Disclaimer:
Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.
Rabu, 16 Juni 2021 – Hari ke 5
Semalam saya terbangun, sekitar jam 2. Mungkin refleks, karena begitu saya bangun, saya langsung cek saturasi dan suhu tubuh. Saturasi bagus, suhu masih sama dengan hari sebelumnya. 38.7
Saya merasa tenggorokan sangat kering, setelah ke minum lalu ke toilet, tidak bisa tidur lagi. Badan pegal2 terutama bagian punggung – sepanjang tulang belakang (spine), karena saya tidur tengkurap. Jadi selama saya tidur, otak saya seperti alert takut posisi berubah, jadi tidurnya tidak bisa nyenyak. Saya stretching sebentar, tapi tidak bisa tidur lagi.
Mengucap syukur meski secara fisik sangat tidak nyaman, batuk semakin sering dan sekali batuk seperti rangkaian petasan diakhiri dengan suara ‘aaaaahhhh’ – entah kenapa saya selalu mengakhiri rangkaian batuk dengan suara itu. Mungkin mau melepaskan tension. Rasanya banyak riak di dada tapi tidak bisa keluar. Dan ketika batuk, semua otot di dada, punggung menjadi tense dan mengakibatkan bagian tersebut seperti njarem dan pegal. Saya paham benar kalau gejala yang saya ini adalah mekanisme pertahanan tubuh karena ada virus yang masuk menyerang tubuh saya.
Saya coba untuk tidur kembali, namun gagal. Akhirnya saya buka netflix dan mencari serian baru, karena drama sebelumnya, MINE, belum ada lanjutannya lagi. Saya bukan penggila drakor dan hanya baru-baru ini saja ikut-ikutan nonton. Untunglah serian “Move to Heaven” sudah selesai sebelum saya isoman wkwkwkkw… kalo nggak, kebayang ga sih nonton itu selama isoman. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari drama-drama yang kebanyakan menceritakan kisah nyata sehari-hari. Sesuai misi kemarin, saya harus happy, jadi saya tidak pilih drama yang menyeramkan, menyedihkan atau mencemaskan. Saya cari yang lucu-lucu, yang bisa menghibur dan meningkatkan hormon endorfin, dan akhirnya pilih “Birth of a Beauty” yang ternyata memang lucu…. Setelah dua episode saya tidur.
Alarm berbunyi dan waktunya breakfast untuk persiapan minum obat. Saya buka WA.
“Ci Pei, gimana kamu hari ini? Saturasi berapa?”
“Ci, udah bangun? Gimana hari ini?”
“Pei, kamu gimana? Apa yang kamu rasa?”
“Peila, are you okay?” – rupaya teman saya ini membaca status WA saya kemarin : “It is weird when dragon fruit, siomay and bolu tape taste the same.”
Beberapa merespon “Coba makan duren”
Lucu-lucu tanggapan teman-teman yang baca status WA saya ini.
Di salah satu group, setiap pagi ada yang absenin ala bu guru di kelas.
“Ci Pei, apa kabarnya?” tanya Itax.
“Morning. Masih hidup lagi makan roti yang rasanya hambar.”
“Penciuman juga ilang?”
“iya, ntar mau jemur di atas cb bau gak ya stl keringetan.”
Hari itu di group tersebut ada yang suspected covid karena suaminya tidak enak badan, dan mereka akan tes PCR. Memang sekarang ini kalau kita ada gejala batuk, pilek, pusing, demam, diare, pokoknya badan gak fit, kita tidak boleh denial dan harus curiga ‘mungkinkah ini Covid’? Karena kalau kita lengah, kita anggap hanya pilek biasa, atau masuk angin biasa, kita bisa kecolongan.
Pertama, orang di rumah bisa ketularan. Kedua, pengobatan jadi terlambat karena dalam case saya aja 2 hari ddimer sudah naik dan paru sudah ada bercak meski sedikit. Jadi jangan pikir nanti aja periksanya, atau liat besok deh gimana, atau liat perkembangannya.
First thing first kalau sudah ada gejala gak enak apapun itu, asam lambung, masuk angin atau sakit tenggorokan, apalagi batuk, pakai masker di rumah, isolasi diri, test antigen mandiri dulu lalu konfirmasi dengan PCR. Dalam kasus saya, hari pertama tidak enak, besoknya udah tambah ga enak, saya antigen sudah positif langsung.
