namun apa yang saya rasakan sungguh mengejutkan. Dalam seruputan pertama, rasanya seperti Dark Chocolate drink without sugar. Lalu saya seruput lagi… sama… tidak pahit sama sekali. Akhirnya saya minum sekaligus hingga habis. Enak. Dalam hati saya tidak yakin, ini lidah saya yang masih eror atau memang rasanya seperti ini.

Sebelum tidur saya berpikir sejenak. Rencana untuk beberapa hari ke depan, sesuatu yang belum saya lakukan. Apa gerangan?

Sabtu, 3 Juli 2021 – Hari ke 22

Jam 1 malam terbangun dan tidak bisa tidur lagi….. sudah dicoba dengan berbagai posisi hasilnya nihil. Akhirnya nyicil 2 episode dracin yang baru saya tonton semalam dan tertidur lagi. Amazingly saya bisa terbangun untuk Mezbah Syukur pagi ini.

Pagi-pagi Itax sudah absen setelah semalam dia menghilang di group. Biasanya kalau dipanggil di group dia segera nyahut.

“Kepala sakit ciii. Lg lemes ciiii… Brsan muntah lg 😭😭”

Sejujurnya saya sangat khawatir akan kondisi Itax. Sudah beberapa hari dia merasakan pusing dan mual yang tidak biasa. Awalnya saya pikir akibat kemo-nya. Tapi ternyata ‘masuk angin’ gara-gara kesentor AC semalaman. Saya mengajak teman-teman di group untuk banyak berdoa – hari-hari yang sulit untuk kita semua, agar semua diberi kekuatan untuk menjalaninya. Hanya Tuhan sumber kekuatan kita.

Saya bacakan Mazmur 62:5-8 untuk Itax dalam bahasa Inggris.

Find rest, O my soul, in God alone; my hope comes from him.6 He alone is my rock and my salvation; he is my fortress, I will not be shaken.7 My salvation and my honor depend on God [1] ; he is my mighty rock, my refuge.8 Trust in him at all times, O people; pour out your hearts to him, for God is our refuge. Selah – Psalm 62:5-8

Hanya pada Allah sajad kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku. 62:6 (62-7) Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. 62:7 (62-8) Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindungankue ialah Allah. 62:8 (62-9) Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat,f curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya;g Allah ialah tempat perlindungan kita. Sela – Mazmur 62:5-8

Siangnya saya menyantap Nasi Ayam kiriman dari Wina. Dia mengantarnya sendiri kesini. Thank you for thinking of me. Nikmat sekali rasanya.

Magic Pel barusan datang. Segera saya eksekusi. Ternyata memang praktis beneran. Bahan tongkat dan dudukan pelnya sangat halus, bukan yang kasar dan ringkih. Saya coba pake tissue bawaannya yang kering untuk menyapu debu dan rambut yang berceceran di lantai. Sekali pakai langsung buang, tidak pake repot membilas. Tongkatnya sangat fleksible bisa berputar 360 derajat, dan sangat mudah menjangkau seluruh area kolong ranjang. Setelah selesai menyapu debu, lalu saya pakai tissue basah bawaanya juga. Seketika lantai terasa kesat dan bersih. One word to describe this Magic Pel: ‘Satisfying’. Memang beda kalau Made in Japan. Ini review jujur saya terhadap pel ini. Memang tissue bawaannya itu tergolong mahal, apalagi tissue basahnya. Tapi bisa disiasati dengan menggunakan lap microfiber, hanya saja jadi tidak praktis lagi, karena harus dibilas dan dicuci – but I will do it anyway, demi menghemat kas negara.

Malam ini saya pesan Ayam Kalasan Rebus lagi. Saya pesan nasi kongbap, paha – tahu – tempe rebus dan telur dadar. Memang sengaja pesan banyak, sebagian untuk besok pagi pikir saya. Tapi ternyata ketika pesanan saya buka, isinya 3 paha rebus dan 1 potong tahu rebus saja. Saya yakin ini bukan pesanan saya. Pasti tertukar dengan pesanan orang lain. Awalnya saya pikir jangan-jangan tertukar di Reception. Tapi setelah saya cek, mbaknya bilang kalau tidak ada lagi kiriman untuk yang lain. Hanya ada itu saja.

Lalu saya coba cek nota yang ada di kreseknya dan menghubungi nomer telepon yang tercantum disitu. Saya WA dan jelaskan duduk masalahnya. Saya infokan juga kalau saya sedang isoman, jadi saya tidak mungkin memberikan pesanan yang salah ini kembali karena sudah saya buka dan saya pegang. Setelah dicek oleh pemilik restoran, ternyata bapak ojol menerima dua orderan dan dia salah memberikan pesanan. Pemilik restoran menanyakan apakah pesanan saya tetap mau diganti atau bagaimana? Saya bilang tidak usah, saya akan makan ini saja. Tapi saya akan bayar selisih dari orderan orang ini dan orderan saya supaya orang tersebut mendapat pesanan yang benar. Saya yakin orang yang satunya akan komplain karena pesanannya salah dan kurang.

Tidak lama kemudian, bapak ojol telepon saya dengan suara yang penuh kekhawatiran. Dia menjelaskan kalau pesanan yang dikirimnya tertukar. Saya jelaskan kalau saya tidak mungkin memberikan kirimannya kembali karena saya sedang isoman. Mendengar penjelasan saya, bapak ojol malah terdengar tidak suka. Suaranya nyolot dan berkata,’jadi saya harus gimana?’

“Pak ini saya beli aja, nanti bapak ke restonya lagi tadi saya sudah bilang akan saya bayar kekurangannya supaya bapak bisa mengirimkan pesanan yang sesungguhnya kepada orang yang memesan”

“Jadi Ibu kasih uangnya sekarang ke saya?”

“Ga bisa pak, saya sedang isoman, saya ga bisa keluar kesitu, nanti saya transfer saja ke restorannya langsung. Bapak kesana aja ambil pesanan yang benar.”

Tidak ada kata maaf dari bapak itu. Seolah ini semua salah saya wkwkwkwk…. Tak apalah, memang ada orang-orang yang seperti itu di dunia ini, bukan bapak ojol ini saja. Saya tidak kesal dengan insiden ini, karena makan 3 potong ayam tanpa nasi justru lebih sehat kan?

Lalu saya kontak lagi pemilik resto dan menjelaskan bahwa saya akan mentransfer kekurangannya. Saya minta diinfokan berapa yang harus saya transfer dan nomer rekeningnya. Hingga saya selesai makan, pemilik resto ini belum membalas.

Satu jam kemudian saya mendapat WA dari beliau.

“Ya tidak pa” buat bonus. Cepat sembuh 🙏🙏🙏”

“Oh. Terima kasih. Tuhan memberkati.”

“Ya siap. Terima Kasih Banyak 🙏🙏🙏 Tuhan Memberkati juga 😇😇😇”

Saya terharu. Masih banyak orang yang murah hati. Padahal saya sudah bersedia mengganti, tapi pemilik resto ini memilih untuk memberi. Terima kasih Ayam Kalasan Simpang Lima – nanti saya larisi lagi.

Malam ini teko keramik listrik dan topi sudah datang. Semua dalam keadaan baik. Teko langsung dicuci dan dipakai untuk memanaskan air. Topi besok dipakai untuk berjemur. Selalu menyenangkan jika ada barang baru. Siapa yang begitu juga?

Bahan teko ini tebal, halus dan tidak kasar. Barang sesuai dengan foto dan deskripsi. Pemanasnya pun betul terbuat dari keramik. Puas dengan barang ini. Hanya saja….. ketika saya coba untuk menuang isinya ke gelas, selalu tumpah. Jadi yang saya lakukan adalah menuangnya di atas wastafel atau menatakinya dengan tissue terlebih dahulu. Sekian review dari saya.

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 14)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Senin, 28 Juni 2021 – Hari ke 17

Hari ini jadwal ke rumah sakit untuk cek lab dan thorax lagi. Memilih datang pagi supaya tidak terlalu ramai dan tidak parkir di lantai 5 seperti sebelumnya. Ini kali ke 4 saya ke RS selama isoman. Setelah breakfast telur 2 butir yang direbus pake panci baruuuu…. dan sebuah kiwi, saya bersiap mandi. Kabar baiknya sewaktu bangun tadi, suhu tubuh saya sudah berada di 36.8C. Jadi sudah normal.

Sesampainya di rumah sakit, parkiran masih sepi. Radiologi pun tidak antri. Namun ketika saya memasuki ruang tunggu untuk cek lab, sudah banyak orang disana. Saya mengambil nomor antrian untuk bayar tindakan. Setelah bayar, saya menuju kursi dekat lab untuk menunggu giliran.

Ada seorang tante duduk di kursi roda. Di sebelahnya sebuah tabung oksigen ukuran sedang. Selang terhubung ke hidungnya. Dia sedang telepon. Suaranya tidak pelan, sehingga saya bisa mendengarnya dengan jelas, meskipun saya duduk kira-kira 6 meter darinya.

“La nek dicopot selange saturasine turun. Kudu di’nggo” – begitulah sepenggal perbincangan yang saya dengar.

Tidak lama, seorang pria paruh baya menerima telepon. Ini lebih keras lagi dari tante yang tadi.

“Halo, he eh… ini aku Om, anake ……. (dia menyebutkan sebuah kedai makanan yang cukup terkenal di kota Semarang) . Kita sekeluarga covid Om, bojoku, mbe anakku loro”

Begitu kata ‘covid’ berkumandang, spontan semua mata memandang. Tapi hanya sebatas memandang, tidak ada perpindahan tempat duduk atau pergerakan lainnya. Kemungkinan semua yang menunggu disitu memang kena covid; bedanya yang lain diam, yang ini ‘pengumuman’.

Saya duduk di pojokan sambil tersenyum-senyum geli dan laporan di group tentang apa yang saya saksikan. Cukup entertaining memang, karena pria ini menelepon cukup lama. Sepertinya dia meminta resep obat ramuan pada seorang sinshe di luar kota.

Akhirnya giliran saya tiba. Suster yang bertugas pagi ini seorang wanita. Kelihatannya dia sudah mahir. Saya katakan kalau beberapa kali darah diambil di punggung telapak tangan karena pembuluh sulit ditemukan di bagian lengan. Namun suster ini tidak langsung menyerah. Dia masih berusaha menepuk-nepuk di dekat siku dalam. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil di siku kanan.

“disini ya bu, agak sakit sedikit, tarik nafassssss… lepaskan genggaman.”

Benar dugaan saya. Suster ini mahir. Sekali coblos langsung dapat.

Setelah selesai, saya tergoda untuk ke area bawah, karena disitu ada beberapa toko, cafe dan toko roti. Sudah beberapa hari terakhir saya terbayang-bayang makan roti tawar diberi butter dan ditabur meses. Tapi niat itu saya urungkan karena di bawah sudah banyak orang. Akhirnya saya langsung ke parkiran.

Sesampainya di hotel, sudah ada kiriman dari Ling2, teman lama yang saya kenal ketika kami masih di Melbourne. Kemarin Ling2 tanya, mau dikirim apa? Saya sungkan, tapi ga boleh nolak rejeki kan. Akhirnya saya bilang terus terang kalau beberapa kali pesan KFC di cancel terus sama ojolnya. Dan hari ini Ling2 mengantar sendiri ke hotel – Nasi putih dan 2 paha plus cream sup dan Coca Cola.

Meski sudah lapar, prokes harus tetap dijalankan. Pulang dari rs berasa bawa virus banyak nempel-nempel di badan. Mandi, keramas, sikat gigi, kumur-kumur, siap makan.

Makan siang itu sangat istimewa. Betapa tidak, KFC sudah menjadi favorit sejak saya kecil – dan saya bisa pastikan tidak ada orang yang tidak suka KFC, kecuali orang itu vegetarian. Sejak ada yoga mat, saya selalu makan di lantai. Entah kenapa rasanya lebih nikmat.

Yang pertama saya santap adalah supnya dulu. Lalu nasi yang pulen itu berpadu dengan daging ayam yang juicy dan rasanya menawan hati. Enak banget. Tidak ada rasa yang hilang. Thank you Ling – ngidamku kesampaian.

Saya mengirimkan foto KFC itu ke anak-anak. Lalu mereka membalasnya dengan foto nasi dan omelet yang mereka buat. Tak apa Nak, dulu mama juga sering makan nasi dengan telur saja. Yang penting kita bisa menikmatinya.

Sambil nunggu hasil rontgen dan lab, saya tiduran. Sejak nafsu makan dan indra perasa kembali, saya jadi makan banyak. Dalam hati saya menebak, jangan-jangan sudah naik lagi timbangan. Tapi diet selalu mulai besok kan?

Di group WA, Susan cerita kalau ada ipar temennya yang meninggal karena covid. Padahal tidak ada komorbid dan sehat tapi saturasi turun terus. Awalnya karena sejak badan merasa ga enak, dibiarkan bahkan masuk kerja – tidak mau swab, lalu sesak dan tidak mendapat bantuan oksigen karena habis.

Terus terang tiap kali denger berita seperti ini saya jadi was-was, karena dulu-dulu yang terkena covid hingga tak tertolong saya selalu dengar karena ada komorbid. Tapi akhir-akhir ini yang muda dan sehat pun banyak yang tak tertolong dengan berbagai faktor.

Apa mungkin ketauannya telat? Atau tidak mau makan sehingga imun menurun? Atau mungkin pikiran? Karena pikiran sangat besar pengaruhnya pada proses penyembuhan. Saya mengingatkan diri lagi, “ayo ingat ayat ‘semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci , semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

Issue lain yang sedang beredar adalah selain rumah sakit yang penuh, tempat kremasi juga penuh sehingga banyak yang harus mengkremasi anggota keluarganya di luar kota. Status darurat dan siaga. Tidak pernah sepanjang hidup saya berada di kondisi dan situasi seperti ini sebelumnya. Kita berada dalam sejarah pandemi yang katanya terjadi setiap 100 tahun sekali.

Berbagai usaha diupayakan, dari pake masker, cuci tangan dan menjaga jarak serta membatasi kegiatan di luar rumah. Tapi ketika tidak bisa dihindari lagi, apa yang harus dilakukan? Karena virus terus menyerang seiring dengan berjalannya waktu. Timing is critical.

Istilah-istilah yang dulu jarang atau bahkan belum pernah kita dengar sebagai orang awam, sekarang menjadi istilah yang umum yang hampir setiap hari kita baca. Saturasi, oximeter, swab, antigen, PCR, CT value, donor plasma, badai sitokin sudah menjadi sangat familiar.

Vitamin D yang dulu jarang terdengar, sekarang semua orang mulai mencarinya. Saya teringat waktu hamil si bungsu, dokter kandungan di Melbourne menambah dosis Vitamin D untuk saya, karena setelah di tes ternyata nilainya kurang. Dan sewaktu si bungsu baru berusia 2 hari, dia langsung mendapatkan Vitamin D dosis tinggi (50,000 units) secara oral. Keterangan ini ditempel di cover ‘buku biru’ nya Nielsen sehingga saya teringat terus akan hal ini. Buku biru itu diberikan untuk setiap bayi yang lahir dan mencatat semua hal yang berhubungan dengan kesehatan anak serta data tumbuh kembangnya. Mirip seperti buku servis mobil istilahnya.

Kalau dulu yang dijemur hanya baju dan bayi yang baru lahir, sekarang orang dewasa pun disarankan untuk berjemur. Di awal pandemi saya rajin sekali berjemur – lama pula, hingga akhirnya kerajinan itu lama-lama berkurang ketika lambat laun kulit berubah warna.

Hari ini ada kiriman dari Meme, teman pertama yang saya kenal di playgroup tempat anak kami sekolah. Kemarin Meme chat saya dengan sangat hati-hati menanyakan bahwa dia mendengar dari orang kalau saya positif. Saya membenarkan berita itu. Dan hari ini dia mengirimkan sup ayam herbal buatannya, disertai surat cinta tentunya. Saya terharu, Meme memasak itu spesial untuk saya, tanpa totole, micin dan sejenisnya. Dia masih ingat kalau saya suka “healthy food”. Dia tidak tahu kalau siangnya saya baru makan junk food wkwkkwkwkwkw…. But thank you Me for remembering me sebagai orang yang suka makanan sehat.

Saya ingat waktu di TK, saya membawakan Nicholas bekal sayuran yang dikukus tanpa diberi bumbu apa pun. Plain, just as it is. Mami-mami lain terheran-heran karena pertama, Nicholas suka, kedua, kok saya tega. Memang sejak saya hamil, saya mengadopsi cara-cara dan panduan dari negeri sebrang – Western style. Sehingga dari jenis dan tahap makanan yang saya berikan saya ikuti panduan dari berbagai website dan buku resep luar negri. Secara rasa tentunya lebih ‘hambar’ menurut ukuran orang Indonesia yang sukanya gurih dan tasty, tapi makanan yang direkomendasikan menurut saya lebih sehat dan alami.

Meski sudah makan KFC dan snacking soup herbal, malamnya saya lapar lagi. Kenikmatan kemarin makan ala Sunda masih terbayang. Setelah scroll atas bawah sana sini, pilihan jatuh pada Ayam Goreng Kampung Kali – my old time favorite. Saya ulangi lagi gaya makan kemarin; duduk di lantai, makan pake tangan dan menikmati. Berapa kalori? Saya tak peduli, itu urusan nanti.

Ternyata bisa menikmati makanan yang kita makan itu sungguh sebuah anugrah, benar kata Pengkotbah 3.

"Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah."

Bayangkan bila kita mampu membeli makanan terenak dan termahal sekalipun, tapi tidak bisa menikmatinya, bukankah itu sia-sia?

Hasil lab dan thorax yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. In summary: trombosit meningkat di atas nilai rujukan, ddimer dan CRP membaik, bercak di paru bertambah.

Saya tidak tahu apakah trombosit meningkat is good or bad. Karena seingat saya, ketika Nielsen kena kawasaki, trombositnya meningkat juga dan melebihi nilai rujukan. Dalam kasus Nielsen, it was a bad sign. Hasil thorak ‘bercak bertambah’ membuat saya sedikit panik. Ada apa gerangan, kok tidak berkurang?

Saya chat ko Lie Kuang lagi. Saya ingat waktu dia terpapar ada masalah dengan trombosit juga.

“Koh LK, wkt dulu trombositnya tinggi ya?”

“aku malah kaya org dbd, dibawah normal”

Selama saturasi masih bagus seharusnya saya tidak perlu khawatir, begitu kata ko LK.

Saya googling lagi. Trombosit tinggi pada covid – lalu keluarlah beberapa artikel yang membahas soal itu. Saya tidak mau berspekulasi, lebih baik konsultasi pada yang ahli.

Saya telepon RS dan mendaftar untuk konsultasi dengan dr M lagi. Meski minggu lalu dr M bilang untuk kontrol dua minggu atau bahkan sebulan lagi, namun hasil lab dan thorax yang saya terima hari ini membuat saya resah. Kenapa bercak masih bertambah? tidak bisakah dokter yang menganalisa menuliskan “kesan” yang lebih baik? Karena kalau saya lihat hasil xray nya terus terang saya bingung yang dimaksud bercak itu mana aja.

Malam ini suami menyuruh saya tes antigen, karena sudah lewat 17 hari dari gejala awal. Tadinya saya malas, karena harus colok hidung lagi. Saya pikir langsung PCR saja nanti. Tapi ternyata banyak juga yang sudah lewat 20 hari, hasil PCR masih positif. Jadi saya coba tes mandiri malam ini. Dan hasilnya sudah negatif. Yay!

Saya infokan di group. Mami-mami pada memberi selamat.

“Yeayyyy sehattt…. Udh siap2 balik rmh blm ci? Apa msh mau staycation 🤭😂”

“Br perpanjang 3 hr ke depan lg 🤣”

Saya tidak mau buru-buru pulang. Pertimbangannya… batuk masih cukup sering meski tidak separah kemarin-kemarin. Tapi rasanya masih belum pede untuk pulang rumah.

Malam itu saya berusaha menenangkan diri. Mengapa saya khawatir lagi? Bukankah saya beriman kalau semua yang terjadi dalam kendali Tuhan?

“Tenanglah hai jiwaku” – saya perkatakan itu supaya telinga mendengar.

Saya berlutut dan memohon ampun karena masih ada keraguan.

Hanya dekat Allah saja kiranya aku tenang.

Selasa, 29 Juni 2021, Hari ke 18

Pagi ini saya menyempatkan diri untuk jemur sebelum ke rumah sakit karena kemarin saya skip. Pagi itu langit sangat biru dan bersih. Pemandangan yang menyejukkan mata. Lalu saya bergegas ke rumah sakit supaya tidak kesiangan dan antri terlalu lama. Ini kali ke 5 saya ke rumah sakit dalam 18 hari terakhir. Sebuah destinasi yang tidak menyenangkan tentunya.

Kondisi ruang tunggu dr M tidak terlalu ramai. Saya menunggu di pojokan. Tidak lama datanglah 3 orang bapak-bapak yang mendorong ayahnya yang duduk di kursi roda. Kondisi sang ayah cukup parah, batuk2 dan terlihat lemas. Mereka menanyakan suster bagaimana caranya agar mendapat kamar untuk opname, karena antrian di UGD masih panjang. Bapak yang satu terlihat sibuk menelepon sana sini dengan topik yang sama, cari kamar.

Saya memutuskan untuk pindah ke kursi yang lebih dekat dengan ruang praktek dokter, menghindari keramaian. Lalu tidak lama suster memanggil saya untuk pengecekan rutin. Suster memeriksa tekanan darah, saturasi, suhu dan berat badan. Semuanya normal, dan ketika saya ditimbang pun beratnya masih sama dengan sebelumnya. Artinya belum ada kenaikan seiring dengan bertambahnya nafsu makan. One good news!

Akhirnya giliran saya tiba. Saya memasuki ruangan dokter. Dejavu!

“Halo dok”

“Halo gimana ada yang bisa saya bantu”

“Ini saya kemarin cek thorax sama lab lagi dok. Soalnya kan saya masih batuk dan kadang masih demam. Hari ini sih tadi pagi sudah normal suhunya, tapi kadang kalau malam naik lagi sampe 37.5 an kira-kira.”

Lalu saya memberikan hasil thorax 1-2-3 dan dokter memasang di lampu sehingga ketiganya dengan mudah bisa dibandingkan.

“hm.. ya ini memang ada penambahan bercak. Jadi kalau covid itu ya jalan terus tapi nanti lama-lama hilang kok. Beberapa minggu lagi, atau bisa berbulan-bulan nanti bersih lagi”

“kalau dari hasil lab dok, itu trombositnya kan naik ya, apakah harus concern?”

Lalu saya terbatuk.

“nah dok, sekarang batuknya udah gak sering banget, tapi masih ada, trus seperti tadi itu batuknya”

“pengencer darahnya nanti dilanjut aja. kemarin 15mg ya, sekarang saya kasih 30mg. sama nanti saya resepkan antibiotik lagi karena sepertinya masih ada infeksi ya. lalu saya kasih lagi obat batuknya.”

“oiya dok, sekarang nafsu makan saya sudah kembali, saya sudah bisa makan banyak dok. dan jadi laperan sekarang, padahal obat penambah nafsu makan yang dokter resepin kemarin belum saya makan lho.”

“hahaha… bagus dong kalau sudah bisa makan banyak. itu obatnya disimpan aja, nanti barangkali ada yang perlu atau buat jaga-jaga di rumah”

“trus dok kalau untuk isoman itu sebaiknya selesainya kapan ya? soalnya saya kan ini udah lewat dari 14 hari sebetulnya, tapi gejala masih ada nih. batuk sama demam, jadi saya masih belum berani pulang karena saya takut masih menularkan, di rumah ada mertua dan anak-anak juga.”

“kalau saya pribadi isoman bakal sebulan… atau kalau misal ga bisa sebulan ya minimal 3 minggu lah. soalnya kan kita juga ga tau sebetulnya itu virus masih menular atau engga, tapi untuk amannya kalau saya sebulan.”

Glek…. saya tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya wkwkwk…

“trus kalau PCR itu sebaiknya kapan ya? semalam sih saya sudah cek antigen sendiri, hasilnya udah negatif”

“kalau sekarang mungkin masih positif, sebaiknya tunggu beberapa hari lagi, soalnya kan mahal ya, sayang kalau buru-buru’

Setelah selesai, saya mengambil resep di counter depan. Kali ini saya bilang sama susternya mau beli di luar saja, kapok antri di farmasi.

Sewaktu saya melewati farmasi, saya berubah pikiran. Ngapain harus beli diluar, disini aja sekalian, di luaran belum tentu ada juga. Akhirnya saya masuk ke farmasi yang terlihat tidak seramai sebelumnya dan mengambil nomer antrian. Dari tempat saya duduk terlihat bapak ojol berjejer sedang di counter depan. Saya bergumam dalam hati, ‘ojol-ojol ini sangat membantu di saat pandemi. Mereka yang menjadi asisten kita beli kesana dan kesini. ‘

Sambil menunggu saya cek WA lagi. Stacey info kalau dia mau kirim makanan untuk saya siang ini. Berkat tak terduga selalu mengharukan. Padahal kemarin saya sudah pesan cemilan Bubur Ketan Hitam dan Misoa Goreng hasil dari browsing-browsing instagram.

Satu jam kemudian nomer saya dipanggil. Dan ternyata …. obatnya yang available hanya 1 macam. Lainnya kosong, kecuali saya mau ganti dengan merk lain. Ada rasa kecewa yang mendalam, wah…. sudah nunggu lama, ternyata habis pula. Nyesek rasanya. Akhirnya saya keluar, tidak jadi ambil obat disana.

Karena semalam antigen sudah negatif, saya berani turun ke area bawah. Ingin membeli roti tawar di bakery sana. Tapi ternyata tidak ada. Lalu saya ke super market, mencari cairan pembersih toilet. Sudah 17 hari rasanya perlu di bersihkan karena saya terlalu sungkan untuk meminta petugas hotel membersihkan. Saya mencari sikat wc yang ada tatakannya, tapi disana kosong. Akhirnya saya hanya membeli cairan pembersih dan buah naga, dan berpikir akan membeli sikatnya di Jeng Tinah nanti.

Lalu saya bergegas pulang. Sudah tak sabar ingin makan. Sesampainya di hotel, sudah ada tumpukan kiriman di depan kamar.

Selesai mandi dan bersih-bersih, saya mulai makan. Stacey mengirim 2 main meal, 1 snack dan 1 minuman. Komplit amat, hari ini ditraktir Stacey. Yay!

Selesai makan, ada WA dari Etha, dia mau kirimkan roti sisir Jogja miliknya yang terkenal itu. Saya speechless. Pas lagi ngidam roti, tau-tau ada yang mau kirim. Terima kasih Tuhan, urusan perut aja Kau sediakan. Thank you Etha.

Setelah makan selesai, saya mencari obat yang tadi belum jadi saya beli di rumah sakit. Setelah WA beberapa apotik, akhirnya saya dapat di apotik dekat rumah saya lagi. Dosis pengencer darah yang harusnya 30mg, obat yang available 60mg. Begitu pula dengan antibiotiknya, adanya dosis 500mg. Akhirnya terpaksa saya ambil seadanya karena di mana-mana juga kosong. Saya membeli alat pemotong tablet sekalian. Namun obat racikan yang ada Codein-nya harus dibeli di rumah sakit tadi. Waduh… males banget kalau harus balik ke rumah sakit.

Saya coba telepon ke farmasi rumah sakit tadi dan akhirnya berhasil chat via WA. Ternyata resep asli harus dikirim kesana, baru mereka bisa memprosesnya. Akhirnya saya coba memakai jasa ojol. Beberapa menolak ketika tahu harus mengirimkan resep ke farmasi rumah sakit. Setelah beberapa kali, akhirnya ada yang bersedia.

Resep obat sudah sampai farmasi. Lalu step kedua saya harus menunggu susternya untuk konfirmasi via WA, lalu saya harus transfer dan setelah itu saya harus mencari ojol lagi untuk mengambil obat dari farmasi. Duh ribetnya hahaha…. tapi setelah beberapa jam tektokan di WA akhirnya obat sampai kamar juga. Terima kasih bapak ojol.

Siang itu seperti biasa saya telepon anak-anak. Tidak diangkat. Saya coba lagi nomor satunya. Juga tidak diangkat. Saya cek CCTV, mereka tidak terlihat dimana-mana. Saya mulai panik. Ternyata setelah saya cek lagi, mereka ada di garasi samping. Nielsen sedang belajar main roller blade, mencoba meluncur dari tanjakan, sementara Nicholas berada di level yang lebih rendah siap menangkap dia. Saya menyaksikan sambil teriak2 di kamar dengan jantung deg-deg-an, sekaligus bangga akan kerukunan dan kedekatan mereka berdua.

Hari ini saya terkejut karena dari sekian banyak permohonan donor plasma yang dipasang di status teman-teman WA, ada satu nama yang saya kenal. Liliek Suryani. Namanya sangat familiar, dan contact personnya betul nama suaminya. Saya pikir baru beberapa hari yang lalu saya melihat story IG nya dia sedang liburan di Bali. Biasanya kalau ada yang harus ditransfusi plasma, saya berasumsi gejalanya cukup berat. How can it be? dalam beberapa hari di posisi harus transfusi? Saya terhenyak.

Info tentang Liliek menyebar begitu cepat, di beberapa group sudah tersebar broadcastnya juga. Saya berharap mereka segera mendapatkan plasma yang cocok. Saya dengar sekarang banyak calo di PMI, yang memperjual belikan plasma yang saya kira harusnya gratis. Mungkin kondisi ekonomi di masa pandemi mendesak orang-orang berbuat tanpa hati nurani.

Harga obat yang harusnya hanya beberapa ribu, dijual di luar berlipat-lipat hingga tak masuk akal. Padahal banyak sekali yang sedang sekarat dan membutuhkan. Ternyata teori ‘demand dan supply’ berlaku di sepanjang jaman, tanpa melihat kondisi. Nyesek mendengar beberapa cerita miris gara-gara obat di rs habis dan terpaksa mencari di luaran dengan harga yang tidak terjangkau.

Sore ini ada WA dari Grace. Dua hari yang lalu dia mengabari kalau dia positif. Padahal minggu lalu Grace salah satu orang yang bantu saya mencari info kamar di rs karena dia bekerja disana. Saya terkejut tentunya. Tidak menyangka akan banyak teman seperjuangan di saat bersamaan.

Setelah chatting beberapa kalimat, Grace mengajak video call. Awalnya saya menolak, saya bilang ‘bad hair day’ (baca: kusam, kumal, kucel) Tapi akhirnya kita video call dan berhaha hihi ria, saling tukar info untuk kegiatan isoman. Puji Tuhan dia dalam kondisi stabil, saya tidak terlalu khawatir karena dia seorang dokter dan tentunya sudah bisa menganalisa gejala sendiri.

Malam ini suami menyuruh saya tes antigen lagi – kali ini bukan pakai yang colok hidung, tapi dengan metode air liur. Selain ingin mengkorfirmasi hasil tes kemarin, kami juga ingin tes ke-akuratan media ini. Dan hasilnya sama – negatif.

Saya tidak tahu berapa lama lagi saya harus isoman. Tapi saya tahu, waktu ‘me time’ ini akan segera berakhir dan saya harus menggunakannya dengan baik, karena waktu seperti ini tidak akan datang sering-sering.

Saya tahu masih ada sesuatu yang harus saya selesaikan selama isoman ini. Self healing. Looking forward to it.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 13)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Kamis, 24 Juni 2021 – Hari ke 13

Jam 7 kurang sudah ada yang mengetuk pintu. Saya pikir staff hotel yang sedang membersihkan lorong tidak sengaja menyenggol pintu kamar saya. Setiap pagi lorong di lantai 3 memang dibersihkan dan disteril.