Reception info bahwa ada titipan dari Pak Anthony, suami Lia – pemilik Hotel Pantes, dan sudah ditaruh di depan kamar. Thank you Lia.
Sewaktu saya makan, yang saya rasa hanya asin. Tidak hambar. Rupanya indra perasa saya jadi kacau. Di dalam mulut terasa seperti ada lapisan apa gitu yang membuat tastebud jadi ga karuan. Tapi syukurlah masih ada rasa asin yang bisa saya rasakan. Bubur habis.
Lanjut buka WA.
Pembicaran semua group masih seputar Covid. Mamanya si anu sesek, temen si anu isoman trus meninggal, temen si itu dirawat di RS trus balik rumah berapa hari lewat. Tetangganya kena covid, supirnya kena. Looks like orang-orang yang kena sudah semakin dekat.
Panik ga baca berita seperti ini? Saya akui, kadang cemas. Tapi katanya pikiran kita sangat mempengaruhi, jadi saya berusaha untuk think positive, semangat dan fokus sembuh, masih mau berjuang dan melawan si virus. Tapi jadi super alert, mencoba untuk merasakan apa yang terjadi pada tubuh ini.
Pagi ini saya mulai berjemur. Setelah berbulan-bulan saya melupakan pentingnya berjemur, karena berbagai alasan: tidak ada waktu, takut hitam, panas, flek dan yang pasti …. males nanti keringetan wkwkwk.
Kamar saya berada di lantai 3, dan di depan kamar ada tangga menuju ke rooftop. Dalam kondisi seperti ini saya sudah tidak perduli dengan yang namanya alis, rambut, bahkan karena saya lupa membawa sandal, akhirnya saya berjemur pake daster memakai sepatu olah raga… namun saya merasa confident karena saya memakai masker. Aman.
Pemandangan di rooftop ternyata sangat indah. Saya bisa melihat 5 gunung dari situ. Ada 2 orang yang juga sedang berjemur. Biasanya saya tipe orang yang selalu ingin menyapa. Tapi hari itu saya tidak melakukannya karena batuk yang belum kondusif dan sepertinya kedua orang itu pun sedang fokus latihan nafas. Lalu saya selfie dan mengirimkannya ke salah satu group WA. ‘My covid face’
Tidak lama setelah saya posting ini, seorang teman kirim di group foto BCL sedang berjemur…..
“Peila, jangan mau kalah. Isoman kaya gini.”
“Bawa kaca mata item ga ci?”
“Engga, aku bawanya kacamata baca …wkwkkwkwkw.”
Teman-teman di group lucu-lucu, menghibur semua. Isoman rasa staycation. Jadi, penting banget pilih siapa yang mau kita info untuk mendukung kesembuhan kita.
Gak lama dateng kiriman dari Vivi, segelondong kelapa wulung (kelapa ijo). Konon katanya bagus untuk yang demam. Saya sudah bilang sama Vivi, disini gak ada pisau, jadi mungkin langsung dibukain aja sama masnya nanti, masukkin plastik. Vivi sudah bilang sama masnya untuk ditaro plastik aja kelapanya, lah kok dateng masih gelondongan. Tapi ya gak salah juga, karena kelapanya itu memang ditaro di plastik wkwkwkwk. Gimana bukanya ya…. ga punya pisau bun….
Jeng Tinah WA – nanya apakah ada yang kamu butuhkan? Ah kebeneran…. dan saya dengan Jeng Tinah ini, sama-sama merantau di Semarang, Tinah anggap saya sebagai cici, saya anggap dia sebagai adik. Jadi waktu dia tanya butuh apa, saya tidak sungkan minta tolong dia kirimkan beberapa things yang saya butuhkan. Dan tidak lama kemudia datanglah kiriman dari Jeng Tinah, seperangkat alat perang: lotion – karena seharian di ruang ber-ac membuat kulit kering dan lotion yang saya bawa ternyata sudah hampir habis, cotton bud – karena saya memiliki kebiasaan buruk, harus bersihkan telinga tiap hari, pisau, conditioner dan sedotan. Dan Jeng Tinah mengirimakan hasil prakaryanya juga, pisang dan jeruk mandarin.