Lalu ketukan kedua terdengar lagi.

“siapa ya?”

“Bu ini ada kiriman gojek” – terdengar suara laki-laki di luar sana

“oh, taruh di meja aja pak”

Saya merasa heran karena biasanya reception yang mengantar dan menaruh barang-barang kiriman di meja kecil yang tersedia di depan kamar tidak pernah mengetuk pintu. Biasanya reception akan menginformasikan bahwa kirimannya sudah ditaruh di depan pintu melalui whatsapp.

Saya menunggu hingga bapak itu pergi. Setelah hitungan ke 10, saya membuka pintu. Bayangan saya bapaknya sudah berjalan menuju lift. Tapi ternyata bapak itu masih berdiri di depan pintu sambil membawa kantong plastik. Spontan saya tutup pintunya lagi dan berkata,”taruh disitu saja pak, nanti saya ambil”

Saya yakin bapaknya juga terkejut ketika saya dengan spontan menutup pintunya lagi.

Setelah situasi aman, saya mengambil kiriman tadi. Ah ternyata seporsi Gudeg Abimanyu – kiriman dari Ika, seorang teman yang saya kenal karena anak kami berada di sekolah yang sama sejak Playgroup. Kemarin Ika chat saya dan menanyakan “pingin makan apa ci ? Aku kirim…”

Sebetulnya saya sungkan ketika ditanya begini, tapi katanya tidak boleh menolak rejeki.

“mungkin nasi gudeg abimanyu ” – jawab saya tersipu malu

“Siappppp…. Komplit yaaa… pake koyor? Buat pagi?”

“Iya pake koyor. Tq Ika. Pagi boleh”

Dan taraaaaa pagi ini Gudeg Abimanyu favorit saya sudah berada di depan mata. Ternyata tadi reception sedang tidak ada orang, sehingga pak gojek menitipkannya pada satpam.

Sejak indra perasa saya kembali ‘normal’, sikap saya sewaktu makan menjadi berubah. Kalau dulu saya makan tidak pernah dipikir ini enak atau tidak, hanya makan. Tapi sekarang, setelah mengalami makan tanpa rasa dan tidak nafsu, saya makan dengan penuh ucapan syukur dan berusaha menikmati apa yang saya makan.

Seperti pagi ini, ketika suapan pertama nasi gudeg itu menyentuh lidah, saya cerna rasa nasi yang pulen, sayur gudeg yang manis, rasa koyor yang gurih dan kenyal ketika digigit, semua itu menyatu menjadi perpaduan rasa yang nikmat. Betapa bersyukurnya saya bisa menikmati apa yang saya makan. Nasi gudeg habis tak bersisa.

Pagi ini saturasi di angka 98 dan detak jantung pun normal. Kondisi stabil hanya batuk saja yang masih ada.

Itax lapor kalau semalaman dia tidak bisa tidur akibat sakit perut. Mungkin masih efek dari kemonya itu. Mami-mami lain mulai bermunculan. Selalu seru kalau group ramai – memang benar yang dikatakan orang; Whatsapp itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Di masa pandemi seperti ini, peranan medsos jadi sangat berarti, namun demikian kita harus bisa mengontrol diri.

Bahasan di group sudah beralih, dari bahasan Indomie hingga diskusi berbagai merk vaksin. Beberapa menimbang-nimbang untuk menunda sampai merk tertentu tersedia di Indonesia. Tapi dalam kondisi yang sudah darurat ini, dimana teman-teman dan saudara yang kita kenal sudah terpapar, ada baiknya divaksin dulu apa adanya.

Memang banyak yang masih ragu untuk divaksin oleh karena satu dan lain hal. Saya pribadi di awal sangat ragu karena riwayat autoimun di keluarga. Tapi dari beberapa penelitian memang terbukti bahwa pasien covid yang sudah divaksin mengalami gejala yang lebih ringan dibanding dengan yang belum.

Ngomong-ngomong soal vaksin, saya jadi teringat 10 tahun yang lalu, ketika saya bertanya kepada dokter di Melbourne, issue yang sedang viral di masa itu – vaksin MMR yang disangkut pautkan dengan penyebab autisme di beberapa kasus. Sang dokter tidak menjelaskan panjang lebar, tapi dia meminjamkan setumpuk literature penelitian tentang issue tersebut. Saya pulang membawa PR – membaca dan mencerna penelitian itu berhari-hari. Setelah saya mengerti dan merasa mantap, akhirnya anak saya yang sulung divaksin MMR disana. Itulah yang saya suka dengan cara kerja dokter disana, selalu menjelaskan dengan seksama hingga kita mengerti dan bukan hanya nurut saja.

Cuaca di luar mendung sehingga hari ini tidak bisa berjemur. Ketika saya membuka tirai tadi, saya melihat awan gelap yang menggantung di langit. Sungguh fenomena yang mencekam sekaligus menakjubkan buat saya. Dan dalam hati saya berkata lagi,“I know it’s you, Lord”

Dan tidak lama hujan turun.

Abaikan garis kuning di langit karena itu pantulan lampu ceiling di kamar hotel

Kiriman dari suami sudah datang. Ada sarang burung yang dikirim oleh adik saya Diana & Sandra untuk dikonsumsi selama 12 hari ke depan. Tapi karena disini tidak ada kulkas, jadi suami mengirimkan setiap hari satu. Saya sangat terharu dengan perhatian adik-adik saya. Padahal Diana juga baru saja menjalani operasi besar beberapa hari sebelum Lebaran yang lalu. Puji Tuhan selama ini kami bertujuh rukun-rukun semua, dan di kala salah satu membutuhkan bantuan, kami saling bahu membahu. Thank you my sisters.

Dalam buntelan kiriman hari ini ada yoga mat juga. Saya pikir, masa kritis sudah lewat, tinggal pemulihan dan ada baiknya mulai stretching-stretching badan dan olahraga ringan, supaya tidak kaget nanti keluar dari isoman. Yang dibutuhkan memang si mbok pijet, tapi saat ini sangat tidak memungkinkan.

Pagi ini saya menyapa di group mami-mami ‘internasional’.

“Morning ladies. Pagi ini aku lbh segeran lg dan terasa lapar… 🤣.Tanda2 kesembuhan sudah semakin nyata 🥳🥳🥳”

“Wahhh sippp cikkkk. Tetep Semangattttt ya cik’

“Aminnn aminnn seneng denger nya . Tetep semangat ci pei”

Lalu kegiatan hari itu saya lanjutkan dengan serangkaian rutinitas. Cuaca diluar membuat badan ingin rebahan. Sudah 13 hari terkurung tanpa teman, tapi puji Tuhan saya tidak merasa sendirian. Dan yang terpenting, semangat terus menuju kesembuhan.

Jumat, 25 Juni 2021 – Hari ke 14

Pagi ini saya mau pesan bubur WA Apuy lagi, tapi sejak seminggu yang lalu masih tutup. Scrolling atas bawah, akhirnya pilihan jatuh ke Nasi Campur Kedai Seteran. Enak, kenyang. Satu hal yang saya perhatikan, meskipun indra perasa sudah kembali, makanan sudah terasa nikmat, namun saya masih merasa semua yang saya makan ‘terlalu asin’. Jadi masih ada tastebud yang belum ‘tuned in’.

Ini sudah hari ke 14 sejak saya demam pertama kali. Secara teori biasanya pasien covid isolasi mandiri selama 14 hari dan setelah itu sudah dianggap tidak menular lagi – namun tentunya tidak semua seperti ini. Untuk pasien yang bergejala sedang dan berat pastinya akan lebih lama masa isolasinya.

Selama saya isoman ini, sudah lebih dari 20 teman yang saya kenal baik terpapar di waktu yang bersamaan. Gejalanya memang beragam. Ada yang tanpa gejala, ada yang hilang penciuman dan indra perasa (anosmia), ada yang badannya linu semua, ada yang pusing, ada yang diare, mual-mual, ada juga mengalami paket komplit: demam, batuk, pilek, pusing.

Per hari ini, gejala yang masih tersisa adalah batuk dan demam. Ya, semalam saya demam lagi, tidak setinggi di awal, tapi cukup mengkhawatirkan, suhu 37.3C. Saat ini yang saya rasakan, badan jadi lebih cepat capek. Misalnya saya habis duduk dan mengerjakan kerjaan kantor di depan laptop, lalu saya ke kamar mandi, lalu balik lagi – saya merasa jantung berdebar-debar dan nafas ngos-ngosan seperti habis olah raga. Padahal cuma duduk doang, trus jalan 6 langkah bolak balik, duduk lagi.

Ria, yang cukup paham soal obat-obatan berpendapat, bahwa obat yang diberi oleh dokter spesialis paru ini membuat badan saya terasa enakan; codein, telfast, lameson – ketiganya termasuk obat keras dan harus dengan resep dokter.

Setelah melahap beberapa judul drama Korea selama isoman, saya akui saya menikmatinya. Melihat para pemerannya yang sedap dipandang secara fisik membuat saya paham mengapa banyak pecinta drakor yang terobsesi untuk ‘permak’ wajah & badan. Meski saya selalu mengingat satu ayat hafalan bahwa ‘manusia melihat rupa, tapi Tuhan melihat hati’, saya terinspirasi untuk memperbaiki diri. (maksudnya merawat diri bukan operasi). Tapi itu tidak mudah, perlu kaca di sekeliling rumah hahahaha.. biar sadar diri maksudnya.

Meski di kamar hotel kegiatan hanya itu-itu saja, waktu tetap berjalan seperti sedia kala. Tidak terasa lebih lambat. Hari cepat berlalu. Dari bangun tidur, tau-tau sudah harus makan siang, lalu setelah beberapa kegiatan, alarm berbunyi mengingatkan untuk makan malam. Setelah makan biasanya saya video call dengan suami dan anak-anak di rumah sebelum mami menelepon.

Hari ini seorang teman lama video call dari Melbourne. Vinny namanya. Dia adalah teman sekaligus tetangga ketika pertama kali saya pindah ke Melbourne tahun 1992. Meski usia kami terpaut cukup jauh, namun kami sangat dekat. Sudah lama kami tidak bersapa ria, kami mengobrol hampir 1 jam.

Jeng Tinah mengirimkan sebuah parcel buah yang sangat cantik. Isinya buah-buahan dengan berbagai jenis. Rupanya hari ini hari ulang tahun pernikahannya. Terima kasih untuk kirimannya. Kamu selalu memberikan yang terbaik. Selamat ya Jeng, Tuhan memberkati.

Sore ini pemandangan di luar jendela sungguh indah. Meski setiap hari yang saya lihat objek yang sama, namun saya tidak pernah bosan. Langit yang luas itu bagaikan sebuah kanvas dan Tuhan lah pelukisnya.

Malam ini saya ingin mencoba makanan yang sudah lama sekali tidak saya makan. Yoshinoya – blackpepper. Meski sudah dicancel oleh ojolnya, tapi karena saya ngidam, saya mencoba untuk memesan lagi dan akhirnya berhasil.

Sudah terbayang enaknya makan daging sapi import yang dipotong tipis-tipis dengan rasa blackpepper yang kuat dibarengi dengan nasi hangat. Tapi ketika saya memakannya, saya terheran-heran dengan rasanya. Kok beda ya? apa memang indra perasa yang masih belum kembali sempurna? rasanya tidak seperti yang saya bayangkan, terlalu asin untuk saya. Tapi karena 1 porsi itu cukup mahal, saya habiskan juga wkwkkw… ingat… saya seorang penyayang.

Malam itu diakhiri dengan drakor “What’s Wrong with Secretary Kim” – sebuah serian lama, namun saya baru melihatnya atas rekomendasi ratu drakor – Vivi (si pemberi kelapa wulung). Saya suka..saya suka… filmnya romantis, pemainnya juga ganteng dan cantik, memberikan suasana hati yang adem, gemas, dan berasa muda lagi, nostalgia ke jaman masih kasmaran dulu.

Sabtu, 26 Juni 2021 – Hari ke 15

Kebiasaan bangun di tengah malam masih terjadi. Tidur tengkurap dan mika miki masih dijalani. Tidak boleh lengah, tidak boleh kecolongan. Meski saturasi sudah meningkat, badan sudah lebih segar, tetap harus waspada. Sudah banyak cerita yang saya dengar soal pasien covid yang drop lagi setelah merasa segar.

Tania bertanya, “Ci pei udah plg rumah?”

“Belum. Aku sdh nyaman disini ye”

“Wakakakakaka gawat bisa enggan pulang. Kondisi badan gimana ci hr ini? Ko Alvin n anak2 aman?”

“Kondisi sih baik. Kmrn demam lg tp sampe 37.5 Ga tau kenapa. Kalo malam suka kebangun gr2 di pikiran bobo hrs miring atau terlungkup. Alvin sm anak2 aman”

“Hiks kok lama ya ci km demam e..”

“Msh ada infeksi kali”

Susan nyeletuk,”Mau pindah ke Tentrem ci? Lebih nyamannnn 😂”

“Justru kalau pindah Tentrem harus cepet-cepet pulang…. bill nya gak tahan wkwkwk.”

Hari ini saya ingin makan makanan Sunda. Kangen masakan di resto Papih di Bandung. Pengen Nasi Timbel dengan lauk gepuk (empal), sambel dadak, karedok dan angeun haseum (sayur asem). Tapi di Semarang saya ga tau cari dimana. Yang paling mirip beli di Super Penyet. Saya ingat disitu sambalnya enak.

Kali ini saya tidak makan di meja. Karena sudah ada yoga mat, saya pakai itu untuk alas. Makan ala Sunda, ngalepo (duduk) di lantai. Makannya pun tidak pakai sendok, langsung pakai tangan. Hm… nikmatnya tiada tara…

Panci yang saya beli online sudah datang. Entah mengapa mendapat barang baru selalu membuat hati senang. Meski yang dipesan merah, yang dikirim biru. Tak apalah, yang penting bisa berfungsi dengan baik. Besok bisa makan telur rebus lagi.

Demam yang muncul lagi membuat hati tidak tenang. Ada apa gerangan? Saya teringat beberapa orang mengalami badai sitokin, yang terus terang istilah itu saya tidak paham. Saya cek mbah Google, lalu lihat ciri2nya. Sepertinya tidak. Tapi saya ingat sekali, sewaktu si bungsu sakit Kawasaki, dokternya berpesan agar suhu terus dipantau selama 2 x 24 jam setelah Immunoglobulin – Gamaraas selesai dimasukkan melalui infus. Dalam dua hari itu, suhu si bungsu tidak kunjung normal. Masih bertengger di atas 37 dan tidak diperbolehkan pulang. Khawatir ada infeksi lain yang harus dituntaskan. Berbagai test dilakukan demi mencari tahu apa yang membuatnya tetap demam. Setelah hasil test semua keluar, akhirnya diputuskan untuk memberikan dosis Immunoglobulin yang kedua.

Kalau dua hari kemarin saya sudah tenang, hari ini hati mulai gusar. Obat yang diberikan oleh dr M spesialis paru sudah habis, yang tersisa hanya vitamin saja.

Senin saya berencana untuk cek lab dan foto thorax lagi karena hasil xray kedua ada penambahan bercak. Saya berharap hasilnya akan lebih baik dari hasil sebelumnya.

Sore ini saya mengikuti Seminar Parenting yang berjudul “LIFE Message in the Teen Years”. Waktu mendaftar di awal bulan, saya sempat berpikir – apakah saya bisa bertahan mengikuti seminar yang cukup lama ini? dari jam 5 hingga jam 9 malam. Tapi topiknya cukup menarik dan saya tau ini investment yang sangat berharga karena berhubungan dengan bagaimana cara menghandle anak-anak yang sudah beranjak remaja. Siapa yang menyangka saya akan mengikutinya sewaktu isoman. Fokus dan penuh penghayatan.

Minggu, 27 Juni 2021 – Hari ke 16

Pagi-pagi bu guru Stacey udah absenin di group.

“Ci Pei, Tania & bu Dewiiii apa kabarnya”

“Kabar baik. Lg nunggu makanan. Td sdh jemur. Besok rontgen dan cek lab lg.”

“Mudahan negatif n bersih semua yaaa. Pdhl ci pei uda terlanjur nyaman disanaa wkwkwk”

Menu siang ini saya pesan sekaligus dua. Saya pikir, harus sedikit hemat nih. Pengeluaran sudah banyak. Biaya hotel, cek lab, konsultasi dokter, obat-obatan, dan makan. Pilihan jatuh ke Kedai Beringin. Kali ini saya coba pesan dessertnya juga. Es Empat Rasa – es campur yang ada mangga mudanya. Ssst jangan bilang-bilang ya. Masih sedikit batuk tapi saya ingin sekali mengecap yang segar-segar.

Setelah makan nasi langgi, saya coba es nya. Meski sudah dicampur air, saya masih merasa esnya terlalu manis. Akhirnya saya makan isi es campurnya saja. Sirupnya saya buang.

Sorenya suami mengirimkan foto anak-anak yang sedang main di rumah. Puji Tuhan setelah 2 minggu berlalu, mereka semua baik-baik saja. Can’t wait to see you boys. Tunggu Mama sehat dulu ya.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 12)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Rabu, 23 Juni 2021 – Hari ke 12

Pagi ini saya bangun dengan suhu 36.9 – kemajuan yang signifikan setelah 11 hari demam. Hari ini lebih semangat dan badan lebih segar, apalagi ketika makan sepiring buah-buahan sudah bisa merasakan rasa aslinya. Apel rasa apel, anggur rasa anggur. Penciuman pun sudah kembali sepertinya. Kemarin sewaktu saya memasukkan tissue yang saya beri minyak kayu putih, saya sudah bisa mencium baunya dan merasakan panasnya yang semriwing. Namun saya masih belum bisa mencium bau yang tidak enak. Ketika di toilet misalnya.

Berbeda dengan saya, Itax yang baru menjalani kemo beberapa hari yang lalu, masih merasakan efeknya hingga hari ini; penciuman normal, indra perasa bermasalah sehingga sewaktu memakan buah-buahan pun rasanya hambar. Saya jadi ingat 21 tahun yang lalu ketika Mami menjalani kemo kehilangan nafsu makan, mungkin gara-gara ini juga – semua terasa hambar.

Hari ini hari ke 10 saya tidur di hotel. Kalau di awal saya enggan untuk ‘ngungsi’ dari rumah, tapi setelah disini 10 hari, saya mulai merasa ‘nyaman’… ooopsssss mengapa bisa demikian? Meski ada hari-hari yang harus dilalui karena gejala yang membuat tidak nyaman, namun overall saya menikmati apa yang saya sebut ‘me time’ ini.

Di awal saya memasuki kamar hotel ini, saya sudah men-switch (mengalihkan) otak saya untuk tidak memikirkan hal-hal lain selain fokus pada satu hal yaitu SEMBUH. Urusan makan anak, bekal suami, laundry, bersih-bersih rumah – sudah saya singkirkan untuk sementara waktu – until further notice wkwk. Dan saya ingin menggunakan waktu ini untuk istirahat dari rutinitas; ibaratnya seperti mobil, harus diservis biar mesinnya tetap terawat dan bisa berfungsi dengan baik.

Kalau biasanya saya tidak ada waktu untuk diri sendiri, kali ini 24jam bisa saya pergunakan ‘sak penake dewe’ (semau gue). Jam tidur sesuai standard WHO wkwkwk – 7 jam bahkan bisa tidur siang. Makan teratur, setiap hari jam nya sama terus karena sudah di jadwal. Cemilan buah-buahan saja, jarang makan makanan yang sudah diolah (processed food). Untuk penyegaran jiwa dan roh, saya banyak mendengar renungan, kotbah, pujian – yang biasanya hanya bisa dilakukan sambil masak dan mempersiapkan bekal ke kantor.

Salah satu teman bercerita, kalau ada mama temannya yang isoman sendiri di lantai atas, malah jadi depresi karena dia tidak bermain sosmed, merasa bosan dan lonely. Mungkin bukan hanya tante ini saja yang mengalami hal seperti ini. Mungkin banyak yang tidak bertahan karena ketika diisolasi ada perasaan dibuang, dikucilkan, dijauhi dan lonely.

Saya bersyukur sampai hari ini hal itu tidak terjadi pada saya. Banyak sekali yang menemani dan memberi dukungan. Hal ini perlu dicatat supaya kita bisa berempati dan tau apa yang harus dilakukan ketika teman kita mengalaminya nanti. Dukungan tidak selalu harus mengirim ini dan itu. Dukungan bisa berupa doa dan say hello melalui WA.

Pagi ini saya bikin janji dengan Agnes, pemilik sebuah klinik di Semarang untuk infus vitamin. Itupun setelah saya tanya sana sini; apakah perlu, apakah langsung terasa khasiatnya, gunanya apa, apa bedanya dengan vitamin biasa – karena harganya cukup mahal dan saya merasa sudah tidak selemas hari Minggu kemarin. Tapi supaya tidak penasaran dan berharap akan mempercepat pemulihan, akhirnya saya coba. Agnes mengabari kalau staffnya akan mengunjungi jam 3 nanti.

Suami WA saya.

“Jemurnya 30 mnt lg ya. Aku dr rumah”

“Ga ada matahari. Km ga ush kesini. Ngapain. D lorong ini aja banyak virus”

“Ini mendung tp masih lumayan lah”

“Ga ush kesini. Duh bandel. Nanti kamu terkontaminasi, kasian anak-anak nanti. Aku mau jemur skg mumpung ada matahari. Km ga ush kesini. Nanti mubazir isomanku.”

Lalu saya bersiap ke luar kamar. Saya matikan dulu lampu kamar mandi, matikan air purifier, laptop, lalu saya semprot kamar dengan antibacterial spray.

Sesampainya di rooftop ada 3 orang sedang berjemur. Salah satunya wanita paruh baya yang kemarin bertemu. Saya WA suami lagi, khawatir dia benar-benar kemari.

“Jgn kesini. Di rooftop ada 3 org lg jemur”

Dan tidak lama saya mendengar suara yang saya kenal. Bukan suara manusia. Tapi suara sebuah drone sedang terbang melintas di atas kepala saya.

Tentu saya kaget. Ah rupanya suamiku masih suka memberi surprise….. (setelah lamaaaaaaaa tidak melakukannya wkwkwkwkkw). Saya tidak menyangka bahwa dia akan melihat saya melalui drone. Saya kira dia akan ke rooftop memakai APD wkwkwkwk (ini lebih konyol lagi).

Sewaktu kami pacaran, beberapa kali suami memberikan surprise dengan tiba-tiba datang ke Melbourne tanpa pemberitahuan. Saya teringat di suatu siang, ketika saya sedang di kantor, dia kirim sms (waktu itu belum ada smart phone ya… jadi masih SMS an). Dia bertanya saya sedang apa dan hari ini makan apa. Lalu saya balas, saya tidak bawa bekal hari ini, jadi sebentar lagi saya mau beli lunch di Brandon Park. Dan sesampainya di Brandon Park, di ujung travelator tiba-tiba dia muncul begitu saja, dan saya berteriak – terkejut amat sangat. Well done!

Terus terang saya sungkan sama orang-orang yang sedang berjemur pagi itu. Tumbuh besar di Australia membuat saya sangat memperhatikan yang namanya ‘privacy, courtesy, myob’ (privasi, kesopanan dan myob = mind your own business atau artinya bukan urusan kamu). Saya takut mereka terganggu dengan kehadiran drone yang menggangu privasi karena seolah-olah mau memata-matai. Saya takut mereka malu kalau ada yang tahu mereka terkena covid.

Drone hanya melintas sebentar saja… paling 2 menit dan setelah itu dia pergi untuk kembali pada pemiliknya.

Sebelum drone itu kembali, saya foto dulu untuk kenang-kenangan, agar bisa saya ceritakan di blog saya ini.

Setelah timer berbunyi, saya kembali ke kamar. Hati saya berbunga-bunga. Bener lho, dikangenin suami itu sesuatu banget, sangking udah tiap hari ketemu ya, jadi rasa deg-deg ser seperti waktu pacaran itu sudah jarang sekali. Dan ternyata berpisah beberapa saat membuat kita menyadari arti kehadiran masing-masing. Selalu ada yang bisa disyukuri dalam setiap kondisi. Betul juga kalimat ini.

Saya masuk kamar kembali. Wangi minyak kayu putih masih tersisa dari semprotan saya tadi. Lalu saya berdiam diri dan bersiap untuk mandi. Suami mengirimkan foto saya yang dicapture oleh drone tadi. Kalau tau mau difoto saya pake singlet kaya BCL wkwkkwkw.

Evi, teman saya yang di Kudus itu bertanya,”Ci pei kamu gimana kabarnya?”

“udah bisa nyanyi wkkwkwwk”

Ah senangnya. Tiga hari yang lalu untuk ngomong aja struggle, apalagi nyanyi.

Saya infokan ke group-group lain berita sukacita ini. Tiga hari yang lalu mereka ikut tegang. Membantu cari info sana sini, memberi semangat, mendoakan, membantu apa yang mereka bisa. Mereka harus tau bahwa kondisi saya sudah membaik. Dan obrolan di group pun sudah kembali santai, sudah banyak haha dan hihi.

Eveline mengirimkan satu porsi soto sapi. Biasanya habis jemur memang laper lagi. Setelah indra perasa kembali, rasanya jadi penasaran ingin coba makanan ini itu. Kalau kemarin-kemarin yang dirasa hanya asin, semoga kali ini bisa merasakan rasa micin.

Soto habis, tak bersisa, sampai titik darah penghabisan. Tanda-tanda kesembuhan sudah semakin nyata. Melihat kondisi seperti ini, obat penambah nafsu makan yang diresepkan dokter kemarin sepertinya tidak perlu saya konsumsi. Nafsu makan yang alami sudah kembali.

Saya scroll WA ke bawah, ternyata banyak teman-teman yang WA nya belum saya balas. Lalu saya reply satu per satu. Beberapa mengaku kalau mereka juga pernah terkena covid dan bahkan ada juga yang sama-sama sedang isoman. Kami bertukar info. Selalu menyenangkan bila ada saudara sepenanggungan.

Hari ini dapat kiriman dari Yosi, makan siang dan makan malam dari Wee Nam Kee. Sejak restoran ini dibuka hingga hari ini, saya belum pernah mencobanya. Puji Tuhan nafsu makan sudah benar-benar kembali. Tidak ada rasa mual lagi. Di hari-hari sebelumnya, setiap habis makan, ada rasa mual dan akhirnya keluar lagi, meski sedikit. Hari ini sudah tidak ada rasa mual sama sekali. Dan malamnya saya baru tahu, bahwa hari ini ulang tahun Yosi. Happy birthday Yos, and thank you for a delicious meal.

Sambil menunggu jadwal infus vitamin, saya mencoba mencari sesuatu yang bisa dipelajari. Mumpung banyak waktu untuk diri sendiri, harus dipergunakan juga untuk membangun diri. Pilihan jatuh pada sebuah tayangan interview seorang pendiri startup yang sedang viral. Tidak disangka tidak dikira, sosok tersebut sangat rendah hati, padahal bisnisnya sudah menjadi salah satu platform online shop yang terbesar di marketplace Indonesia. Mendengar cerita seorang yang sukses memang selalu menyenangkan dan menginspirasi, karena akhirnya selalu happy ending. Ternyata untuk menjadi sukses seperti ini, dia harus mengalami beberapa kali kegagalan. Sudah banyak cerita serupa, pendiri KFC misalnya. Berapa kali dia gagal dan ditolak, namun akhirnya kita bisa lihat sendiri kesuksesannya.

Jam 3, staff-nya Agnes mengabari bahwa petugas yang akan menginfus nanti sudah tiba di reception. Saya bersiap memakai masker dan menunggu dia mengetuk pintu.

Tok tok,… ini pertama kali saya menerima tamu. Saya terkejut karena yang datang ternyata laki-laki bertubuh tinggi, mengenakan APD berwarna kuning. Dia membawa sebuah air purifier yang tingginya kira-kira 80 cm dan meletakannya di dalam kamar. Lalu dia pamit untuk balik ke dekat lift untuk mengambil tiang infus.

Bapak itu sangat ramah dan terlihat profesional dalam mempersiapkan infusnya. Setelah menggunakan sarung tangan, dia mempersilahkan saya untuk mengambil posisi yang nyaman di ranjang. Saya memilih untuk duduk dan bersandar ke dinding beralaskan bantal. Lalu prosedur pun dimulai.

Jarum ditusukkan di lengan kiri dan vitamin kuning yang berada di dalam botol infus kecil itu pun mulai menetes. Dari tempat saya memandang, baju APD dan warna vitamin itu sangat selaras….

Bapak itu mengambil kursi dan dia duduk dekat pitu sambil menghadap air purifier yang sudah dinyalakan.

“Maaf ibu, boleh saya turunkan suhu AC nya? karena saya sangat kepanasan menggunakan APD”

“boleh pak”

“Ibu tidak kedinginan kan?”

“tidak pak”

“Wow, udara di kamar ini bersih ya bu. Tuh lampunya biru”

“oh mungkin karena saya pasang air purifier juga disini pak. Memangnya biasa yg lain kotor ya pak?”

“kalau pasien covid iya bu. Makanya saya selalu bawa alat ini kalau sedang tugas. Kalau ga ada alat ini saya ga berani.”

“ini kira-kira berapa menitan ya pak selesainya?”

“45 menit kira-kira bu. Monggo kalau ibu mau sambil tiduran”

Saya memilih untuk ngobrol dengan bapaknya. Sejak kecil saya melihat Papi Mami saya pandai bergaul. Keduanya sangat supel. Papi sering menjadi pembawa acara (MC) dan mami selalu tidak sungkan untuk menjadi yang pertama menyapa bila bertemu dengan orang baru. Dalam bahasa Sunda istilah ini disebut ‘gerecek’ (bukan kerecek lho ya). Saya rasa tabiat ini menurun pada saya.

Infus sudah selesai. Saya mengepel lantai. Masih menggunakan tissue basah handalan. Setelah itu saya nyalakan TV, tidak ada tayangan yang menarik. Semua masih membahas covid. Akhirnya saya lanjut drakor lagi. Sebuah kemewahan yang tidak akan terulang lagi, tanpa merasa guilty – melakukan kegiatan untuk menghibur diri.

Malam ini Pastor Budi dan Ci Nany, gembala di gereja saya, telepon untuk menanyakan kabar. Dia bercerita kalau beberapa hari terakhir banyak teman gereja yang terpapar. Pastor Budi & Ci Nany mendoakan saya. Mereka berharap saya segera sembuh dan cepat pulang. Saya bilang… ‘sudah terlanjur nyaman disini Pastor’ dan mereka pun tertawa. Thank you for your attention & support, Pastor.

Seperti biasa, Mami menelepon. Wajahnya sudah lebih berseri melihat saya sudah bisa tertawa. Dia bercerita kalau baru mendapat kabar bahwa teman sekolahnya dulu, meninggal karena covid. Dikira tipes sehingga hanya dirawat di rumah dan ketika sudah parah dibawa ke rumah sakit dan tak lama meninggal. Padahal temannya ini mengirimkan banyak info obat covid pada mami saya ketika dia tau saya terpapar. RIP Om.

Covid bagaikan penyakit 1000 wajah. Gejalanya bisa bermacam-macam. Variantnya pun sudah banyak. Teman-teman banyak yang bertanya, “Kamu kena varian apa?”

Seandainya saya bisa memilih, saya mau variant “Rhum & Raisin” – my favorite thing.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 11)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Selasa, 22 Juni 2021 – Hari ke 11

Pagi ini saturasi di 96. Suami menyarankan untuk infus vitamin biar setrong… Saya sendiri sudah merasa enakan jadi sebetulnya merasa tidak perlu, tapi mungkin ada baiknya saya tanya-tanya ke teman-teman yang pernah atau tau tentang ini.