Perjuangan membuka kelapa pun dimulai. Ternyata tidak terlalu sulit karena kelapa wulung tidak sekeras kelapa muda yang biasa.
One of my friend, Sisca, merespon juga status WA saya kemarin.
“kamu kenapa ci, ga enak badan?”
“Covid Sis”
“hah? kamu positif? Tp ga parah kan? Di rmh isolasi mandiri? Aku kirimin km minyak kayu putih ya. Ditetesin di baksom air panas dihirup2 gt. Kl brani ya diminum. Ini mkp murni. Ga ada campuran. Bs jg di taro tissue dilinting2 masukin hidung dihirup sampe rasanya ke tenggorokan.Oles puser. Oles tenggorokan dll”
Minyak kayu putih pun tiba tak lama kemudian. Arigato Sisca.
Saya coba, ternyata memang saya hanya merasakan panasnya saja, tapi tidak dapat mencium baru minyak kayu putih tersebut.
Hari itu ada beberapa kiriman lagi. Pertama, paketan dari adik saya di Jakarta. Sebuah panci elektrik yang rencananya akan dipakai untuk terapi uap, manasin makanan dan bikin indomie (ssst.. yang ini jgn bilang-bilang ya). Dia juga mengirim roti Francis dan buah-buahan. Kiriman kedua dari Eve, Salmon teriyaki with rice, dan Young Living Oil. Lalu Meta kirim minuman sarang burung buatannya, Broth dan Young Living Oil. Yosi kirim parcel buah dan yoghurt. Ria yang berada di Singapore kirim Spikoe favorit saya.
Thank you teman-teman semua yang sudah sangat perhatian.
Sambil mengerjakan beberapa kerjaan kantor, saya dengarkan lagu-lagu rohani. Saya ingin waktu yang berharga ini saya pergunakan dengan baik untuk membangun diri saya, baik secara fisik, jiwa dan roh.
Siang saya video call dengan anak-anak untuk melihat bagaimana kondisi mereka. Intinya selama Wifi jalan terus, mereka akan baik-baik saja.
Seperti biasa, Mami selalu telepon saya untuk menanyakan kondisi. Namun malam itu kami tidak berbincang terlalu lama karena saya batuk terus. Lalu suami dan anak-anak video call juga. Mereka gantian mendoakan saya. Sebuah pengalaman yang tidak pernah kami bayangkan sebelumya. Terpisah oleh virus.
Sudah 3 hari di hotel sendiri. Saya kok mulai betah ya? wkwkwk…
Saya akui beberapa bulan terakhir saya lelah. Pandemi yang tak kunjung selesai mempengaruhi semua aspek dalam hidup kita. Bisnis, pendidikan anak, ibadah, social gathering, ekonomi…. dan mental. Mungkin sisi mental ini yang sering kita kesampingkan. Kita berusaha untuk bisa survive di kondisi ini, sibuk melakukan ini dan itu. Tapi kita tidak menyadari kalau secara mental mungkin kita lelah. Padahal kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Saya merasa ini waktu yang tepat untuk saya bisa fokus pada diri sendiri. Selama ini, mungkin bahkan sebelum pandemi, saya kurang perhatian pada diri sendiri. Meskipun banyak di rumah, tapi entah mengapa kerjaan tidak ada habisnya. Dari bangun tidur sampai larut malam rasanya full on. Baru selesai masak, beres-beres dapur, tau-tau sudah harus masak lagi dan repeat. Beberapa bulan terakhir saya kembali membantu suami di kantor. Awalnya saya senang karena merasa lebih waras. Setidaknya saya bisa bertemu juga dengan manusia lain dan berinteraksi. Tapi kondisi ini membuat saya semakin lelah karena sebelum berangkat saya harus masak, lalu pulang kantor saya masih harus mencuci baju, cuci piring, setrika, and so on. Saya rasa saya kecapekan sehingga ketika virus mampir dan kondisi saya sedang drop maka terjadilah penjajahan itu.
Hari ini, yang saya rasakan ketika sendirian adalah saya merasa ‘ter-connect’ kembali dengan diri saya. Tubuh, jiwa dan roh. All in one. This is just the beginning.
I look forward for the new me.
#23dayswithJesus
#mycovidjourney