Lalu suami menanyakan sesuatu yang aneh… maksudnya biasanya ga pernah nanya kok hari ini nanya.

“Besok km jemur jam brp?”

“Jam 9an biasanya. Kenapa?”

“Ok. I want to see you”

“Ya ampun…. liat dr sini aja pake cctv. Atau dr kmr htl ku ada jendela isa liat ke jl brumbungan kayanya. Km jgn kesini. Nanti mubazir isomanku.”

Ada apa dengan dia? Kangenkah? dalam hati bertanya-tanya… dikangenin suami itu sesuatu banget lho. Bener ga? wkwkwk (meski sok melarang padahal hati berbunga-bunga).

Hari ini demam sudah berkurang suhunya. Kalau kemarin-kemarin selalu bertengger di angka 38++, hari ini sudah turun ke 37.6. It’s a good sign.

Buka WA sudah banyak banget yang nanya “Ci pei gimana hari ini?”

Thank you so much teman-teman for thinking of me, thank you for your prayers, I feel better each day.

Beberapa teman mengusulkan minum susu, not particularly susu ‘beruang’ yang sedang viral baru-baru ini, tapi susu katanya bagus untuk paru2. Saya bukan pecinta susu, karena sejak dulu saya lactose intolerant. Buat saya, kenikmatan yang dirasakan hanya sekejap, tapi penderitaan seharian. Diare dan kembung-kembung serta….. buang gas yang mematikan.

Banyak teman merekomendasikan berbagai macam vitamin dan suplemen ketika mereka mengetahui saya sakit. Bahkan beberapa mengirimkannya untuk saya. Saya sangat menghargai perhatian mereka, artinya mereka perduli dan sayang saya. Tapi dari dulu saya selalu berhati-hati mengkonsumsi berbagai jenis suplemen karena ada riwayat auto imun dalam keluarga. Meski hingga saat ini saya sehat-sehat saja tapi saya berjaga-jaga jangan sampai mengkonsumsi sesuatu yang bisa menjadi pemicu.

Hampir setiap hari ada berita baru, yang tentunya masih seputar covid. Ada teman yang cerita kalau sepupunya isoman di hotel membawa pembantunya. Padahal pembantunya tidak terkena covid. Ada juga teman bercerita untuk tidak ke supermarket ini, karena pegawainya banyak yang kena covid. Ada teman yang pamit di WA karena tidak tahan lagi dengan berita-berita di group.

Covid – corona – pandemi – mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita secara pribadi, keluarga, bangsa, negara dan bahkan dunia. Semua mengalami dan terkena dampaknya. Sejak pandemi, banyak hubungan yang diuji, baik itu suami dan istri, anak dan orang tua, orang tua dan guru, dan banyak lagi – you mention it.

Awal pandemi saya berkata… dahulu kita membaca pandemi dalam sejarah. Tapi kali ini, kita berada di dalam sejarah itu. Kita angkatan yang mengalami sebuah ‘catastrophe’ =malapetaka dimana penangkalnya belum diketahui. Tapi dari peristiwa ini kita menyadari bahwa banyak yang lebih penting dan berharga daripada posisi dan harta duniawi. Keindahan alam dan udara yang selama ini kita ‘take it for granted’ (terima begitu saja) – menjadi sebuah kemewahan yang dicari.

Di sisi lain, pandemi ‘memaksa’ manusia untuk mengembangkan potensi yang terkubur. Tidak dipungkiri, banyak yang menjadi sukses juga di masa pandemi ini.

Pada akhirnya kita mengetahui, bahwa satu-satunya cara untuk bertahan dan melalui semua ini adalah menerima kondisi. Sulit memang, saya paham sekali. Berada di satu kondisi yang tidak kita sukai, sementara kita diuji untuk dapat mengucap syukur dalam setiap keadaan. Perlu iman tingkat tinggi – faith – dan penyerahan diri – surrender – untuk dapat melakukan hal ini.

Hari ini oksigen menjadi barang langka. Jika ada pun, harganya sudah jauh lebih mahal dari harga biasanya. Nomer telepon penjual tabung oksigen dan isi ulang menjadi informasi yang penting hari-hari ini. Semua menyimpannya.

Kondisi darurat. Banyak rumah sakit yang tidak dapat menampung pasien hingga membangun tenda barak tentara di halaman. Pasien-pasien tergeletak begitu saja dalam barak. Tenaga medis kewalahan. Sungguh pemandangan yang tak terbayangkan terjadi di sekitar kita.

Pagi ini breakfast telur, buah dan bakcang. Obat-obatan yang baru mulai saya konsumsi hari ini.

Setelah ritual pagi – breakfast – minum serangkaian obat – jemur, saya rebahan. Hari ini saya berencana ingin refleksi. Bukan pijat kaki, tapi refleksi diri.

Saya teringat kemarin Fony kirim link Youtube 5 lagu rohani saat mengatasi pergumulan. Saya dengarkan sambil menenangkan pikiran. Buang jauh-jauh pikiran ‘kondisi menurun, memburuk’, tapi pikirkan ‘kondisi membaik, semakin hari semakin baik’, karena pikiran sangat mempengaruhi kondisi kita. Sudah sering diingatkan dimana-mana “Hati yang gembira adalah obat”.

Saya berusaha, tapi berat.

Lalu link berikutnya dinyanyikan oleh Welyar Kauntu – seorang hamba Tuhan yang sangat tidak asing buat saya. Kalau ada yang tidak kenal siapa beliau, berarti kita tidak seangkatan. wkwkwkk….

Di lagu yang berjudul “Terima Kasih Yesus” itu ada kesaksian dimana temannya Welyar yang sedang sakit dan akan dioperasi, dilawat Tuhan. Begini kesaksiannya:

“Seorang teman saya di Amerika pernah punya pengalaman khusus dengan lagu ini. Satu kali dia diijinkan mengalami sakit di jantungnya dan dia harus dioprasi. Malam sebelum dia dioperasi, dia punya pengalaman: tengah malam sebelum besok paginya dioprasi, tiba2 dibangunkan oleh seseorang. Dia lihat tidak ada seorangpun sampai 3x. Akhirnya dia menyadari Tuhan beracara dengan dia. Dan waktu itu TUhan berkata kepada dia “Kamu tidak mempercayai Aku”. Dia bertanya-tanya bagaimana mungkin dia tidak percaya. Tuhan katakan, kamu tidak sekalipun mengucap syukur. Dia baru sadar dia begitu kuatir, dia berdoa, dia tengking sakit penyakitnya, tapi satu hal yang dia lupa – BERTERIMA KASIH. Malam itu dia bersujud dan menyanyikan refrain dari lagu ini “Terima kasih Yesus” berulang-ulang. Pagi harinya ketika dia harus dioprasi, diperiksa terlebih dahulu, dokter menemukan bahwa jantungnya kembali normal. Dia mengalami mujizat. Dia disembuhkan pada malam itu. Saudaraku, yang mendengar kesaksian ini, jangan pernah ragu, nyatakan imanmu, melalui pengucapan syukur.”

Saya ulang lagu itu kembali dan mengikuti dalam hati. Jujur, mengucap syukur itu tidak semudah yang kita ucapkan terutama di saat kondisi tak sesuai harapan dan keinginan kita. Meski suami berkali-kali mengingatkan saya untuk ‘mengucap syukur’, berkali-kali juga saya gagal.

Namun melalui kesaksian ini, saya belajar satu hal, bahwa pengucapan syukur itu adalah pernyataan iman kita, bahwa apa yang kita alami atas seijin Tuhan dan kita percaya yang terjadi dalam seluruh aspek kehidupan kita adalah yang terbaik. Titik.

Masih dalam posisi tidur tengkurap, ‘proning‘, saya lanjutkan dengan program Saat Teduh-nya Ps Philip Mantofa lagi. Beberapa episode yang muncul di halaman pertama sudah saya dengarkan semua. Saya scroll bawah dan menemukan satu judul yang menurut saya relevan dengan kondisi saya saat ini. “Tuhan Mampu dan Dia Mau” – edisi Saat Teduh tanggal 10 April 2021.

Seperti biasa, Ps Philip membacakan kesaksian-kesaksian “karena Tuhan telah menolong banyak orang. Hari ini giliran anda.” Saya tiduran, tidak melihat videonya, hanya mendengarkan, kepala saya miringkan ke arah kanan, melihat pintu kamar. Saya amazed dengan banyaknya kesaksian para pemirsa yang mengalami lawatan dan kesembuhan melalui acara ini. Dan saya ingin menjadi salah satu yang mengalami lawatan.

Mengakhiri pembacaan kesaksian2, Ps Philip berkata,”Maka itu mari kita bawa pergumulan pada Tuhan, karena Tuhan kita itu bukan hanya Maha Kuasa, Dia bersedia menolong anda dan saya. Yang penting waktu kita menyembah, lupakan masalah, fokus ke Yesus. Ketika mata kita tertuju pada Tuhan, sesuatu akan terjadi dalam hidup ini. Mari kita sujud menyembah.”

Dan ketika lagu pujian pertama dinaikkan, air mata mengalir tak terbendung. Sebuah pujian yang sangat familiar yang saya kenal ketika saya masih tinggal di Melbourne. Seketika pikiran saya bernostalgia ke masa-masa dimana saya masih single, berkarir, giat melayani di gereja, sebagai Worship leader dan keyboardist. Air mata terus mengalir. Saya tau Tuhan sedang beracara.

Dalam ketidakberdayaan saya, totally surrender, saya sangat menikmati moment itu. Alunan pujian terdengar begitu powerful di telinga…

“Dia sanggup, Yesus sanggup.
Melakukan perkara yang besar
Dia sanggup, Yesus sanggup
Memulihkan yang terluka
Menyembuhkan yang menderita
Dia sanggup memulihkan hidupmu”

Saya terhenyak. Seolah lagu itu mengingatkan saya kembali kalau Yesus sanggup menyembuhkan saya.

Ada satu kelepasan yang tidak dapat saya deskripsikan. Ada satu kehangatan yang saya rasakan. Meski saya tidak melihat secara fisik tapi saya bisa merasakan kehadiranNya, disini, di kamar ini.

Pujian pun berlanjut….

“Bila hati terasa berat, tak seorang pun mengerti bebanku, kutanya Yesus apa yang harus kubuat. Dia berfirman mari datanglah, Dia selalu pedulikan aku, ku datang Yesus, Dia pikul sgala bebanku…. Sujud di altarNya, ku bawa hidupku. Ku t’rima anugrahnya, Dia ampuniku dan bebaskan ku Dia ubah hidupku, bahrui hatiku. Sesuatu terjadi, saat datang di altarnya.”

Saya merasakan Tuhan sedang melawat saya, bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa dan roh. Saya memang lelah, secara fisik dan mental. Pandemi membuat kita lelah, padahal di rumah aja. Renungan hari itu tentang orang kusta yang bukan hanya mengalami sakit secara fisik, tapi juga mengalami penolakan dari orang-orang lain. Dia dikucilkan. Dia memohon pada Yesus untuk ditahirkan. Yesus mau dan orang tersebut menjadi tahir.

Rhema dari saat teduh hari ini:
1. Tuhan mau menyembuhkan sakitku

2. Tuhan mau memulihkan hidupku

3. Tuhan mau menciptakan sesuatu yang baru

Saya aminkan ketiga point itu. Saya tidak ingat di menit mana saya tertidur. Ketika saya bangun, saya mencoba mengingat apa yang terjadi tadi. Sesuatu yang saya harapkan terjadi. Terkonek kembali.

Ternyata sudah jam 1 lebih. Ada kiriman dari Vivi, si pemberi kelapa wulung. Kali ini dia mengirim Nasi dan Sup Sapi dari Summer Palace – Hotel Tentrem. Kemasannya sangat elegant, dan saya yakin rasanya pun pasti lezat. Saya tak sabar menyantapnya, karena saya sudah lapar. Arigato Vivi.

Dan ternyata memang enak. Saya makan sampai habis. Padahal saya tidak minum obat penambah nafsu makan yang diberi oleh dokter kemarin.

Hari ini saya sudah dipuaskan, jasmani dan rohani. Saya optimis besok akan lebih baik lagi.

Setelah makan saya duduk di ranjang, memandangi pemandangan yang sama lagi ‘genteng rumah sebelah’ – dengan background langit yang berbeda lagi. Saya berkata dalam hati ‘I know it’s you, Lord’.

Obat-obat yang baru tidak ada kendala sama sekali. Steroid yang saya takutkan pun tercerna dengan baik.

Gara-gara makan sup siang tadi, malamnya saya tergoda untuk mencoba yang lain (baca Indomie kuah). Jadi mulailah saya merebus air di panci kecil itu. Setelah mendidih, mie saya masukkan. Lalu saya masukkan 1 butir telur. Sudah membayangkan nikmatnya makan Indomie kuah pake telur. Tapi apa yang terjadi…. setelah saya masukkan telur, tiba-tiba air yang tadi sudah mendidih mereda kembali… lalu saya mencium baru gosong. Spontan saya cabut kabel panci listrik itu. Dan betul sodara-sodara…… misi malam ini gagal. Telurnya mengerak di dasar panci dan gosong.

Karena sudah malam dan saya malas pesan gofood, saya makan juga indomie tersebut. Tanpa telur. Enak, meski rasanya sedikit hambar, karena tadi saya sok sehat, bumbunya sudah terlanjur saya buang.

Ritual malam dilakukan lagi. Rutinitas merawat diri, menuju Peila yang lebih baik.

Meski batuk masih belum mereda, tapi hati berbunga-bunga, mendapat lawatan dari Sang Pencipta.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 10)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Senin, 21 Juni 2021 – Hari ke 10

Semalam saya tidak bisa tidur. Takut kecolongan kalau-kalau sewaktu saya tidur saturasi tiba-tiba menurun. Semalam teman Tania yang saturasinya drop dengan cepat itu sudah berpulang. Begitu cepat.

Saya mengulang kembali tayangan ibadah online karena kemarin ada special edition “Father’s Day”. Si bungsu, Nielsen, dan papanya berpartisipasi dalam acara tersebut. Lalu saya mencoba tidur namun hampir tiap setengah jam saya terbangun dengan sendirinya untuk cek saturasi. Masih aman sepertinya, meski pernah di angka 94, namun ketika saya mencoba duduk dan bernafas dengan lebih teratur, saturasi berangsur naik. Saya juga merasa tidak sesak ataupun pendek2 nafasnya. Biasa sih, yang mengganggu cuma batuknya aja dan keringat dingin yang tak kunjung reda.

Saya pasang status WA: “The battle is real, please pray for me”

Ternyata pagi-pagi sudah banyak WA yang masuk merespon, saya langsung delete status itu. Takut membuat teman-teman khawatir, dan gak kebayang kalau yang merespon lalu tidak saya balas nanti mereka akan berpikir saya kenapa-napa.

Jam 5 pagi suami sudah menyapa di WA.

“Bun gimana kondisimu?”

“kebangun krn batuk2. Tp saturasi bagus”

Semalam suami sudah kontak beberapa teman yang bisa memberikan advise perihal rumah sakit. Ada dua opsi yaitu: tunggu waiting list dari rs atau home care dengan salah satu dokter yang memang memberikan layanan home care termasuk untuk pasien covid. Homecare meliputi pengecekan kondisi pasien dan infus lepas. Kalau di rs minimal sekamar berdua, bahkan bisa berempat. Homecare bisa mulai hari ini kalau saya mau.

Saya orang yang suka mengikuti prosedur, jadi sebelum memutuskan homecare, saya lebih sreg kalau ke dokter dulu. Kemarin dr L menyarankan agar saya ke dokter spesialis paru di rs. Saya setuju, antara internist atau spesialis paru, karena memang covid mostly menyerang organ pernafasan.

Suami juga sudah menelepon beberapa orang yang sudah pernah terpapar. Kebanyakan dari mereka menyarankan isoman saja, jangan opname sebisa mungkin. Memang rasanya hari ini saya lebih mendingan dari kemarin. Rasanya, Pocari Sweat yang saya minum itu cukup membantu memberikan energi.

Itax paling pertama nanya di group,”ci peiii… pie km? Cii.. Perlu opname ga? Aku jantungen baca statusmu 😭😭😭 Kmrn kayae lili blg kl uda bisa keluar riak, di stop dl pengencer dahak e.. Apa kl ga coba tanya dokter dehh..Sembuhh.. sembuhh.. Aku yakin km isa melewati ini semua.. Tuhan pasti mampukan kamu 😇💪🏻”

“Amin”

Lalu Linda nongol juga “Ci pei,dr bilang gmn? Suhu badan brp hri ini? Bisa makan? @Peila Silvie”

Susan nimbrung ” Ci pei … Kamu sendirian di hotel .. it’s ok kah? Ga ada yg nemenin… Pintu jgn dikunci ci…. “

Stacey nanya “Ci Pei hr ini jd ke dokter paru?”

Semua concern karena saya sendirian di hotel.

Breakfast telur 2 butir dan buah, minum obat dan vitamin, lalu jemur di rooftop.

Pagi itu ada 2 orang yang sedang berjemur, satu wanita paruh baya, satu lagi seorang laki-laki remaja. Semua bermasker dan saya asumsikan mereka pun sedang isoman. Saya mengambil posisi yang sama setiap kali saya berjemur, lalu saya nyalakan timer 15 menit. Di tempat saya berdiri, saya bisa melihat tower-tower stasiun radio yang lokasinya dekat rumah saya, jadi ketika saya melihat tower2 tersebut, seolah saya sedang memandang ke arah rumah. I am thinking of my family. Di posisi itu juga saya bisa melihat 5 gunung, yang kadang kelihatan jelas dan kadang tidak kelihatan sama sekali.

Ada kiriman obat ramuan dari Mega. 2 botol. Saya minum nanti setelah pulang dari rs karena barusan minum obat.

Selesai berjemur, saya bersiap untuk ke rs – kontrol ke dokter spesialis paru. Saya bawa kedua hasil thorax, hasil lab, PCR, oximeter dan thermometer serta obat-obatan yang harus saya minum hari itu.

Sampai di rumah sakit jam 11. Parkiran sudah penuh, akhirnya dapet di lantai 5 lagi. Saya mengatur langkah saya supaya tidak ngos-ngosan. Pelan-pelan saja Peila… ga usah buru-buru, toh belum terlambat kok. Saya langsung menuju ke klinik. Ambil nomer antrian dan ternyata harus menunggu 10 nomer.

Sambil nunggu, saya cek WA dan membalas beberapa WA yang merespon pada status saya tadi.. Ada chat dari Octa menanyakan apakah saya baik-baik saja. Dan ternyata dia sedang berada di hotel untuk mengantarkan makanan.

“Ci…. ini aku di bwh. Kirim makan siang. Ci Peila kmr nomer brp?”

“303. Tp aku lg di rs. Kontrol. Titip reception aja suruh taruh depan kamarku.”

“Ooooo… oke ci. Tak titipin di loby ci.”

“Tq Octa sampe dianterin”

“Sama receptionis nya. Gpp ci aku sm merry. Semoga lekas pulih ya ci 🤗😘”

Group satunya sudah absen juga. Di group yang satu ini memang ada beberapa orang yang sedang tidak fit. Itax yang baru kemo ke 3 kemarin, Tania yang juga sedang terpapar covid, dan saya. Jadi kami saling berkabar setiap hari, bahkan sepanjang hari ada yang absen.

Kalau di awal-awal isoman saya suka bercanda kalau ditanya apa kabar…. selalu saya jawab “masih hidup”. Tapi hari ini, ketika saya mengucapkan itu, sudah bukan bercanda lagi. Bener2 masih hidup setelah melewati hari kemarin adalah suatu anugrah. Hari demi hari ketika saya membuka mata dan masih melihat lampu kamar…. saya mengucap syukur. I am still alive.

Tania lapor kalau hari ini dia agak mual dan semalam dia kurang tidur. Itax lapor kalau hari ini agak mabok dan nggliyeng (pusing). Itax usul supaya saya dan Tania lapor di group setiap 3 jam sekali biar teman2 tidak kepikiran.
“Td pagi aku beneran panic lo baca status wa ne ci pei.. Keinget temenmu si rifan.. Sampe meh nangis aku nunggu kbr.. 😤😤”

Semua menawarkan bantuan. Vivi usul agar saya minum jeruk nipis digigit sama kulitnya. Wadaw…

Hampir 1 jam saya baru dipanggil…. dan ternyataaaaaa dokter spesialis paru bukan disitu tempat prakteknya. Jadi saya sudah wasting 1 jam disitu for nothing. (WHAT???)

“Maaf ibu, kalau dr. M prakteknya bukan disini. Di lantai 7.”

Dalam hati jengkel juga sama diri sendiri. Sok tau sok yakin langsung ambil nomer tanpa cari tahu dulu. Haizzzzz…

Untunglah ketika saya ke lantai 7, dokter masih praktek. Pasien yang menunggu disitu cukup banyak tapi tidak ramai. Saya mendapat urutan ke 17. Tempat duduknya pun tidak berdekatan. Saya mengambil posisi di pojokan, just in case batuk-batuk nanti semua menoleh.

Setelah menunggu sekian purnama dan pasien hanya tersisa beberapa, suster memanggil nama saya.

Akhirnyaaaaa pikir saya. Waktu sudah menunjukkan pukul 2.30, dan herannya, setiap kali ke rs, batuk mereda dan disini saya tidak demam. Meski melewati jam makan, saya tidak merasa lapar.

Suster menanyakan beberapa hal pada saya.

“keluhannya apa ibu?”

“Demam, batuk sus. Pilek ada dikit tapi tidak meler.”

“Sudah pcr bu?”

“Sudah… hasilnya positif sus” – kali ini saya agak berbisik.

Suster tidak kaget. Biasa aja. Mungkin hampir semua yang kesitu memang pasien pengidap covid.

Suster mengecek tekanan darah, saturasi dan suhu. Lalu dia menanyakan berat badan saya.

Waduh… sensitif nih… .. “kayanya…. segini deh sus” Saya menyebutkan sebuah angka.

Suster menyuruh saya nimbang.. dan ternyata saya turun 2kg. Yes!! Tuh kan bener, perut kempesan sedikit dan ternyata beneran turun. 2kg dalam 10 hari is not bad at all. Biasa nurunin sekilo aja susah banget.

Dan ternyata setelah pemeriksaan itu, saya disuruh menunggu lagi. Lamaaaaa… sampe saya bingung, kok saya belum dipanggil kenapa sus, padahal pasien sudah pada pulang semua. Tinggal saya dan satu orang lagi. Perasaan pasien yang setelah saya pun sudah dipanggil.

Hasil PCR akhirnya dikirim juga. CT value naik dari 12.45 menjadi 19.18. At least naik.

Jam 3.30 saya baru dipanggil…. akhirnya setelah 4 jam.

Saya masuk ke ruang praktek dr. M. Dia mengenakan tutup kepala, kaca mata, face shield, masker, dan berlapis baju medis. Saya duduk di hadapannya, kami dipisahkan oleh sebidang arcliric yang terpasang di meja dokter.

“Halo dok.”

“Halo… gimana, ada yang bisa saya bantu? gejalanya apa?”

“ini dok saya pcr tgl 14 dan positif, ini hasil thorax, lab sudah dua kali.”

Lalu saya memberikan semua hasil-hasil pemeriksaan tersebut pada suster. Dokter memasang kedua hasil xray di lampu secara berdampingan. Dia memang menyebutkan kalau bercak bertambah, tapi dia tidak khawatir. Dia menanyakan obat apa yang sudah saya konsumsi dan yang masih ada sekarang.

“tinggal pengencer darah, vitamin dan obat batuknya Vestein dok. Kemaren saya lemes sekali, keluar keringat dingin seharian, batuknya jg parah kemarin.”

Lalu saya batuk-batuk beberapa kali setelah dari tadi sewaktu menunggu batuknya mereda jauh dibanding kemarin.

“ini batuknya kaya gini dok, kemaren sih saya bisa muntahin riaknya, tapi seringnya ga bisa”

“Ada alergi obat?”

“Setau saya engga ada sih dok. Cuma … saya kayanya kalau minum steroid itu suka lemes, keringet dingin dan mual dok.”

“kapan itu?”
“udah lama sih, tapi saya masih ingat dan agak trauma karena tiba-tiba seperti mau pingsan waktu itu”

“Saya kasih sedikit aja ya. Ga banyak kok. Makan dulu sebelum minum.”

“Dok kalau bercaknya itu akan hilang dalam berapa lama ya? saya kok agak khawatir soalnya katanya pasien covid kalau parunya udah kena bisa jadi kaya jaringan parut.. fibrosis atau apa gitu”

“Bercaknya akan hilang dalam beberapa bulan. Gapapa, memang seperti itu.”
“Saya kok agak concern karena masih demam kenapa ya dok?”
“Ya kelihatannya ada infeksi. Nanti saya kasih resep untuk obat-obatan yang baru ya. Penurun panasnya diminum terus. 3x sehari. Makan gimana?”

“Masih oke sih dok, meskipun ga bisa banyak tapi masih bisa makan kok.”

“saya kasih obat penambah nafsu makan ya”

Waduh…. baru turun 2kg udah dikasih obat penambah nafsu makan. Kacauuuu….

“Trus dok, saya harus kontrol lagi sebaiknya kapan ya? trus PCR lagi kapan?”

“Kalau PCR ga usah buru-buru. Kontrol nanti aja dua atau tiga minggu lagi tidak apa-apa.”

“Jadi saya ga perlu opname ya dok? Atau perlu diinfus?”
“Ga usah… lanjutkan isoman aja, saturasi masih bagus, tapi tetap dipantau ya. minum obatnya semoga membaik ya.”

Dan di sela-sela perbincangan itu, dokter beberapa kali diinterupsi oleh panggilan telepon yang masuk ke hp nya. Banyak pasien yang minta tolong untuk dicarikan kamar. Dokter menjelaskan, “tidak begitu prosedurnya….. bapak harus ke UGD dulu… dan di UGD itu antri pak.”

Saya merasakan ada situasi darurat pada saat itu. Rumah sakit penuh, UGD antri. Bahkan di beberapa rumah sakit mereka memasang tenda untuk menambah UGD.

Selesai sudah kontrol dengan dr M. Jaman pandemi begini, ke dokter sudah tidak ada pemeriksaan fisik lagi.

Suster menyuruh saya untuk menunggu lagi sementara dia menyiapkan resep obat.

“Ibu ini totalnya ya… obatnya mau diambil disini atau di farmasi?”

“oh… harus beli disini ya obatnya?”

“iya bu. Bisa diambil disini juga kalau ibu mau.”

“saya ambil di farmasi aja sus.” – sekalian mau beli makanan pikir saya.

“baik bu, nanti ibu langsung aja ke counternya, tidak usah antri ya.”

Satu set obat-obatan baru harganya cukup mahal. Covid ini sungguh menguras dompet. Serangkaian tes yang sudah dilakukan plus obat-obatan kalau saya jumlah….. bisa beli baju baru berapa potong itu… Untunglah yang kena cuma saya sendiri. Kalau serumah, dikali 5…. Masih ada ruang untuk bersyukur.

Lalu saya turun ke farmasi. Dan sesampainya disana saya menyesal. Ruang tunggu farmasi sangat ramai. Penuh. Tidak ada tempat duduk. Seharusnya saya tunggu di lantai 7 saja tadi. Tapi sudah terlanjur. Saya langsung menuju counter. Ada sekitar 5 counter dan semua suster yang melayani sedang sibuk. Bapak yang di sebelah saya sedang komplain karena obat yang dia perlukan habis dan baru ada besok atau lusa. Bapaknya tidak terima.

Saya menyodorkan nota yang sudah saya bayar di lantai 7 tadi. Namun suster menyuruh saya untuk menunggu karena nomer saya belum tampil di layar monitor. Saya keluar dari farmasi. Memilih untuk duduk di luar. Dilema juga, mau makan, tapi tidak mungkin dine in. Tapi kalau tidak makan, jadwal minum obat akan segera tiba.

Akhirnya saya turun ke bawah untuk membeli makanan. Saya sudah tau kios mana yang dituju.

“1 nasi tim ayam dibungkus ya mas, minta sendoknya.”

Lalu saya mencari tempat yang agak sepi untuk makan. Enak. Ada rasanya, tapi mungkin kalau sudah sembuh benar, rasanya akan lebih gurih. Kalau tadi saya hanya merasa rasa asin saja. Saya minum obat sesuai jadwal.

Saya kembali ke farmasi. Kali ini di ruang tunggu sudah banyak kursi yang kosong. Saya duduk sebentar dan setelah saya lihat nomer saya sudah tampil di layar monitor, saya hampiri counternya kembali.

Sudah komplit, bisa pulang. Dari jam 11.30 sampai jam 6 disini. Pantes saya capek sekali.

Sampai di hotel, sudah ada titipan dari Octa & Merry tadi. Juga ada Bakcang dari Nike. Saya sudah tidak sabar ingin rebahan. Sesampainya di kamar langsung mandi dan keramas.

Saya rebahan sambil WA dengan suami, adik2 dan teman2. Menyampaikan hasil pemeriksaan dokter tadi. Obat-obatan dari dokter akan saya minum besok pagi, karena saya harus minum obat ramuan yang dikirim Mega tadi pagi.

Saya tuang ke dalam gelas. Warnanya hitam, tapi tidak terlalu pekat. Saya endus-endus, memang baunya seperti jamu china. Saya seruput….. membayangkan ini kopi hitam, tapi gagal. Ini jamu… dan tidak ada jamu yang enak memang. Rasanya original. Pahit. Tapi saya habiskan. Thank you Mega sudah mau rebuskan dan mengirimkan.

Jam 9 kurang, saya mulai lapar lagi, padahal obat penambah nafsu makan yang diberi dokter tadi belum saya minum. Apa jangan-jangan ramuan itu juga membuat saya jadi nafsu makan. Saya makan nasi kotak yang dikirim Octa tadi. Entah lapar entah karena tau sudah turun 2kg, saya berani makan jam segini.

Suasana hari ini jauh lebih baik dibanding kemarin. Sebelum tidur saya melakukan serangkaian ritual dulu. Mulai dari sikat gigi, lalu kumur2 pakai betadine. Lanjut mencuci hidung menggunakan Na Cl – masuk lubang kiri, keluar lubang kanan dan sebaliknya. Lalu oles-oles lotion sebadan karena kulit terasa sangat kering hingga bersisik seperti ular. Krim malam untuk wajah dan krim mata, tidak lupa pakai lipbalm. Untuk dada oles dengan YL RC – entah apa ini karena dikasih sama Meta dan saya bukan pemakai YL sebelum ini. Perut oles YL Peppermint biar anget. Telapak kaki dioles YL Thieves. Lalu semprot tissue pakai minyak kayu putih, putar2 masukkan ke hidung. Cek saturasi, cek suhu. Begitulah setiap hari.

Saya duduk bersila lagi, melakukan latihan pernafasan. Lalu berdiam diri dalam keheningan. Saya menyapa Sang pencipta, mengucap syukur telah melewati satu hari lagi. Saya ucapkan kembali janji-janjiNya, saya siap menerima lawatanNya.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 9)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Minggu, 20 Juni 2021 – Hari ke 9

Batuk semakin parah. Bangun subuh seperti hari-hari sebelumnya, tapi kali ini saya tidur lagi karena badan lemes semua. Sangat terasa perbedaan dari isoman 3 hari pertama masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa meski dalam keadaan demam. Namun memasuki hari ke 4 sudah mulai tidak nyaman karena batuk semakin sering. Riak semakin banyak tapi sulit untuk dikeluarkan.

Kemarin setelah suami mengirim oksigen, saya merasa lebih ayem. Tapi ketika saya mencoba untuk menggunakannya (cuma coba aja… latihan gitu maksudnya), ternyata tabung yang berisi air di regulatornya tidak bisa dilepas. Jadi nanti siang suami akan ke hotel untuk memperbaikinya.

Pagi itu saya infokan juga ke suami kalau saya disarankan oleh dr. L untuk cek ke dokter spesialis paru di rs. Selain karena masih demam dan batuk semakin parah, hasil thorax menunjukkan bertambahnya bercak. Saya setuju.

Saya agak heran karena hari ini suami saya lebih concern dari hari-hari sebelumnya. Kalau kemarin-kemarin kita cuma ngobrol soal kantor, anak-anak, makanan, hari ini topik lebih pada saya. Obat-obatan apa yang sudah saya konsumsi, dokter siapa saja yang saya kontak, hasil PCR bagaimana, dan dia akan mengantar titipan saya serta membawakan wireless CCTV agar dia bisa memantau saya 24/7. Cieeee….. kaya Seven Eleven aja layanannya….

Memang semalam waktu kita video call, saya terbatuk-batuk sehingga tidak bisa ngomong banyak dan saya lebih banyak diam karena lemes.

Menu breakfast hari ini adalah telur dan buah lagi. Saya merasa perut agak kempesan deh. Seminggu ini memang nafsu makan berkurang dan makan saya sangat teratur. Kemungkinan besar berat badan turun. Saya coba berkaca, hadap kiri, saya lihat perut memang mengecil dikit… tidak terlalu ‘njembling’ (buncit) seperti sebelumnya. Ah, ada hikmahnya juga rupanya. Selama pandemi, berat saya naik banyak (baca 6kg).

Pagi itu saya menanyakan di group, obat Qing Fei Pa Du Tang yang kemarin di info oleh teman saya, Alice. Itax bantu cek di online shop, dan ternyata banyak sekali yang menjual obat ini dengan kemasan yang berbeda-beda. Ada yang berbentuk bahan mentah seperti akar-akaran, ada yang di kapsul, ada juga yang serbuk (granule). Harganya pun bervariasi, sehingga saya jadi ragu mau membeli entah yang mana yang asli.

Tentang konsumsi obat herbal, saya sebetulnya enggan. Bayangkan, obat-obatan dari dokter saja sudah memakan waktu seharian untuk meminumnya. Lalu, pengalaman dari dua teman saya yang mengkonsumsi ramuan herbal untuk pengobatan penyakit lain dan untuk kesuburan berakhir buruk. Jadi saya bukan pecinta ramuan-ramuan seperti ini.

Tapi kali ini, karena sudah ada beberapa teman yang mencoba dan berhasil mengatasi gejala covid yang dialamai mereka, maka saya akan mencobanya setelah obat-obat dari dokter yang saya konsumsi habis.

Mami-mami lain mulai bermunculan. Group menjadi ramai bagaikan pasar. Beberapa berita seputar covid masih terus terdengar. Kali ini kerabat mereka yang terpapar. Tania bercerita kalau temannya ada yang drop saturasinya, dari 86 di hari sebelumnya dan hari ini menjadi 53. Oh betapa cepatnya pikir saya. Saya harus pasang kuda-kuda, harus alert, tidak boleh lengah. Dokter berkata kalau di bawah 95 siap-siap ke UGD.

Setelah serangkaian obat dikonsumsi, saya ingin tiduran lagi.

Jam 12, Itax mengirimkan Soto Banjar buatan mamanya. Kapan hari memang saya pernah bilang sama Itax kalau saya belum pernah makan yang namanya Soto Banjar. So sweet, thank you dear. Namun saat itu saya hanya ingin makan pepaya dan nanas yang saya pesan dari Tania.

Semalam dr Indra sudah membalas WA saya perihal hasil thorax. Dia mengirimkan ulasan yang ditulisnya perihal kriteria berat atau ringannya Covid sesuai gejala.

No 1 – 2 di rumah, nomer 3 – 5 opname.

“Pei, saturasi berapa?”

“Saturasi di 95-98. Demam masih 38.3 pdhl udh mnm sumagesic terus. Kl kondisi gw stabil sebetulnya, cm batuknya bikin tulang nyeri. Trus liat foto rontgen putih2nya nambah gw jd khawatir.”

“Kamu ini di nomor 3 Pei. Saranku sbnernya paling bagus diopname”

“Oke, jadi aku langsung ke UGD coba ya.”

Dr Indra lalu menanyakan hasil lab. CRP sebetulnya tidak terlalu tinggi, tapi dia tetap menyarankan opname. Proses penyembuhan rata-rata 14 hari, jadi ini masih in progress. Namun rumah sakit sedang penuh dimana-mana, tidak mudah untuk mendapatkan kamar.

Ria di group mami2 ‘internasional’ sudah absen saya pagi-pagi menanyakan kabar saya pagi ini.

“msh demam 38.8 saturasi 96”

“ga consider opname pei? aku sendiri kok kl panas buru2 pgn opname. Soalnya begitu infus msk tu langsung fee a lot better.”

“kalo bisa y mau. ini ga bisa. Aku gak terlalu parah, jadi ga bs”

While Ria dan Vivi lebih suka opname, beda lagi dengan Eveline. Dia menyemangati untuk berpikir positif.

“Berpikir positif aja ..saturasi masih bagus, nafas dll masih ok. Semangatt, jemur terus, mnm obat tratur, dah mnm madu, propolis, dll whatever yg pny, emplok aja ga wes ci. Klo aku wayah gini malah takut opname..or ke RS.. trs terang aja”

Sebetulnya saya juga tidak suka diopname. Sebisa mungkin saya tidak ke rumah sakit. Namanya aja rumah sakit. Isinya tentu banyak penyakit. Tapi jujur hari ini saya di tahap khawatir karena selain demam sudah 9 hari, batuk semakin parah, hari ini secara fisik saya lemes, tidak nafsu ngapa-ngapain. Bahkan disuruh nonton drakor pun saya gak mau wkwkkw….

Saya teringat beberapa artikel tentang virus covid yang selama setahun terakhir ini sering kita terima dalam bentuk broadcast di WA. Banyak bahasan yang menekankan agar kita harus menjaga supaya virus tersebut tidak sampai masuk ke paru-paru. Dalam benak saya, batuk yang semakin parah – dalam arti terus menerus – adalah usaha/mekanisme tubuh saya yang sedang berusaha mengeluarkan apapun yang ada di saluran pernafasan. Jadi batuk sebetulnya sebuah indikasi kalau ada sesuatu yang perlu dikeluarkan oleh tubuh. Tapi ini batuknya udah kebangetan. Frekuensi batuk dan nafas dalam semenit itu ‘unda undi’ – ini bahasa Jawa yang artinya hampir sama.

Di group yang sama, Angel menyarankan suntik vitamin C biar lebih segar. Dia juga cerita bahwa temannya demam dan kehilangan indra perasa, lalu temannya itu minum JSH Sido Muncul dan berasa mendingan. Angel jg mengusulkan bagaimana kalau pakai mesin uap – nebulizer. Eveline juga mendukung ide ini karena kenalannya waktu terkena covid tiap hari disuntik vitamin dosis tinggi.

Semua memberikan beberapa ide dan solusi untuk menangani kondisi saya hari ini. Dari solusi obat-obatan, hingga mencarikan rs melalui http://yankes.kemkes.go.id/app/siranap/ yang adalah aplikasi untuk mencari RS kosong untuk Covid dan non Covid.

Siang ini suami ke hotel untuk mengantarkan titipan saya. Dia juga membelikan air purifier untuk disimpan di kamar biar udaranya ‘bersih’. Sebetulnya saya khawatir dia kesini takut terpapar, tapi dia bilang, dia akan memakai APD karena akan membetulkan tabung air di regulator oksigen yang tidak bisa dibuka. Selain itu dia juga perlu men-setting CCTV di hp nya. Saya taruh baju-baju kotor untuk dibawa pulang. Dilema memang, karena baju kotor sudah menumpuk dan tidak ada peralatan untuk mencuci disini.

Saya taruh tabung oksigen dan baju kotor di depan pintu kamar, lalu saya beritahu suami bahwa situasi sudah clear, dia bisa naik. Dia sedang setting CCTV di lantai 2.

“aku udah selesai. Belum pake APD udah gobyos”

Mission accomplished. Oksigen sudah dibetulkan, air purifier, baju2, CCTV dan seperangkat barang lain sudah dia tinggalkan di depan kamar.

Saya menata barang-barang itu ala kadarnya karena belum mood untuk beres-beres. Yang penting sudah di kamar dulu. Lalu saya menempatkan CCTV di nakas sebelah ranjang.

Suami menanyakan hasil PCR. Waktu itu kita ingin tahu apakah sudah naik, kalau positif tentu belum … baru 5 hari dari PCR pertama yang angkanya relative rendah. Saya belum mendapat kabar dari rs, jadi suami berinisiatif untuk menelepon rs karena kondisi saya batuk terus menerus sekalian membuatkan janji dengan dokter spesialis paru. Ternyata hari ini hari Minggu, sehingga hasil PCR memang belum diinfokan oleh pihak RS.

Adik-adik saya yang tinggal di berbagai pelosok video call. Diana di Jakarta, Sandra di Melbourne dan Elsa di Bandung. Selama saya isoman mereka terus memantau juga. Saya tidak banyak bicara karena akan memicu batuk.

Batuk petasan marathon membuat saya mual. Saya cepat-cepat ke toilet dan ternyata yang keluar adalah riak. Beberapa kali terjadi dan itu sangat melegakan. Seolah sebagian gumpalan yang terasa di dada keluar. Ah lega. Berharap akan terjadi setiap saya batuk.

Tidak lama ada kiriman dari Susan, 2 container salad buah. Memang dari kemarin saya maunya buah, biar ada seger-segernya di mulut. Thank you Susan. Saya buka WA, ternyata Susan sedang mengabsen anggota group…

“Gimana kondisi bu dewi (Itax)? Tania? Ci Pei?”

Itax bersuara… “Aku baiikkk… Jauh better kl dibandingin kemo kedua kmrn. . Yg lain gimanaa??”

“Tania jg baik2, semalem aku kayak bocah sugar rush, mata ud pedes mau tidur tp badan ga bisa diem entah krn kebanyakan vitamin apa pie”

Pembicaraan terus berlanjut. Stacey forward info tentang obat Ixxxx yang konon katanya ada yang minum ini 3x langsung sembuh. Dimana-mana banyak info tentang keefektifan obat ini mengalahkan virus corona, namun banyak juga yang kontra. Saya mengambil jalur aman.

Saya tidur lagi, tengkurap. Lalu saya coba duduk. Saya mencoba untuk latihan pernafasan yang pernah diajarkan oleh konselor saya sebelum sesi konseling.

Di atas ranjang, duduk bersila. Saya pejamkan mata. Otot-otot dilemaskan. Posisi sudah nyaman dan rileks. Pertama saya masih bernafas seperti biasa. Lalu saya fokuskan pikiran pada udara yang saya hirup, memasuki hidung lalu dibawa ke saluran pernafasan dalam dan mencapai paru-paru. Lambat laun, nafas melambat dan saya merasa lebih tenang, meskipun dalam latihan pernafasan tersebut batuk masih menyela. Latihan pernafasan ini membuat saya menjadi ‘aware’ (menyadari), fokus dan menyatukan tubuh jiwa dan roh menjadi sinkron. Setelah tenang, saya coba untuk fokus kembali. Dari tadi saya terlalu fokus pada gejala yang semakin buruk, tapi saya lupa akan peran Sang pemberi hidup. Saya bayangkan lagi diri saya bergantung sepenuhnya pada tali di wahana dan seketika beban terasa lebih ringan. Berserah… dan saya pun mengambil posisi proning untuk tidur siang.

Saya terbangun ketika suami memanggil saya melalui CCTV dan menanyakan apa yang saya rasakan.

“Bun, gimana kabarmu”

Masih demam, lemes dan seharian saya berkeringat lagi. Basah… kuyup. Handuk kecil yang saya pakai sudah basah juga. Saya cek saturasi. 95… oh no… cek lagi… masih 95. Suami menyarankan agar saya banyak minum supaya tidak dehidrasi. Dia juga bercerita kalau Nicholas, si sulung, sedih ketika tahu kondisi saya belum membaik. Lalu saya bilang kalau saya akan siap2 untuk ke UGD karena sudah diukur berulang kali saturasi mentok di 95. Saya takut kecolongan.

Seharian saya belum makan berat. Hanya telur di pagi hari dan buah sepanjang hari, sisanya tidur. Jadi saya makan Soto Banjar kiriman Itax tadi. Untung sudah punya panci kecil, jadi bisa dihangatkan dulu sebelum dimakan. Sepertinya indra perasa sudah kembali. Soto, nasi, perkedel habis semua. Rupanya saya memang perlu amunisi.

Hari ini saya merasa seperti sedang berperang. Sungguh melelahkan padahal saya hanya tidur doang, tapi keringat yang keluar terus menerus membuat saya berasa di medan perang. Di saat kondisi sudah tidak kondusif, badan tidak nyaman lagi, yang saya pikirkan waktu itu hanya oksigen, rumah sakit, obat dan dokter. Namun sesungguhnya yang saya perlukan adalah memohon pada Sang pemberi kehidupan. Saya membutuhkan dukungan doa dari teman-teman. Saya WA di group teman-teman gereja.

“Teman2 mohon bantuan doa bt aku ya. Spy bisa melewati covid ini dgn baik. Ini sdh hr ke 9 dan msh belum membaik. Tlg doanya saja. Ga ush kirim apa2 please. 🙏”

“Semangat ci Pei…Tuhan yg kasih kekuatan ya ci”

“Semangaaatt ciiii km pasti bisa 💪🏻🙏 Tuhan beri kekuatan n kesembuhan yaa”

“smgt ciii.. semoga cept smbh yaa ciii..”

dan seterusnya… doa-doa dan ucapan pun berdatangan.

Beberapa WA saya secara pribadi.

Mega menawarkan obat ramuan juga. Dia bilang sudah ada beberapa yang minum dan memang khasiatnya sangat terasa. Saya bilang, saya tidak punya panci keramik untuk merebusnya. Jadi Mega yang akan merebuskan dan mengirimkan setiap hari ke hotel. Saya terharu.

Dengan adanya tambahan obat yang harus saya minum, artinya saya harus menambahkan alarm di HP saya untuk minum di sore hari, karena harus di jeda 2 jam setelah minum obat dokter.

Lalu Janice juga menginfokan hal yang sama. Dia bahkan mengirimkan resepnya dalam bahasa Chinese.

Jadi so far memang sudah banyak yang merekomendasikan obat ini. Tak ada salahnya saya coba.

Group mami2 ‘internasional’ video call. Eve mengajak teman-teman yang available saat itu, Helen, Angel & Meta untuk bersama mendoakan saya. Kami claim kesembuhan, damai sejahtera dan kemenangan atas covid ini.

Saya membereskan baju-baju di koper yang akan dibawa ke UGD. Saya pilih barang-barang yang sangat diperlukan dan tidak terlalu perlu supaya nanti ketika saya bawa turun dari mobil tidak repot. Sementara itu suami telepon beberapa teman untuk menanyakan ketersediaan kamar di beberapa rumah sakit. Jawabannya sama. Penuh.

“aku msh bs bertahan semalam lg gpp. Lagian udah malam” akhirnya saya sampaikan saat itu.

Membayangkan ke UGD yang penuh dengan pasien covid, dan harus mengantri disana membuat niat saya untuk opname jadi berkurang. Sementara suami masih mengusahakan agar mendapat kamar dan mencari dokter atau perawat yang memberikan layanan homecare. Tujuannya agar saya bisa diinfus dulu biar tidak terlalu lemes.

Akhirnya suami mendapat kontak satu dokter yang melayani homecare, tapi hari sudah larut malam. Untuk sementara, saran dari dokter tersebut, saya harus makan banyak dan tidur banyak supaya penyembuhan cepat. Kalau kurang tidur, demand oksigen tinggi – ini akan memperlambat penyembuhan.

Malam itu, adik ipar saya mengirimkan 6 botol Pocari Sweat. Karena saya sudah banyak mengeluarkan cairan dan belum bisa infus, sementara minum itu dulu katanya. Saya pun nurut dan menghabiskan 1 botol pertama dalam satu tegukan. Ternyata memang haus dan minum sesuatu yang ada rasa sangat menyegarkan.

Malamnya, Jeannie, teman sepelayanan di gereja WA saya. Dia menanyakan kabar dan pengalamannya ketika keluarganya terpapar beberapa waktu yang lalu.

“kalau saturasi dibawah 90 aku bantu peila cari kamar di rs”

“Oke. Ini dilema krn aku ga berharap saturasi menurun 😀”

Dia cerita salah satu teman kita yang sedang diopname di rs saat ini komplain karena dia sekamar dengan WNA yang terima telepon malam-malam dan suaranya kenceng banget sehingga tidak bisa istirahat. Sudah komplain melalui suster, tapi ada kendala di bahasa.

Setelah chat dengan Jeannie, keingingan untuk opname jadi semakin berkurang lagi. Membayangkan situasi di rumah sakit pasti berbeda dengan di hotel. Lengan diinfus, tiduran di ranjang, mau ke toilet harus bawa-bawa tiang infus, mau mandi susah, repot, belum lagi membayangkan nanti sekamar dengan siapa… tidak bisa dengerin lagu, tidak bisa drakoran, mau pedicure apalagi… udah gak mungkin…tidak bisa semau-maunya kita. Mau gojek makanan juga mungkin akan lebih sulit.

Kepanikan hari itu berakhir dalam doa. Saya tidak menyangka hari ini sungguh hectic. Bahkan tadi sewaktu telepon dengan mami saya tidak bisa menyembunyikan keringat yang terus bertetesan. Malam itu saya kepikiran Papi juga. Gimana kalau papi sampai tau saya harus diopname… pasti dia akan sangat khawatir. Semoga besok akan lebih baik.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 8)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Sabtu, 19 Juni 2021 – Hari ke 8

Rupanya jam tidur saya sudah terjadwal bangun dini hari. Semalam bangun lagi sekitar jam 3. Sudah tidak kaget, malah terbiasa. Bangun karena batuk.

Pagi2 Stacey sudah nongol di group untuk menyemangati.

“Pagiiii. Semangat ya bu dewi”

“Thank you sista”

“Ci Pei & Tania… sembuh sembuh sembuhhhh sehatt dlm nama Yesus”

“Amin”

Lalu teman yang lain bermunculan memberikan semangat untuk Itax yang akan kemo ke 3 dan saya yang akan cek laborat, rontgen dan PCR.

Seharusnya PCR tidak perlu dilakukan dulu karena baru 5 hari, tapi saya penasaran…. selama 5 hari ini apakah angka CT itu naik atau tidak ya, jangan-jangan turun. Atau, kalau naik, naiknya berapa sih? Kok kondisi memburuk rasanya.

Jadi sebelum berangkat ke RS saya daftar dan bayar online dulu supaya tidak terlalu antri nantinya.

Itax yang sudah berada di RS Kxxx lapor di group. “Ada anak kecil yang sedang kemo nangis-nangis manggil mama…, nenek…, mama…, nenek.” Sementara Itax sedang dipersiapkan untuk menerima kemoterapi. Satu jam kemudian Itax lapor di group kalau barusan dia sesak, seperti yang dialami sewaktu kemo sebelumnya. Untunglah kali ini suster lebih cepat memberi bantuan oksigen.

Sementara saya mempersiapkan diri untuk ke RS. Semua obat yang harus diminum sudah saya bawa, just in case masih di RS pas waktunya minum. Breakfast telur dan buah dulu karena takutnya disana antri lama, pengalaman PCR yang pertama antrinya berjam-jam.

Sampai di RS sekitar jam 9.30. Kali ini saya sudah tau tindakan mana dulu yang harus dilakukan. Yang paling sepi adalah radiologi. Saya menuju kesana. Dan seperti yang diharapkan, antrian pagi itu tidak ramai. Saya duduk di kursi panjang yang disediakan di depan ruang rontgen. Tidak lama kemudian, datanglah satu keluarga; mama di kursi roda, dan ketiga anak yang sudah dewasa yang mengantar.

Dari banyaknya kursi kosong yang ada, entah mengapa mereka memilih untuk duduk di kursi panjang yang saya duduki. Salah seorang anaknya bahkan duduk tepat di kursi sebelah saya, padahal kursi tersebut diberi tanda silang. Lalu saya memberi kode kalau tempat itu tidak boleh diduduki, sambil berkata dalam hati…. ‘kamu jgn duduk sebelahku, aku lagi positif lho.’ Dia pun berpindah ke kursi panjang yang lain.

Tidak lama petugas memanggil saya. Proses rontgen pun selesai kurang dari 5 menit. Lalu saya lanjutkan ke laboratorium. Sampai disana, saya segera mengambil nomor antrian untuk pembayaran. Di ruang tunggu ini kursinya lebih berjarak. Meski ramai namun masih bisa social distancing. Untuk mendapat giliran bayar saya harus menunggu satu jam. Yang saya heran, kok di RS saya tidak batuk seheboh di hotel ya. Kok bisa tertib. Mungkin takut di lirik orang kalau ada yang batuk.

Akhirnya setelah sabar menanti, petugas laborat memanggil saya. Hari itu nurse yang akan mengambil darah saya seorang laki-laki yang sangat ramah dan masih muda. Setelah dia menepuk lengan kiri lengan kanan dan tidak berhasil menemukan pembuluh darah, saya usulkan agar mencoba untuk mengambil darah di punggung telapak tangan seperti sebelumnya. Lalu dia memeriksa pembuluh darah di area tersebut.

“maaf ibu, ini juga tidak kelihatan, lebih baik saya coba di dekat siku lagi ya.”

Akhirnya dia putuskan untuk mengambilnya di lengan kanan saya. Darah mengalir mengisi 3 tabung kecil dengan lancar. Cek laborat done.

Saya berjalan menuju ke tempat PCR. Antrian sama ramainya seperti PCR pertama.

Selama menunggu, dua group WA terus memantau saya. Semua menemani saya dan Itax yang sedang di RS.

“Ci Pei, kamu dimana?”

“Badanmu gimana?”

“Lagi antri pcr. Badanku ototnya sakit akibat kehebohan batuk. Tp aneh di rs aku isa tertib gak batuk2. Takut dipendeliki (dilirik tajam/dipelototin)”

Lalu Itax sharing vitamin yang disarankan oleh dokternya sewaktu dia mengalami hal yang sama. Karena di bulan Februari, Itax batuk tak kunjung sembuh hingga berbulan-bulan dan menyebabkan sakit otot yang sama dengan apa yang saya alami.

“mulutku tu gak enak bgt. Makanya ga pgn makan. Tp hrs makan soale hrs minum obat.”

“Efek obat cii… kudu makan sing asem2 n seger2… Km ada asam lambung ga?” – tanya Itax.

Saya pun berpikir akan makan buah hari ini. Pepaya dan nanas sepertinya akan segar kalau dimakan.

Sambil menunggu giliran PCR yang tidak kunjung tiba, saya berpikir untuk membeli mesin cuci kecil. Saya pernah lihat di tiktok ada orang review mesin cuci portable hanya sebesar ember untuk pakaian dalam dan beberapa lembar pakaian. Ide emak2 banget kan.

Vivi, si pengirim kelapa wulung, kebetulan berada di dekat RS.

“ak ampiri ke Telogorejo ya dadag² ya”

“ga usah, ngapain, banyak virus”

“Aku tau tmp e pcr, yg di lobby kan ya”

Vivi sudah masuk ke parkiran dan menunggu di depan tempat PCR, tapi saat itu saya sedang dipanggil untuk konfirmasi pembayaran online sehingga kami tidak bertemu karena mobil Vivi tidak diperkenankan untuk parkir di depan lobby.

Menunggu lama menjadi tidak terasa ketika ada teman-teman yang selalu hadir meski tidak secara fisik. Group yang satu ini berisi 7 mami-mami dimana kami saling mengenal karena berada dalam satu komunitas ICARE di gereja. Satu berada di Jakarta, satu di Singapura, dan 5 di Semarang. Setiap hari group ramai dengan bahasan yang sangat bervarisasi, dari drama korea, tanaman, obat2an, info sekolah, parenting, kuliner, termasuk pembicaraan yang tidak bermutu juga kadang wkwkwk. Di masa pandemi kita harus tetap berkomunikasi, supaya kita tetap waras.

Akhirnya giliran PCR tiba. Petugasnya sama dengan pengambilan PCR pertama. Dia sudah sangat ahli tentunya. Bayangkan berapa ribu orang yang sudah dia utik2 hidungnya dan berapa mulut ternganga yang sudah dia lihat. Saya akui keahliannya. Sejak PCR yang pertama, saya tidak merasakan sakit sedikit pun, padahal stick yang dimasukkan cukup dalam.

On the way ke tempat parkir, saya mampir ke cafetaria untuk membeli empon-empon yang iklannya sudah saya baca setiap kali saya melewati tempat itu.

“Mas kalau empon2 bisa dibawa pulang ga ya?”

“Bisa bu”
“Mau satu deh. Sama jus buah naga dan sirsat ya. Gula sedikit banget, ga usah pake es.”

Saya pesan jus karena ingin merasakan yang segar-segar di mulut. Saya menunggu pesanan sambil berdiri. Tidak berani duduk, takut mencemari.

Saya pulang ke hotel, ingin cepat2 rebahan. Untunglah lokasi RS dan hotel tidak jauh. Kurang dari 10 menit saya sudah sampai di hotel. Itax pun sudah kembali dari RS.

Sampai hotel sudah ada kiriman dari Christine, Bakso Agung Salatiga. Setelah mandi, keramas, saya minum jus buah naga sirsat yang dibeli di cafetaria tadi. Rasanya plain banget… entah karena tadi saya minta less sugar atau memang saya belum bisa merasakan rasa manis. Lalu saya menyantap bakso kuah dan bihun. Kenyang.

Tidak lama suami mengirimkan oksigen, lengkap dan siap pakai. Saya berharap tidak akan pernah memerlukannya.

Seorang teman WA saya menanyakan salah satu product yang dijual di kantor saya. Saya info dia bahwa saya sedang isoman jadi permintaannya akan saya refer ke admin di kantor. Lalu kami mengobrol dan dia sharing kalau baru-baru ini dia dan kokonya yang tinggal di kota yang berbeda kena juga. Dia memberi semangat bahwa saya pasti sembuh. Dia membagikan kesaksian dari kokonya yang juga demam lama dan sekarang sudah sembuh:

Selama isoman banyak teman-teman yang berbagi cerita mengenai pengalaman mereka sembuh dari Covid setelah mereka tahu saya terpapar. Begitulah seharusnya, yang sudah pernah kena tidak usah merasa malu, tapi membagikan pengalamannya untuk memberi semangat pada yang sedang terpapar bahwa banyak yang sudah melewatinya dan sembuh. Berita baik harus diberitakan.

Sorenya saya mendapat hasil xray thorax. Kesan dari dokter yang membaca hasil xraynya membuat jantung berdegup kencang. Kalimat “Gambaran bercak pada kedua paracardial tampak bertambah” membuat saya tidak nyaman.

Saya forward hasil rontgen ke dr Indra.

“Sebaiknya gimana ya Indra?”

Dan seperti kemarin, saya tidak berharap beliau akan segera merespon WA saya. Namun kemarin dia sudah info bahwa RS memang tidak ada kamar saat ini, tapi perputaran cepat. Jadi, yang sudah sembuh dan negative biasanya disuruh segera pulang.

Sore itu Vivi mengirim air kelapa lagi, tapi kali ini sudah dia pindahkan ke dalam 3 botol imut, beserta soto mbak Lien dan sebotol Vanilla Turmeric Latte buatannya sendiri.

Saya mengirim hasil xray kepada Dr L, lalu dia menandai beberapa spot dimana ada penambahan bercak dibanding xray yang pertama. Dia juga sudah melihat hasil lab saya.

Ddimer di angka 356.1 – sudah turun dari hasil pemeriksaan pertama. Namun CRP naik menjadi 14.4

“D dimernya sdh terkontrol, lixiana nya lanjut sampai habis ciii. CRP nya naik, cm ya wajar krn masih demam2, antivirusnya dihabisin sampe hari ke 7 cikk.”

Hari ini tidak keluar keringat dingin, membuat saya sedikit lebih nyaman. Tapi batuknya masih ngekel, seperti ada riak di dada dan sulit untuk dikeluarkan.

Saya WA Evi, teman saya di Kudus yang masih dalam pemulihan. Saya forward kesan dokter yang membaca hasil xray saya. Evi mengalami bronchitis, sedangkan saya bronco pneumonia.

Biasanya saya selalu googling apa pun yang ingin saya ketahui lebih lanjut. Tapi entah kenapa hari itu saya tidak mau googling soal bercak di paru. Mungkin saya tidak ingin membuat diri saya lebih khawatir, takut dan cemas. Setidaknya ada 2 hal yang membaik. Nilai CT PCR naik dan Ddimer turun.

Saya berusaha tenang. Mengalihkan pikiran tentang bertambahnya si bercak. Bagaimana tidak, sudah banyak berita menyiarkan bahwa pasien covid banyak yang tidak tertolong karena paru-parunya sudah putih.

Saya membersihkan kamar lagi, mengepel lantai yang sudah berdebu dan banyak rambut yang rontok. Setelah itu saya tiduran. Meski badan lelah tapi pikiran jalan terus. Saya coba ambil alih pikiran agar tidak terus berada dalam kecemasan.

Saya buka Youtube dan mencari instrumental yang memberikan vibes untuk relaks.

Tiba-tiba saya diingatkan pada pengalaman saya ketika bermain wahana di Kopeng Tree Top 17 Agustus 2017. Pengalaman tersebut pernah saya sharingkan di gereja dalam sesi #5minutes inspiration 21 April 2018 dan tulisannya saya unggah ke Facebook. Tulisan ini pernah saya bagikan kepada Itax ketika dia akan menjalani kemo yang pertama.

Saat ini posisi saya sama seperti waktu saya sedang tergantung pada tali itu, yaitu berserah. Tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubah keadaan. Ini porsinya Tuhan untuk berkarya.

Dan jam 6 kurang, saya merasa lapar. It is a good sign, artinya ada nafsu makan, karena hari-hari sebelumnya saya makan bukan karena lapar, tapi karena sudah dijadwal untuk minum obat. Sore itu ada kiriman Tuna Salad dari Eve. Cocok sudah makan malam hari ini. Dibuka dengan Tuna Salad, lanjut dengan Soto Mbak Lien, ditutup dengan menyeruput minuman Empon-empon. Kenyang amat sangat.

Malam itu saya membeli cairan NaCL dan spuit suntikan setelah banyak yang mengirim video tentang cuci hidung. Cukup menarik buat saya karena belum pernah melakukannya. Pertama Na CL dimasukkan ke dalam spuit suntikan hingga penuh. Lalu dalam keadaan mulut terbuka, semprotkan ke salah satu lubang hidung, maka cairan tersebut akan keluar di lubang hidung satunya.

Setelah makan malam, suami dan Mami bergiliran video call, meski saya tidak bisa banyak bicara. Mereka agak khawatir dengan hasil rontgen yang bertambah bercaknya. Namun di satu sisi ada yang disyukuri, setidaknya saya sudah tidak basah kuyup lagi oleh keringat dingin.

Hari ini saya sudah lebih settle dengan jadwal harian. Saya belum sampai bosan atau mati gaya selama isoman. Selalu ada yang bisa dikerjakan. Selalu ada yang menemani. Keluarga, teman-teman dan sahabat yang perduli.

Satu hari telah ku lewati. Terima kasih Tuhan untuk kesempatan yang Kau beri. Berharap esok akan lebih baik lagi.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney