Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 5)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Rabu, 16 Juni 2021 – Hari ke 5

Semalam saya terbangun, sekitar jam 2. Mungkin refleks, karena begitu saya bangun, saya langsung cek saturasi dan suhu tubuh. Saturasi bagus, suhu masih sama dengan hari sebelumnya. 38.7

Saya merasa tenggorokan sangat kering, setelah ke minum lalu ke toilet, tidak bisa tidur lagi. Badan pegal2 terutama bagian punggung – sepanjang tulang belakang (spine), karena saya tidur tengkurap. Jadi selama saya tidur, otak saya seperti alert takut posisi berubah, jadi tidurnya tidak bisa nyenyak. Saya stretching sebentar, tapi tidak bisa tidur lagi.

Mengucap syukur meski secara fisik sangat tidak nyaman, batuk semakin sering dan sekali batuk seperti rangkaian petasan diakhiri dengan suara ‘aaaaahhhh’ – entah kenapa saya selalu mengakhiri rangkaian batuk dengan suara itu. Mungkin mau melepaskan tension. Rasanya banyak riak di dada tapi tidak bisa keluar. Dan ketika batuk, semua otot di dada, punggung menjadi tense dan mengakibatkan bagian tersebut seperti njarem dan pegal. Saya paham benar kalau gejala yang saya ini adalah mekanisme pertahanan tubuh karena ada virus yang masuk menyerang tubuh saya.

Saya coba untuk tidur kembali, namun gagal. Akhirnya saya buka netflix dan mencari serian baru, karena drama sebelumnya, MINE, belum ada lanjutannya lagi. Saya bukan penggila drakor dan hanya baru-baru ini saja ikut-ikutan nonton. Untunglah serian “Move to Heaven” sudah selesai sebelum saya isoman wkwkwkkw… kalo nggak, kebayang ga sih nonton itu selama isoman. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari drama-drama yang kebanyakan menceritakan kisah nyata sehari-hari. Sesuai misi kemarin, saya harus happy, jadi saya tidak pilih drama yang menyeramkan, menyedihkan atau mencemaskan. Saya cari yang lucu-lucu, yang bisa menghibur dan meningkatkan hormon endorfin, dan akhirnya pilih “Birth of a Beauty” yang ternyata memang lucu…. Setelah dua episode saya tidur.

Alarm berbunyi dan waktunya breakfast untuk persiapan minum obat. Saya buka WA.

“Ci Pei, gimana kamu hari ini? Saturasi berapa?”

“Ci, udah bangun? Gimana hari ini?”

“Pei, kamu gimana? Apa yang kamu rasa?”

“Peila, are you okay?” – rupaya teman saya ini membaca status WA saya kemarin : “It is weird when dragon fruit, siomay and bolu tape taste the same.”

Beberapa merespon “Coba makan duren”

Lucu-lucu tanggapan teman-teman yang baca status WA saya ini.

Di salah satu group, setiap pagi ada yang absenin ala bu guru di kelas.

“Ci Pei, apa kabarnya?” tanya Itax.

“Morning. Masih hidup lagi makan roti yang rasanya hambar.”

“Penciuman juga ilang?”

“iya, ntar mau jemur di atas cb bau gak ya stl keringetan.”

Hari itu di group tersebut ada yang suspected covid karena suaminya tidak enak badan, dan mereka akan tes PCR. Memang sekarang ini kalau kita ada gejala batuk, pilek, pusing, demam, diare, pokoknya badan gak fit, kita tidak boleh denial dan harus curiga ‘mungkinkah ini Covid’? Karena kalau kita lengah, kita anggap hanya pilek biasa, atau masuk angin biasa, kita bisa kecolongan.

Pertama, orang di rumah bisa ketularan. Kedua, pengobatan jadi terlambat karena dalam case saya aja 2 hari ddimer sudah naik dan paru sudah ada bercak meski sedikit. Jadi jangan pikir nanti aja periksanya, atau liat besok deh gimana, atau liat perkembangannya.

First thing first kalau sudah ada gejala gak enak apapun itu, asam lambung, masuk angin atau sakit tenggorokan, apalagi batuk, pakai masker di rumah, isolasi diri, test antigen mandiri dulu lalu konfirmasi dengan PCR. Dalam kasus saya, hari pertama tidak enak, besoknya udah tambah ga enak, saya antigen sudah positif langsung.

Reception info bahwa ada titipan dari Pak Anthony, suami Lia – pemilik Hotel Pantes, dan sudah ditaruh di depan kamar. Thank you Lia.

Sewaktu saya makan, yang saya rasa hanya asin. Tidak hambar. Rupanya indra perasa saya jadi kacau. Di dalam mulut terasa seperti ada lapisan apa gitu yang membuat tastebud jadi ga karuan. Tapi syukurlah masih ada rasa asin yang bisa saya rasakan. Bubur habis.

Lanjut buka WA.

Pembicaran semua group masih seputar Covid. Mamanya si anu sesek, temen si anu isoman trus meninggal, temen si itu dirawat di RS trus balik rumah berapa hari lewat. Tetangganya kena covid, supirnya kena. Looks like orang-orang yang kena sudah semakin dekat.

Panik ga baca berita seperti ini? Saya akui, kadang cemas. Tapi katanya pikiran kita sangat mempengaruhi, jadi saya berusaha untuk think positive, semangat dan fokus sembuh, masih mau berjuang dan melawan si virus. Tapi jadi super alert, mencoba untuk merasakan apa yang terjadi pada tubuh ini.

Pagi ini saya mulai berjemur. Setelah berbulan-bulan saya melupakan pentingnya berjemur, karena berbagai alasan: tidak ada waktu, takut hitam, panas, flek dan yang pasti …. males nanti keringetan wkwkwk.

Kamar saya berada di lantai 3, dan di depan kamar ada tangga menuju ke rooftop. Dalam kondisi seperti ini saya sudah tidak perduli dengan yang namanya alis, rambut, bahkan karena saya lupa membawa sandal, akhirnya saya berjemur pake daster memakai sepatu olah raga… namun saya merasa confident karena saya memakai masker. Aman.

Pemandangan di rooftop ternyata sangat indah. Saya bisa melihat 5 gunung dari situ. Ada 2 orang yang juga sedang berjemur. Biasanya saya tipe orang yang selalu ingin menyapa. Tapi hari itu saya tidak melakukannya karena batuk yang belum kondusif dan sepertinya kedua orang itu pun sedang fokus latihan nafas. Lalu saya selfie dan mengirimkannya ke salah satu group WA. ‘My covid face’

Tidak lama setelah saya posting ini, seorang teman kirim di group foto BCL sedang berjemur…..

“Peila, jangan mau kalah. Isoman kaya gini.”

“Bawa kaca mata item ga ci?”

“Engga, aku bawanya kacamata baca …wkwkkwkwkw.”

Teman-teman di group lucu-lucu, menghibur semua. Isoman rasa staycation. Jadi, penting banget pilih siapa yang mau kita info untuk mendukung kesembuhan kita.

Gak lama dateng kiriman dari Vivi, segelondong kelapa wulung (kelapa ijo). Konon katanya bagus untuk yang demam. Saya sudah bilang sama Vivi, disini gak ada pisau, jadi mungkin langsung dibukain aja sama masnya nanti, masukkin plastik. Vivi sudah bilang sama masnya untuk ditaro plastik aja kelapanya, lah kok dateng masih gelondongan. Tapi ya gak salah juga, karena kelapanya itu memang ditaro di plastik wkwkwkwk. Gimana bukanya ya…. ga punya pisau bun….

Jeng Tinah WA – nanya apakah ada yang kamu butuhkan? Ah kebeneran…. dan saya dengan Jeng Tinah ini, sama-sama merantau di Semarang, Tinah anggap saya sebagai cici, saya anggap dia sebagai adik. Jadi waktu dia tanya butuh apa, saya tidak sungkan minta tolong dia kirimkan beberapa things yang saya butuhkan. Dan tidak lama kemudia datanglah kiriman dari Jeng Tinah, seperangkat alat perang: lotion – karena seharian di ruang ber-ac membuat kulit kering dan lotion yang saya bawa ternyata sudah hampir habis, cotton bud – karena saya memiliki kebiasaan buruk, harus bersihkan telinga tiap hari, pisau, conditioner dan sedotan. Dan Jeng Tinah mengirimakan hasil prakaryanya juga, pisang dan jeruk mandarin.

Perjuangan membuka kelapa pun dimulai. Ternyata tidak terlalu sulit karena kelapa wulung tidak sekeras kelapa muda yang biasa.

One of my friend, Sisca, merespon juga status WA saya kemarin.
“kamu kenapa ci, ga enak badan?”

“Covid Sis”

“hah? kamu positif? Tp ga parah kan? Di rmh isolasi mandiri? Aku kirimin km minyak kayu putih ya. Ditetesin di baksom air panas dihirup2 gt. Kl brani ya diminum. Ini mkp murni. Ga ada campuran. Bs jg di taro tissue dilinting2 masukin hidung dihirup sampe rasanya ke tenggorokan.Oles puser. Oles tenggorokan dll”

Minyak kayu putih pun tiba tak lama kemudian. Arigato Sisca.

Saya coba, ternyata memang saya hanya merasakan panasnya saja, tapi tidak dapat mencium baru minyak kayu putih tersebut.

Hari itu ada beberapa kiriman lagi. Pertama, paketan dari adik saya di Jakarta. Sebuah panci elektrik yang rencananya akan dipakai untuk terapi uap, manasin makanan dan bikin indomie (ssst.. yang ini jgn bilang-bilang ya). Dia juga mengirim roti Francis dan buah-buahan. Kiriman kedua dari Eve, Salmon teriyaki with rice, dan Young Living Oil. Lalu Meta kirim minuman sarang burung buatannya, Broth dan Young Living Oil. Yosi kirim parcel buah dan yoghurt. Ria yang berada di Singapore kirim Spikoe favorit saya.

Thank you teman-teman semua yang sudah sangat perhatian.

Sambil mengerjakan beberapa kerjaan kantor, saya dengarkan lagu-lagu rohani. Saya ingin waktu yang berharga ini saya pergunakan dengan baik untuk membangun diri saya, baik secara fisik, jiwa dan roh.

Siang saya video call dengan anak-anak untuk melihat bagaimana kondisi mereka. Intinya selama Wifi jalan terus, mereka akan baik-baik saja.

Seperti biasa, Mami selalu telepon saya untuk menanyakan kondisi. Namun malam itu kami tidak berbincang terlalu lama karena saya batuk terus. Lalu suami dan anak-anak video call juga. Mereka gantian mendoakan saya. Sebuah pengalaman yang tidak pernah kami bayangkan sebelumya. Terpisah oleh virus.

Sudah 3 hari di hotel sendiri. Saya kok mulai betah ya? wkwkwk…

Saya akui beberapa bulan terakhir saya lelah. Pandemi yang tak kunjung selesai mempengaruhi semua aspek dalam hidup kita. Bisnis, pendidikan anak, ibadah, social gathering, ekonomi…. dan mental. Mungkin sisi mental ini yang sering kita kesampingkan. Kita berusaha untuk bisa survive di kondisi ini, sibuk melakukan ini dan itu. Tapi kita tidak menyadari kalau secara mental mungkin kita lelah. Padahal kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Saya merasa ini waktu yang tepat untuk saya bisa fokus pada diri sendiri. Selama ini, mungkin bahkan sebelum pandemi, saya kurang perhatian pada diri sendiri. Meskipun banyak di rumah, tapi entah mengapa kerjaan tidak ada habisnya. Dari bangun tidur sampai larut malam rasanya full on. Baru selesai masak, beres-beres dapur, tau-tau sudah harus masak lagi dan repeat. Beberapa bulan terakhir saya kembali membantu suami di kantor. Awalnya saya senang karena merasa lebih waras. Setidaknya saya bisa bertemu juga dengan manusia lain dan berinteraksi. Tapi kondisi ini membuat saya semakin lelah karena sebelum berangkat saya harus masak, lalu pulang kantor saya masih harus mencuci baju, cuci piring, setrika, and so on. Saya rasa saya kecapekan sehingga ketika virus mampir dan kondisi saya sedang drop maka terjadilah penjajahan itu.

Hari ini, yang saya rasakan ketika sendirian adalah saya merasa ‘ter-connect’ kembali dengan diri saya. Tubuh, jiwa dan roh. All in one. This is just the beginning.

I look forward for the new me.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 4)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Selasa, 15 Juni 2021 – Hari ke 4

Semalam ketika saya chatting dengan Dr L dan adik saya yang di Jakarta, Diana, saya merasa lapar. Biasanya kalau lapar lewat jam 9 malam saya tahan. Tapi karena saya sedang berperang, akhirnya saya makan sebuah apel karena mulut mulai berasa tidak enak dan saya ingin yang segar-segar. Adik saya info berbagai tips untuk terapi covid dari berbagai sumber dan salah satunya adalah terapi uap, dimana kita harus membuka mulut kita di atas teko yang di dalamnya ada air mendidih. Tujuannya agar virus-virus yang di mulut bisa mati dan tidak mencapai saluran pernafasan. Sudah lama saya mendengar tentang terapi ini. Papi saya melakukannya setiap hari meskipun dia tidak sakit. Dia percaya dengan melakukannya secara konsisten akan mencegah virus yang akan masuk ke dalam saluran pernafasan. Meski saya skeptik akan efektifitasnya, tapi tidak ada salahnya saya coba. Masalahnya di kamar saya tidak ada teko listrik, jadi adik saya berinisiatif untuk mengirimkan panci electrik mini yang belum pernah dia pakai, yang bisa juga untuk menghangatkan soup atau merebus telur. (baca: masak indomie wkwkwkwk)

Pagi ini saya bangun dengan ucapan syukur karena masih hidup. Bener deh, kalau sudah sakit, setiap moment jadi berharga dan harus kita syukuri. Meskipun biasanya setiap bangun tidur saya selalu mengucap syukur, tapi kali ini ucapan syukur itu terasa lebih sungguh-sungguh. Ketika saya membuka mata dan saya melihat lampu kamar, saya tahu saya masih hidup di dunia. Setelah itu saya langsung mengambil oximeter dan thermometer yang selalu saya taruh di samping saya. Masih di 38.8, saturasi 98 dan detak 113.

Semalam sudah minum obat penurun panas karena demam tak kunjung turun. Namun pagi ini masih dengan suhu yang sama. Tapi saya tidak merasakan demam, sudah tidak begitu pusing, hanya keluar keringat dingin sesekali. Entah itu akibat dari efek penurun panas yang saya minum, biasanya kan gitu, kalau sudah keluar keringat, suhunya turun dan kita berkerigat.

Saya segera mencari 2 obat yang masih belum saya dapatkan yaitu pengencer darah Lixiana 15mg dan Prove Vit D3 5000iu. Saya coba kontak apotik dekat rumah saya. Dan puji Tuhan ada. Langsung saya pesan meskipun jaraknya dari apotik ke hotel sangat jauh dan biaya ongkirnya sendiri lumayan mahal, namun saya tidak ada pilihan lain karena beberapa apotik dekat sini yang saya WA juga kosong.

Saatnya menyusun strategi untuk menang dari peperangan ini. Saya susun daftar obat yang harus saya minum dalam sehari. Lalu saya buat jadwal di handphone dengan setting alarm untuk tiap obat. Dimulai dari bangun pagi jam 6.30, saya beri judul alarm tersebut “Rise & shine, eat healthy breakfast”. Ceritanya untuk memotivasi diri supaya semangat bahwa kita masih diberi kesempatan untuk hidup dan be healthy. Lalu saya setting alarm untuk masing-masing obat beserta jadwal breakfast, lunch and dinner supaya saya minum obat dengan teratur dan terjadwal. Jadi awal minum obat jam 7, dan berakhir jam 9 malam karena antibiotik pertama yang saya minum jam 9 malam dan saya sudah di warning agar meminumnya di waktu yang sama setiap hari.

Pagi itu saya ingin makan bubur Wa Apuy lagi. Selain dekat dengan hotel, sepertinya nafsu makan saya sudah agak menurun sehingga saya harus makan makanan yang saya sukai. Di benak saya, tidak ada kenikmatan lain selain makan bubur Cianjur Wa Apuy saat itu. Dan puji Tuhan, masih enak.

Setelah menyantap habis bubur tersebut, saya menyiapkan diri untuk mengkonsumsi obat antivirus yang harus diminum 8 tablet sekaligus. Saya bukan pecinta obat, meski saya tidak fit, biasanya saya akan mencari obat alami seperti lemon dan madu, empon-empon atau paling mentok pun Tolak Angin. Tapi kali ini, I have no choice.

Tidak lama, saya di WA sahabat saya yang sudah saya info sejak hari Minggu pas antigen saya positif. Dia menanyakan apa yang saya butuhkan dan dia mau mengirimkan beberapa makanan untuk saya. Jeng Tinah (bukan nama sebenarnya tapi saya memanggil dia dengan sebutan demikian – jangan tanya mengapa karena akan menjadi sebuah cerita panjang lagi hahahaha) ingin mengirimkan vitamin yang biasa dia minum dan merasa segar kalau dia minum itu. Saya bilang, tidak perlu karena vitamin yang diresepkan dokter sudah cukup banyak. Saya juga bukan seorang yang suka minum supplemen. Dalam pikiran saya, semua bahan yang diproses di laboratorium menjadi kapsul atau tablet atau liquid sekalipun, perlu diurai di dalam tubuh dan akan memperberat kerja ginjal. Jadi saya hanya meminum vitamin tertentu yang saya kira saya butuhkan.

Tibalah kiriman jeng Tinah sangat secure, diikat cable ties yang sangat tebal alias heavy duty dan saya baru menyadari kalau saya tidak punya gunting atau cutter yang mumpuni. Saya coba ingat-ingat.. apakah di perlengkapan emak-emak saya ada benda tajam yang bisa saya pakai untuk membuka cable ties ini. (cari akal ala MacGyver – kalo gak tau ini siapa artinya kita gak seangkatan ya wkwkwk). Dua benda tajam yang saya bawa ternyata pisau cukur alis dan gunting kuku. Dua-duanya gagal dalam misi.

Saya tidak mau pinjam sama pihak hotel karena apa yang sudah masuk kamar saya akan terkontaminasi dan saya akan butuh gunting tersebut untuk kiriman atau pesanan gojek saya selanjutnya. Akhirnya saya bilang sama Jeng Tinah bahwa saya tidak bisa membuka kirimannya karena tidak ada gunting dan tidak lama datanglah kembali kiriman kedua yang berisi cool box yang berisi es batu, cutter dan gunting. Jeng Tinah memang gercep dalam memberi dan menolong.

Beberapa teman di group sudah menyapa…

“Ci Pei apa kabar?”

“masih hidup”

Cek WA di beberapa group semua obrolan tidak jauh dari seputar covid. Si anu kena satu keluarga, si anu butuh plasma, si anu di ICU. Brrrrrrr berita-berita gini bikin hati ciut. Belum lagi tanggapan2 teman2 di group ketika ada kabar si anu kena covid. Yang satu akan bilang… “Kok bisa ya?”

“he? kena dari mana toh kok isa?”
“mungkin ga pake masker atau maskernya ga bener.”

Pagi itu Tania si juragan buah WA, dia infokan bahwa teman kita juga ada yang positif dan akan segera bergabung isoman dengan saya.

“Km mau buah apa ci ta kupasin sisan ta kirimin”

“Katane buah naga bagus Tan, punya ga?”

“Paling itu sama pisang aja. Disini ga ada kulkas jadi ga bisa store. Harus masuk perut langsung.”
Dan tidak lama kemudian, buah naga dan pisang sudah sampai.

Saya menyiapkan hati untuk memberi tahu kalau saya positif ke group satunya yang saya anggap sahabat-sahabat dekat saya. Saya ingin stigma tentang orang kena covid ini bukanlah aib, dan tidak perlu ditutup-tutupi, tapi tidak perlu juga untuk diumumkan ke semua orang. Yang kita perlukan adalah dukungan doa dari orang-orang terdekat kita.

“Morning Ladies.. Mau sampaikan berita kalo aku sekarang lagi isoman hari ke 2 karena positif. Sudah antigen dan pcr jg sama2 positif hasilnya. Mohon doanya ya. Tlg ga usah tanya dpt dr mana krn aku sendiri ga tau. Alvin, mami dan anak2 sdh dites semua mereka baik2 negative semua. Kondisiku baik2. Saturasi aku cek tiap jam. I guess the circle is getting smaller and smaller. Hope everyone are well.”

Ah akhirnya lega sudah memberi tahu family dan sahabat2. Kecuali Papih saya. Alasannya karena saya tidak ingin membuat dia down. Akhir-akhir ini dia banyak kehilangan sahabatnya karena covid sehingga dia sudah cukup stress. Saya tidak ingin dia tambah stress dan akhirnya kepikiran, imun turun – dan ini akan menjadi snowball. Papi stress, saya ikut stress juga. Saya teringat waktu anak saya usia 3 tahun, harus diopname. Papih langsung berangkat dari Bandung ke Semarang. Sebegitu concernnya dia. Meskipun saya tau ini tidak mungkin terjadi pada masa ini, tapi saya sangat khawatir kalau Papih tau saya terkena covid. Jadi untuk saat ini saya bilang ke adik-adik saya untuk tidak memberi tahu Papih.

Siang saya hanya makan buah naga yang dikirim Tania. Baru makan beberapa potong saya merasakan ada yang aneh. Saya WA Tania.

“ini buah naga harusnya manis kah.Krn skg aku nyoba udh ga ada rasane cenderung asem. Aku ga tau apa ini yg namanya hilang indra perasa 🤣?”

“Iyes. Ga berasa? Hahahaha ya paling 3 hr ilange kan ci”

“tadi makan bubur masih keroso 😀”

“it tasted weird tapi habis anyway”

Saya penasaran. Saya coba 1 siomay yang tadi dikirim Jeng Tinah. Oh no…. rasanya sama dengan buah naga tadi. Aneh.

Masih penasaran, saya coba 1 proll tape yang barusan dikirim Ci Nany. Rasanya sama anehnya dengan buah naga dan siomay. Hanya teksturnya yang berbeda. Rasanya sama. Aneh, tidak bisa di deskripsikan rasa apa. Fix, hari ke 4 dari gejala awal, aku kehilangan indra perasa.

Siang itu kondisi saya tidak sesegar kemarin. Kalau kemarin setelah rambut di blow saya terlihat segar, hari ini memang terlihat lebih lemas. Demam masih awet, meski saya minum obat penurun panas secara teratur. Basically seharian itu hampir tiap jam saya harus minum obat.

Saya sedikit kewalahan dengan kiriman hari ini. Ada siomay dari Jeng Tinah, ada roti dan proll tape dari Ci Nany, sekarang ada Chateraise dari Jeng Vivi, oleh2 dari Sby. Karena di kamar tidak ada kulkas, pilihannya adalah masuk perut atau throw kalau kelamaan tidak dimakan. Dan saya adalah tipe penyayang. Tidak boleh ada makanan yang dibuang …..

Akhirnya saya membuat pengumuman di group.

“Jgn repot2 teman2 kl mau ngirim janjian dl takut numpuk eman2 gak dmkn nanti. Hari ini tastebud ku slowly gone. All the food taste the same to me.”

Saya rebahan, pikiran saya sudah saya switch ke ‘survival mode’. Saya tidak memikirkan apapun selain fokus pada kesembuhan diri sendiri. Dan saya sangat ‘looking forward’ untuk menemukan diri saya dalam masa isoman ini. Setiap kali saya sakit, saya selalu berpikir bahwa mungkin memang badan saya perlu istirahat. Saya berusaha mengingat-ingat kegiatan yang saya lakukan selama beberapa hari sebelum gejala pertama. Just in case ada orang yang saya kontak namun belum saya info kalau saya positif.

Siang itu saya coba mengisi dengan mendengarkan beberapa kotbah. Moment yang biasanya hanya dapat dilakukan ketika saya masak pagi hari di dapur. Kali ini saya bisa mendengarkan sambil rebahan, dan tak lama saya tertidur mungkin akibat obat yang saya konsumsi. Saya merasa frekuensi saya ke toilet lebih sering dibanding biasanya ketika saya sehat. Entah itu termasuk gejala yang saya alami, atau bisa juga karena efek obat yang saya konsumsi.

Sore hari suami saya ada di dekat hotel sedang mengerjakan proyek dekat situ. Dia menyempatkan diri untuk survey ke apartement dengan kamar yang lebih luas, ada kulkas dan mini kitchen serta kamar mandi yang lebih luas. Saya bilang ga usah karena kalau tidak resmi isoman, barang belum tentu bisa diantar sperti di hotel ini.

Saya titip suami untuk bawakan paper towel untuk lap piring, tissue basah, speaker kecil – mau party wkwkwk. Mungkin kalau pria akan lebih simple, peralatan isoman gak harus sebanyak ini. Tapi saya sungguh-sungguh ingin menikmati my ‘me time’ disini dan saya harus nyaman.

Sesampainya di rumah, suami kirim foto ini …. ada kiriman Pizza 1M dari adikmu, Diana. Jauh-jauh masih inget keponakan.

Sore menjelang malam, ada kiriman lagi roti yang baru matang… dari seorang cici yang suka baking. Thank you ci Swanny. Saya tidak tahu akan bisa menghabiskan semua kiriman-kiriman ini….. we’ll see.

Untuk dinner saya pesan nasi tim di tempat yang biasa saya pesan. Namun betapa kagetnya ketika rasanya sangat tidak enak, dan malam itu saya sangat tidak nafsu makan, tapi saya ingat pesan teman saya,”harus dipaksa ci. walaupun ga enak, kamu harus makan.”

Oke baiklah, akan saya usahakan. Satu sendok… saya kunyah… telan…. sendok kedua… kunyah sambil berusaha mengidentifikasi rasa apa ini…. telan… Sendok ketiga… sepertinya ini yang terakhir ya, sudah tidak ada rasa sama sekali dan saya tidak terlalu lapar, tapi perut harus diisi karena mau minum antibiotik.

Akhirnya makan malam berakhir di suapan ketiga. That’s it. Ga bisa masuk lagi….

Saya ingatkan pada suami untuk menyiapkan 1 tabung oksigen yang terisi penuh untuk jaga-jaga. Di rumah kami sudah ada 3 tabung bekas papi mertua dulu. Tinggal diisi ulang dan beli selang yang baru. Saya juga sampaikan berita kalau tiket kami yang sudah di booking jauh-jauh hari sebelum pandemi kemungkinan besar sudah tidak bisa dipakai karena pihak Garuda tidak akan melanjutkan penerbangan ke Australia. One bad news after another.

Saya belum bisa tidur karena posisi tidur disarankan agar tengkurap atau miring. Dan dengan posisi ini sangat sulit untuk bisa tidur dengan nyenyak. Yang ada badan sakit semua.

Saya mencoba untuk relaks, cek saturasi, cek suhu, lalu berdoa menitipkan semua yang biasanya saya pikirkan kepada Tuhan. Anak-anak yang saat ini saya tidak bisa urus, tidak bisa sediakan makanan, tidak bisa jagai, saya serahkan pada Tuhan. Saya percaya dan yakin mereka akan baik-baik saja.

Malam itu Mami video call dari Australia. Meski disana susah malam, mami menyempatkan untuk mengecek keadaan saya. Malam itu saya sudah mulai batuk agak sering, sehingga ketika saya bicara, akan batuk… tp saya pastikan kalau saya akan baik-baik saja. Ini baru tahap awal, nanti akan membaik.

Setelah itu saya lanjut nonton drakor deh….dan akhirnya saya terlelap. Hari ini dilalui dengan baik. Meski batuk mulai mengganggu, indra perasa sudah hilang, dan nafsu makan berkurang, saya bersyukur akan penyertaan dan kemurahan Tuhan dengan banyaknya teman yang perduli dan mendoakan.

#23dayswithJesus

#mycovidjourney

Dua Garis Merah- “My Covid Journey” – (Part 3)


Senin, 14 Juni 2021 – hari ke 3

Pagi itu saya bangun lebih pagi dari biasanya, hal yang pertama yang ada di benak saya adalah berkata dalam hati ‘thank you God for giving me another day to live in this world’. Lalu refleks saya mengambil thermometer cek suhu yang masih stabil di 38.8C dan oximeter dengan saturasi di 99 detak jantung 105.

Saya langsung WA Lia, pemilik Hotel Pantes untuk memastikan prosedur masuk hotelnya. Lia membagikan beberapa pengalaman temannya yang pernah kena dan sembuh dalam waktu yang cepat. Lia sangat supportive sekali. Intinya kalau kita makan teratur, maka kita tidak akan sampai drop. Lia juga menginfokan bahwa kamar-kamar di hotelnya di ozon bersertifikat setelah tamu cek out. Ayem dengernya.

Tidak lama setelah itu, saya dihubungi oleh admin Hotel Pantes untuk konfirmasi booking. Saya book untuk 5 hari dulu, dengan pertimbangan lihat kondisi semoga tidak memburuk nanti saya perpanjang, tapi amit-amit kalau sampai memburuk maka saya harus ke rumah sakit. Soal kamar sudah beres.

Sambil makan kwecang (lagi, karena adanya itu wkwkwk), saya berpikir kira2 siapa saja yang harus saya kontak kalau hasil PCR nanti positif. Berusaha mengingat-ingat tempat dan orang yang saya temui dan kontak dalam jarak dekat. Lalu merencanakan apa yang harus dilakukan ke depannya. Misalnya fogging kantor, swab antigen karyawan, siapa yang akan melakukan antigen, cek antigen kit.

Saya minta suami untuk menyiapkan mobil agar nanti saya tidak banyak menyentuh pintu atau barang di rumah. Sebelumnya suami tanya apakah saya sanggup nyetir ke rumah sakit dalam keadaan demam tinggi. Saya bilang… emang kalo gak nyetir sendiri opsinya apa?

“Naik grab aja.”

“Kasian bapaknya nanti ketularan.”

Saya juga minta dia siapkan sarung tangan dan taruh di depan kamar. Intinya, jangan ada kontak dengan saya sebisa mungkin.

Lalu saya bersiap untuk pergi ke RS. Saya dengarkan dulu sampai di luar kamar sudah aman, cek CCTV apakah mobil suami dan mami mertua sudah berangkat, cek channel ruang tamu apakah ada anak-anak disitu. Setelah semua aman, saya memakai kaos kaki dulu sebelum keluar supaya tidak ada jejak kaki menempel dan memakai sarung tangan. Lalu saya mulai membawa koper dan ransel keluar kamar, saya tata di teras, lalu mengambil tas berisi laptop dan beberapa berkas dari kantor yang rencananya akan saya kerjakan di hotel nanti. Setelah terkumpul semua barang yang akan saya bawa, lalu saya ambil sepatu di lemari. Pas saya mau menuju keluar, tiba-tiba Nielsen, si bungsu keluar kamar, dan otomatis saya berteriak “Nielsen jangan dekat-dekat… sana masuk kamar… “.

Nielsen kaget dan dia bertanya,”Mama mau kemana? Ke rumah sakit?”

“NIelsen jangan dekat-dekat ya, sana mundur lagi, mama mau ke rumah sakit terus mama gak pulang rumah, nanti mama langsung ke hotel.”

“Mama mau nginep di hotel? Hotel apa? enak men… Mama ga usah ke hotel, mama di kamar aja, nanti Nielsen bikinin box untuk kirim mama makanan, jadi nanti box nya diputer untuk mama pegang, trus yang satunya buat Nielsen taro makanan disitu.”

Such a sweet boy… Lalu Nielsen saya suruh segera masuk dan setelah dia masuk, saya semprot semua dengan disinfectan ruangan dan saya bilang agar Nielsen tidak keluar dulu kira-kira setengah jam.

Lalu saya menggendong ransel yang isinya pernak-pernik emak2 itu, dan menggeret koper ke mobil. Lumayan butuh perjuangan karena kepala pusing dan masih demam. Lalu saya kembali mengambil tas laptop dan container yang berisi peralatan makan yang sudah disiapkan suami.

Setelah di mobil, saya berhenti sejenak, berdoa, menghela nafas karena capek habis angkat-angkat barang naik turun tangga. Badan berkeringat dingin. Untunglah saya sudah menyiapkan handuk kecil ala abang becak. Tissue sudah tidak mempan soalnya. Puji Tuhan tidak ada kendala menyetir sampai di rumah sakit kira-kira jam 9. Parkiran penuh, baru dapat yang kosong di lantai 5, sedangkan pintu masuk di lantai 1. Turun tangga tidak masalah. Untuk pulangnya nanti naik lift saja.

Lucu juga perasaan menjadi orang yang positif covid. Begitu liat orang, malah saya yang menjauh/menghindar dan dalam hati saya berkata “awas, saya covid nih mas… minggir, … mbak jangan dekat2 saya… saya positif lho…”

Sesampainya di lantai 1, saya sedikit deg-degan karena akan dicek suhu oleh satpam. Saya pikir bagaimana kalau nanti ketahuan suhunya tinggi, bolehkah saya masuk?

Ternyata pas di cek, suhunya 36 – entah memang saya sudah tidak demam atau thermometernya yang tidak akurat. Ya sudah saya langsung menuju tempat PCR.

Antrian PCR di RS pagi itu sungguh luar biasa. Melihat orang banyak biasanya saya parno, tapi pagi itu saya tidak takut wkwkwkkwkw…. Sambil menunggu dipanggil, saya membaca beberapa berita di WA. Hari itu ada berita duka disebarkan, meski saya tidak kenal, tapi cukup membuat ‘mak deg’ karena pria yang meninggal itu terkena covid dan meninggal dalam keadaan sesak nafas dan tidak mendapat oksigen.

Ini pertama kali saya menjalani tes PCR. Saya lihat ada sebuah booth dimana petugas swab nya berada di dalam booth tersebut dengan sarung tangan orange menjulur ke luar dan dua orang suster bertugas di luar booth untuk membantu mengganti sarung tangan disposable petugas swab tersebut dan mengganti sarung tangan susternya sendiri setiap kali berganti pasien.

Semua suster menggunakan baju pelindung, tutup kepala, faceshield, sarung tangan. Saya membayangkan betapa tidak nyaman dan panasnya mengenakan baju berlapis-lapis seperti itu. Saya memilih untuk duduk di luar dan agak pojok. Setiap kali ada yang batuk, orang-orang di sekitar saya akan menengok pada orang yang batuk tersebut, tapi saya tidak ikut menengok wkwkwkw…. who cares?

Saya memperhatikan setiap orang yang di swab. Ada yang hanya di colok hidungnya saja seperti tes antigen mandiri, ada juga yang dengan swab tenggorokan. Dan reaksi orang berbeda-beda. Ada yang biasa saja, seolah-olah sudah berkali-kali menjalani tes PCR, ada yang kesakitan hingga mengeluarkan air mata dan bahkan seperti mau muntah.

Saya termasuk orang yang tahan sakit. Bagi saya, tidak ada kesakitan yang melebihi kesakitan waktu melahirkan kedua anak saya. Jadi kalau soal suntik, ambil darah, infus, coblos…. saya tidak takut.

Sambil menunggu giliran tiba, saya chat dengan teman saya, Evi, yang baru kena juga beberapa minggu yang lalu dan masih recovering meski sudah kembali ke rumah. Dia salah satu orang pertama yang saya hubungi ketika gejala awal timbul. Saya tanyakan beberapa obat yang konon katanya dipakai untuk mengobati covid di China, apakah perlu minum itu?

“di kasusku udah gak konjat ci (sudah tidak mempan), Kamu harus banyak minum air anget ya ci, kalau saturasi sudah di angka 95 langsung ke RS ya ci. Kamu bawa inhaler juga buat mancing penciuman.”

Entah kenapa saya bisa tiba-tiba chat dengan dia beberapa minggu yang lalu sewaktu berita tentang kota Kudus sedang ada outbreak. Ah ternyata bukan kebetulan. Saya langsung teringat dia ketika saya mengalami gejala. Dan dia orang yang tepat yang bisa saya tanya-tanya karena dia sudah melewatinya. It must be God.

Evi mengalami sesak nafas di hari ke 5 dan untungnya dia sudah diopname waktu itu.

Saya memberi tahu teman-teman di WA group yang hanya berisi 7 orang mami2, yang saya tahu akan mendukung dan mendoakan saya. Tanggapan mereka sangat supportive.

Itax, seorang sahabat yang sedang berjuang melawan kanker merespon,”Semoga gapapa ya ci, Tuhan besertamu selalu. Kamu mau makan apa ci? Kamu harus makan banyak biar cepet negative.”

“Kamu udah vaksin ci?”
“Belom, aku malah seneng isa dapet kekebalan alami.” – menghibur diri, positive thinking maksudnya.

Akhirnya giliran saya tiba, 11.40am. Suster meminta saya untuk menyebutkan nama lengkap dan tanggal lahir. Lalu saya dipersilahkan duduk berhadapan dengan petugas di dalam booth. Pertama, colok hidung. Gak sakit. berarti dia melakukannya dengan benar, karena sewaktu saya melakukannya sendiri, it was a challenge. Lalu saya disuruh membuka mulut layaknya kalau dokter mau periksa tenggorokan kita, dan berkata “aaaaaaa’. Petugas menekan lidah saya dengan stick kayu disposable dan mengambil specimen dari tenggorokan saya. Tidak sakit, tidak berasa apa-apa. PCR done.

Saya menuju ke radiologi untuk rontgen. Suster bertanya ada gejala apa, saya bilang demam, pusing dan saya disarankan untuk rontgen oleh Dr. X . Setelah administrasi selesai, saya diminta untuk menunggu.

TIdak seperti tempat PCR tadi, radiologi cenderung sepi. Hanya ada 2 orang di ruang tunggu. Saya memilih untuk duduk di kursi yang paling jauh. Ingat ‘duty of care’.

Petugas rontgen memanggil saya.

“Ibu tolong sebutkan nama lengkap dan tanggal lahir. Sudah pernah foto thorax sebelumnya?”

“Em udah pak, tapi dah lama, setahun lalu waktu medical cek up disini.”

“Baik, ibu ke kamar ganti, nanti bajunya dilepas, maaf BH nya juga, lalu ganti pake baju yang sudah disediakan di lemari. Kalung mohon dilepas kalau pakai, setelah itu ibu boleh ke sini nanti.”

Setelah saya ganti baju, petugas mengarahkan agar saya menempelkan bagian dada di mesin xray dan memberi aba-aba untuk menarik nafas panjang, tahan, lalu nafas biasa. Dan itu dilakukan hanya dalam waktu beberapa detik saja.

Rontgen done. Lanjut ke laboratorium.

Perjalanan dari radiologi ke laboratorium saya melewati beberapa ruang tunggu yang sudah mulai ramai. Dalam hati saya menerka-nerka berapa orang di antara mereka yang positif covid dan berapa orang yang masih gejala dan berapa orang yang sakit karena penyakit lain.

Laboratorium tidak terlalu ramai, tapi karena pengurusan administrasi dijadikan satu dengan pasien yang hendak bertemu dokter spesialis, maka antriannya lama. Saya disitu kira-kira 45menit hingga dipanggil untuk pembayaran tindakan yang nominalnya lumayan juga.

Saya bertemu dengan seorang teman yang sama-sama sedang bayar.

“kamu sakit apa?”

Lalu dia menunjukkan tanda plus dengan jarinya dan kita berdua ketawa….

“Aku juga nih.”

Lucu juga ketika kita bertemu dengan orang yang ‘senasib’ rasanya kita tidak sendiri. Apalagi dia bersama 4 temannya yang diperkirakan sama-sama positif karena beberapa hari sebelumnya mereka makan bersama. Kebetulan juga kalau mereka sama-sama isoman di Hotel Pantes.

GIliran saya dipanggil untuk diambil darah. Dokter X yang adalah ipar dari teman dokter saya menyarankan agar saya periksa:

  • Full blood count
  • CRP
  • LED
  • Ddimer

Suster menanyakan kembali nama lengkap dan tanggal lahir. Lalu saya dipersilahkan untuk duduk dengan nyaman dan mulai mengepal lengan saya. Suster mulai mencari pembuluh darah di lengan kiri. Dia tepuk2, tekan-tekan, tapi belum ketemu pembuluh darahnya.

“Maaf ibu, saya coba lengan satunya ya.”

Setelah dilakukan hal yang sama, hasilnya nihil. Saya berpikir… apakah lemak saya terlalu tebal sehingga pembuluh darah tidak tampak di permukaan? Lalu suster pindah lagi ke lengan satunya, tapi kali ini dia coba cari di punggung telapak tangan.

“Maaf ibu, kalau saya ambil disini tidak apa-apa ya? Agak kecil jadi agak sedikit sakit”

“Tidak apa-apa suster, buat saya, kesakitan terbesar adalah ketika saya melahirkan anak-anak saya”

Lalu suster itu tersenyum dan dia mulai menancapkan jarum kecil di punggung telapak tangan saya.

“Tarik nafas panjang bu, sedikit sakit ya. Ya boleh dilepas kepalannya.”

Darah mengalir dengan lancar, 4 tabung sudah diambil. Cek darah done.

Akhirnya selesai juga. Saya sudah ingin rebahan rasanya. Saya lupa kalau saya masih demam dan …. wait… kok udah gak pusing ya. Tapi saya lapar. Ternyata memang sudah siang. hampir jam 1.

Saya perlu membeli beberapa items, karena di rumah tidak ada. Saya memakai sarung tangan, lalu menuju ke supermarket di lantai dasar. Sebelum masuk, saya dicek suhu oleh satpam disitu, 36.4 C . Thank God sudah turun pikir saya.

1.15pm suami WA menunjukkan hasil PCR yang tadi dilakukan secara drive through di Wonderia. Hasilnya NEGATIF. Fiuh, thank God for that.

Saya beli 4 buah apel yang kaya akan serat, 4 buah kiwi yang kaya akan vitamin C, saya cari buah pisang yang kaya akan kalium tapi kosong, sabun mandi antibacterial, sabun cuci tangan antibacterial, mouthwash dan air minum yang 1.5L. Setelah saya membawa ke kasir, saya sedikit menyesal karena ternyata belanjaan saya itu berat dan saya baru teringat kalau parkirnya di lt 5. Lift menuju parkiran pun sedang ditutup aksesnya.

Saya menyemangati diri sendiri…’it’s okay Peila, you can do it. Pelan-pelan aja, ga usah buru-buru, atur nafas dulu.’ Dan setiap kali saya berpapasan dengan orang lain, saya melipir ke kiri…. dan apabila ada orang di depan saya, saya melambat agar jarak tetap aman. Duty of care.

Akhirnya saya sampai ke mobil. Cukup ngos-ngosan. Fiuh…. akhirnya selesai juga serangkaian kegiatan hari ini. PCR. Rontgen dan cek lab plus belanja. All done. Tinggal cek in. Waktu menunjukkan pukul 1.44PM.

Saya WA admin Hotel Pantes untuk menginformasikan bahwa saya sudah on the way ke hotel yang jaraknya sangat dekat dari rumah sakit.

“Nanti turunin barangnya gimana ya?”

“Nanti bisa dibantu house keepingnya ya bu. Ibu bisa tunggu dulu di mobil. Setelah semua barang dimasukkan ke kamar ibu, baru ibu naik lift ke lantai 3. kamar 303” – namun WA ini baru saya baca setelah saya di kamar wkwkwk..

Tapi tadi sesampainya di Pantes tadi, reception sudah siap dan housekeeping membantu saya membawakan barang-barang ke kamar. Mereka berdua menggunakan masker, sarung tangan dan tidak terlihat takut bertemu saya. Sangat profesional dan saya merasa nyaman.

Saya sudah tidak sabar ingin mandi, makan dan rebahan. Badan rasanya ingin tiduran. Meski sudah positif, kebersihan harus tetap terjaga. Mandi dan keramas is a must, apalagi baru dari rumah sakit.

Kamar yang saya tempati luasnya cukup untuk saya sendiri. Begitu masuk, sebelah kanan ada rak untuk menyimpan koper, lalu ada meja dengan kaca, ada nakas dan ranjang dengan ukuran double. Pihak hotel telah menyediakan 10 botol air mineral di kamar serta 2 set catering yang saya pesan. Karena saya seorang blogger, dan saya tahu bahwa pengalaman ini akan saya bagikan, meskipun sudah capek, saya videokan dulu situasi di kamar untuk dokumentasi.

Setelah itu saya bergegas mandi. Badan mau remuk rasanya. Tapi lega karena apa yang harus dilakukan sudah selesai tinggal menunggu hasil.

Hingga saat itu, belum banyak teman dan family yang saya beri tahu. Memang tidak perlu semua diberi tahu, karena respon orang akan berbeda-beda dan kita harus ingat bahwa saat ini kita sedang berjuang untuk melawan virus ini dan fokus untuk sembuh. Hanya beberapa orang yang sudah tau saya positif dan mereka sangat berempati dan memberikan perhatian.

Setelah mandi, saya minum obat pelapis lambung dulu sebelum makan, dan harus menunggu 30 menit baru boleh makan. Lalu saya memasang sprei dan sarung bantal yang saya bawa sendiri dari rumah dan akhirnya bisa rebahan enak. Saya keringkan rambut dan memastikan wajah saya segar karena saya akan video call dengan adik2 dan mami saya. Saya tidak ingin mereka khawatir. I have to look good and not miserable.

Mami kaget tentunya, tapi saya pastikan saya akan baik-baik saja dan mohon mami bantu doa. Saya sampaikan berita ini sambil tertawa-tawa dan ceria. Memang obatnya hati yang gembira.

Selanjutnya saya video call dengan anak-anak. Mereka sedikit concern karena mamanya kena covid. Tapi mereka gak rela mama nginep hotel, dikira nginep di Hotel Tentrem wkwkwkwkw.

Lalu saya kirim foto ini ke suami. Ini pemandangan yang akan saya nikmati selama at least 5 hari ke depan disini.

Akhirnya saya bisa makan – very late lunch. Saya menikmati makanan dengan menu sepotong ayam goreng, bakwan jagung dan oseng pare. Semua masih berasa normal rasanya. Dalam sekejap sudah habis. Rupanya saya kelaparan amat sangat wkwkwk.

Tidak lama ada kiriman dari Tante Ichsan. Guess what… beliau mengirim jeruk, pisang, wedang kacang tanah, wedang ronde dan sebotol Eco Enzyme. Pisang yang tadi saya cari di supermarket kosong akhirnya dikirim Tante tanpa saya minta. It must be God.

Hasil Thorax akhirnya saya terima melalui email. Saya kirimkan hasilnya ke teman dokter saya. Kelihatannya hasilnya baik, hanya ada sedikit bercak di paru.

“parunya ada bercak sedikit tapi”

“nah itu gimana, perlu dikhawatirkan atau akan sembuh dengan konsumsi obat?”

“Dievaluasi aja ci. Biasa kalau covid nanti akan membaik sendiri kalau sembuh. Selama tidak sesak dan saturasi oksigen masih baik.”

“jadi patokannya saturasi oksigen ya?”

“betul, sama gejala juga.”

“Biasa membaik sendiri nanti tapi inflittatnya ndak berat sih… harusnya cici ndak sesak dan saturasi masih baik.”

Lalu saya tidur sejenak, mungkin karena obat atau memang saya sudah lelah. Begitu bangun, saya makan lagi karena jam 9 harus minum antibiotik. Namun berbeda dengan tadi siang, kali ini saya merasa makanan saya asin sekali sehingga saya tidak dapat menghabiskannya.

Saya cek saturasi di angka 99, detak jantung 105, memang saya merasa jantung saya berdebar-debar saat itu. Suhu masih di 38.8.

Saya cek WA dan email ternyata sudah ada hasil PCR dan hasil laborat.

Pertama, saya kirim hasil PCR ke Evi. Saya kurang paham soal CT value waktu itu. Saya hanya tau kalau rendah nilainya artinya lebih banyak virusnya, tapi serendah apa saya belum pernah paham. Yang saya tau, untuk dinyatakan negatif, CT value harus mencapai 40.

Ah untung saya sudah keluar rumah. Bisa lebih bebas untuk batuk2, tidak usah pake masker dan bisa lebih relax.

Lalu saya kirimkan pada teman dokter saya.

“Ddimernya tinggi ci, sama CT value nya rendah (risiko msh menularin tinggi). CRP tinggi memang tanda infeksi. Ddimer tinggi ada kekentalan darah, butuh pengencer darah ci.”

“Berarti continue minum obat yang kemarin dibeli dan pantau saturasi?”

“Betul, lanjut terus obatnya, evaluasi gejala dan saturasi ya ci.”

“oke.”

“Ci Pei, obate disaranke ada ganti bbrp. Krn ct valuene kerendahan kt iparku. Ddimer tinggi, CRP tinggi, CT rendah. Kurang nampol dosisnya. “

Lalu teman dokter memberikan nomer WA iparnya dan saya akan langsung berhubungan dengan iparnya, sebut saja Dr L. Beliau meresepkan obat yang lebih cocok untuk kondisi saya melihat dari gejala, CT value, rontgen dan hasil laborat.

Dr L menginformasikan bahwa obat Avigan kosong dimana-mana sehingga dia meresepkan Favikal yang isinya sama saja dengan Avigan. Favikal buatan pabrik Kalbe, hanya RS yang jual, tidak dijual bebas. Harga lebih ekonomis.

Dr L membelikan di farmasi di RS tempat dia praktek malam itu, namun akan dikirim agak malam karena farmasi masih antri.

Jam 10.51PM saya WA Dr L.

“Dr L, ini aku perutnya sakit. Brsn muntah dikit dan bab agak melilit keluar keringat dingin. Mungkin efek obat ya. Pdhl td sdh minum yg obat lambung 30 menit sblm makan,” begitu laporan saya.

“Yaaa ci, punya riwayat maag? Mencret ga ci?”

“Engga mencret, Pernah ada riwayat maag tapi gak parah sih. Jrg kambuh, dulu aja. Tapi td cm bentar skg udah settle.”

11.36PM obat otw by gojek. Namun obat pengencer darah dan Vitamin D 5000 juga habis di RS. Jadi harus mencari sendiri di luar RS.

Akhirnya obat sampai di hotel. Saya mengecek dosis tiap obat.

“Dr L, ini obatnya sebaiknya dimakan sekarang atau besok pagi? 8 tablet sekali makan? Bener? Takut salah.”

“Makannya jgn sedikit lho ya ci, obatnya banyak, harus abisin antivirus sm antibiotik 5hr.”
“Iya oke. Tak pesen makan yang enak2.”

“Iya betul ci, sekali minum 8 tablet tapi cuma di hari pertama aja. Nanti kalau antibiotic dan antivirus udah habis tinggal terusin yang vitamin2 aja. “

Harga obatnya mengejutkan. Total untuk Favikal sendiri 52 tablet untuk 7 hari. Dosisnya 2x8tablet di hari pertama. Lalu 2x3tablet di hari 2 – 7.

Saran dari Dr L agar vitamin2 diminum mencar2 biar gak kebanyakan obat di pagi hari. Misalnya pagi Vit C, siang Vit D dan pengencer darah, lalu sore vit C lagi.

“Trus mengenai hasil rontgenku, apakah aku harus melakukan sesuatu? Latihan nafas?”

“Sambil berjemur latihan nafas ya ci. Intinya mesti rileks ci, jangan dipikirin, santai aja makan enak, minum obat, tidur. Jangan lupa cek saturasi sehari 3x. GWS ya ciiii!!!”

“Aku cek saturasi tiap 30 menit wkwkwk. Keparnoan.”
“Jangan ciii, ntr malah stress.”

“Soale banyak yang kelewatan disini katanya. Tapi punyaku so far masih di 98 – 99 terus. Kamu masih praktek jam segini?” – waktu itu menunjukkan pk 1.06 am.

“Iya, ini pas jaga malem di ICU. Di UGD rame poll ci, ini ngeri banget pasien-e, sampe beberapa obat kehabisan. Kebanyakan pasien Covid. Cici jangan lupa tebus yang lixiana pengencer darah ya. Kalo bisa 5 hari lagi cek Ddimer lagi.”

“Oke berarti nanti pas 5 hari itu perlu PCR lagi ga? atau ddimer aja?”

“Ddimer aja ci, PCR nanti setelah 14 hari.”

Hari itu ditutup dengan sebuah kesimpulan : Ini peperangan yang serius. Baru dua hari bergejala, virus sudah mempengaruhi kekentalan darah, paru sudah mulai ada bercak. Saya siapkan diri untuk perang. Semua nasihat teman2 sudah saya camkan. Hati yang gembira adalah obat. Nah bagaimana membuat hati kita gembira?

Saya berpikir bagaimana agar hati ini bisa gembira. Saya tau… saya tau… saya merasa senang ketika saya membeli sebuah barang yang berguna, cocok dan harganya pas. Berarti nanti saya perlu online shopping wkwkwk.

Dalam kesendirian, saya ucapkan sebuah doa. Saya tahu sesungguhnya saya tidak sendiri, saya sedang staycation bersama sahabat saya. Dia yang dari dulu selalu bersama, melewati suka dan duka. It is time to re-connect. I am ready for this journey. Let’s fight!!

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 2)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Minggu, 13 Juni 2021 – hari ke 2

Badan masih belum terasa segar. Suhu pagi itu 39C, tapi anehnya, badan saya tidak menggigil, dan saya tidak merasakan kalau saya demam, tapi memang pusing dan badan masih linu. Saya juga mulai batuk berdahak. Saya mengontak teman saya yang berprofesi sebagai dokter.  Saya jelaskan gejala yang saya rasakan dan obat apa saja yang sudah saya konsumsi serta melaporkan kalau hasil rapid test negative. Dia menyarankan agar swab antigen mandiri karena rapid test yang coblos jari kurang valid.

“Aku parno nih. Aku tuh merasa tenggorokan gak enak sejak dua hari lalu, setelah makan take away dari xxx dan minum bobba xxx”

“hahaha bisa jadi cuma radang biasa. Cium bau makan masih bisa kan?”

“Masih. Emang kalo covid pasti ga bisa nyium ya?”

“Ada yang ndak isa, ada yang masih oke. Tergantung varian virusnya ci”

Pagi itu suami membelikan bubur kesukaan saya. Bubur Cianjur – saya suka karena bubur ini bercita rasa Jawa Barat alias cenderung asin. Saya masih bisa mencium aroma bubur, cakwe dan memakannya dengan lahap.

Setelah akhirnya mendapat Rapid Antigen Kit, saya melakukannya segera dan hasilnya menunjukkan dua haris merah yang sangat jelas. Saya langsung foto hasil tersebut dan kirim ke suami dan ke teman dokter saya tadi.

Saat itu entah kenapa saya sama sekali tidak takut, tidak panik dan sepertinya sudah siap apabila memang covid, karena tidak seorangpun ‘immune’ to it, bahkan mereka yang sudah vaksin pun masih bisa terinfeksi dan teman-teman yang kita kenal sudah banyak yang kena juga. “Semua tinggal tunggu giliran saja” – pikir saya. Dan kali ini, giliran saya tiba.

Saya teringat kembali pembicaraan dengan suami saya ketika pandemi mulai terjadi di Indonesia bulan Maret 2020. Waktu itu, kita sedang melihat footage dari Italia yang sangat menyayat hati.

“Kita harus siap apabila di antara kita ada yang kena. Mau karantina dimana, gimana caranya, kita harus siap, karena ini pandemi, kita bisa kena Bun.” (jangan tanya Bun itu singkatan dari apa, bisa Bunda, bisa Bundar, atau Buntelan…. wkwkwk)

Dan ternyata hari ini kemungkinan itu menjadi kenyataan. Namun entah kekuatan dari mana, saya menghadapi kenyataan ini dengan sangat tenang, dan saya yakin bisa sembuh. Mungkin saya pikir selama ini saya sehat-sehat saja, hanya sedikit overweight, tidak ada penyakit bawaan dan sudah banyak orang-orang yang terkena covid sembuh.

Teman dokter saya menyarankan agar test antigen diulang, dan apabila positif, lakukan test PCR. Mengapa PCR perlu? Karena PCR adalah gold standard untuk mendeteksi virus COVID-19. Selain itu, dengan adanya hasil PCR, apabila sewaktu-waktu kondisi menurun dan perlu dirawat di RS, maka kita sudah memiliki hasil tes PCR dan tidak perlu mengantri berlama-lama di UGD untuk menunggu hasil PCR.

Lalu dia memberikan info obat-obatan yang harus saya konsumsi.

Teman saya menyarankan agar suami, anak-anak dan mertua – yang serumah dengan saya minimal di test antigen segera, kalau bisa PCR lebih baik.

Saya mendapat info tentang obat Ixxx yang sedang viral, lalu saya tanyakan ke Teman saya apakah disarankan untuk konsumsi obat tersebut karena di beberapa media diberitakan bahwa obat tersebut ‘terbukti dapat mengalahkan Covid-19’ dan telah di bagikan di beberapa area dengan angka covid yang tinggi.

“So far yg aku tau itu obat cacing…efektifitasnya ke covid blm pasti..lumayan keras efek sampingnya ktnya. Butuh resep dokter juga. tpi aku tanyain iparku yg di rs juga. Dia lbh update soalnya”

“Obat cacing?”  😀

Lalu teman dokter ini menyarankan agar saya melakukan PCR, rontgen paru dan cek darah sekalian dan atas saran iparnya yang lebih up to date karena menangani langsung pasien-pasien covid di rumah sakit, dia mengganti obat Oseltamivir dengan merk yang lebih patent, lebih manjur, tapi harus pake resep dokter dan gak ada di online.
Namun setelah satu per satu dihubungi, dimana-mana sudah close, padahal info di IG tutup jam 8 malam. Tapi semisal saya mau PCR hari itu pun, hasilnya akan keluar besok. Jadi saya putuskan untuk PCR di RS. X besok sekalian rontgen dan cek darah.

Akhirnya saya kontak dengan ipar teman dokter saya ini. Dia menyarankan agar daftar online dulu untuk PCR besok supaya tidak terlalu lama mengantri. Biaya PCR 750rb di RS tersebut.

Sementara itu, suami saya langsung membelikan obat-obatan yang tadi di resepkan. Dia juga menelepon adiknya dan gembala gereja kami untuk menginformasikan dan meminta saran untuk langkah selanjutnya. Setelah berdiskusi, suami menyarankan agar saya isoman di tempat lain – jangan di rumah. Waktu mendengar ini rasanya saya sedih membayangkan harus memisahkan diri dari keluarga untuk minimal 14 hari. Saya pikir akan bisa isoman di kamar tanpa keluar. Teman saya pernah melakukannya dan keluaraganya baik2 saja.… tapi dalam situasi yang saya hadapi terlalu beresiko karena saya tinggal dengan mama mertua dan di rumah ini tidak ada kamar spare dan kamar-kamar kami letaknya saling berdekatan bahkan ada pintu tembusan dengan kamar anak-anak. Akhirnya saya setuju untuk mencari tempat isoman di luar rumah.

Teman dokter saya menginfokan Hotel Kesambi milik Pemprov Jateng dibuka untuk isoman. Jadi saya kontak hotel tersebut dan ternyata tidak ada kamar yang kosong. Lalu saya mengontak seorang teman yang baru cerita di Instagram kalau dia kena covid, barangkali dia tau tempat untuk isoman. Dia menyebutkan sebuah tempat isoman milik pemerintah yang lain di daerah Manyaran, namun setelah dihubungi ternyata juga penuh.

Teman saya yang lain menginfokan beberapa tempat yang pernah dipakai oleh teman papanya untuk isoman, yang ternyata dekat dengan rumah saya. Sebuah tempat kos. Tapi saya ingin tempat dimana saya isoman itu benar-benar tempat resmi isoman karena saya tidak mau keberadaan saya malah menulari orang lain yang tidak tahu saya sedang positif covid.

Bayangkan apabila kita menginap di hotel, lalu saya harus mengambil kiriman makanan/barang ke reception, maka saya harus keluar kamar, lorong hotel dan lift akan terkontaminasi dan saya menyebarkan virus kemana-mana. Bahkan mungkin di hotel-hotel tersebut saya tidak akan bisa melewati pintu masuk untuk cek in karena kondisi saya sedang demam tinggi. Petugas hotel akan melarang saya untuk masuk.

Saya selalu teringat dengan istilah “duty of care” – dimana kita memiliki kewajiban untuk menghindari tindakan atau kelalaian yang dapat melukai (merugikan) orang lain.  Saya merasa heran karena istilah ini saya ketahui ketika saya kuliah semester 1 pada mata kuliah “Business Law” di Melbourne Uni namun sangat melekat dan sangat saya hayati sehingga saya merefleksikannya dalam kehidupan saya sejak saat itu – bahwa masing-masing kita memiliki ‘duty of care’ towards others.

Anyway, kembali ke pencarian tempat isoman. Saya sudah mencari informasi ke berbagai hotel di Semarang namun kebanyakan dari hotel yang saya hubungi tidak menerima isoman dan bahkan beberapa hotel mencantumkan syarat untuk bisa menginap dengan menunjukkan hasil swab/PCR negative.

Akhirnya suami saya memberi tahu bahwa dia barusan menanyakan temannya, pemilik Hotel Pantes, dan mereka membuka hotelnya untuk isoman. Artinya, seluruh staff di hotel tersebut mengetahui kalau saya positif covid sehingga saya tidak perlu khawatir karena mereka tentunya sudah antisipasi.

Makan malam terasa agak aneh, padahal tadi siang memakan menu yang sama. Suhu masih stabil di 38.8C, saturasi 97 detak jantung 101.

Saturasi 13 Juni 2021

Suami, mami mertua dan anak-anak melakukan tes antigen, puji Tuhan hasilnya negatif semua. Besok suami dan mami akan lanjut PCR untuk memastikan.

Saya coba makan kwecang untuk mengetes rasa. Masih enak, rasa masih sama. Berarti indra perasa masih normal. Saya coba mencium beberapa lotion yang ada di kamar dan masih aman. Masih tercium semua.

Saya memberi tahu adik-adik saya bahwa saya positif, namun saya belum memberi tahu orang tua saya karena saya tidak mau mereka khawatir. Tentunya mereka mencoba untuk solve the puzzle…

“Lu kena dimana kira-kira? Masih bisa ngerasain? Selain saturasi dan demam gejala apa lagi? Saturasi berapa?”

Ya semacam tim detektif menginterogasi…. Mereka mengingatkan agar semangat dan jaga supaya imun tidak drop. Adik-adik masih berharap hasil PCR negatif. Namun saya pribadi merasa yakin ini covid karena gejalanya cocok dan tes antigen sudah dua garis langsung tampak jelas.

Malam itu, dalam kondisi masih demam dan pusing, saya packing baju dan barang-barang yang akan saya bawa isoman untuk minimal 14 hari. Biasanya saya akan panggil suami untuk mengambil koper yang posisinya cukup tinggi. Tapi malam itu saya cari akal untuk ngambil koper sendiri dan berhasil – ini yang dinamakan ‘the power of kepepet’.

Biasanya kalau packing untuk liburan, saya butuh waktu lama untuk berpikir baju apa yang harus saya bawa. Namun malam itu, packing cepat sekali karena isi kopernya hanya piyama dan daster serta 2 pieces baju pergi untuk kontrol ke RS apabila diperlukan. Saya juga membawa pernak pernik emak-emak seperti balsam, alat buat ngerik wkwkwk, minyak kayu putih, cream perawatan wajah, masker wajah, peralatan pedicure, sandal hotel (maklum wanita… ). Tidak lupa yang terpenting Bible, buku diary, thermometer & oximeter.

Saya minta suami untuk menyiapkan satu container yang isinya peralatan makan berupa piring, sendok garpu dan gelas supaya besok pagi saya tinggal bawa, tanpa harus banyak menyentuh barang di rumah.

Hari yang melelahkan. Masih ada yang bisa saya syukuri, tidak ada gejala mual atau diare. Demam, pusing, linu dan batuk sudah cukup.

#mycovidjourney

#23dayswithJesus

Dua Garis Merah – “My Covid Journey” – (Part 1)


Disclaimer:

Tulisan di bawah ini adalah pengalaman saya selama terkena COVID-19. Apa yang saya tulis adalah murni apa yang saya rasakan, apa yang saya pikirkan dan apa yang saya alami. Obat-obatan yang saya konsumsi diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi saya pada waktu itu. Tujuan saya menulis ini untuk membagikan pengalaman saya selama isoman dan memberi semangat kepada para penderita COVID-19 dan berbagi berbagai aktivitas yang saya lakukan serta makanan yang saya konsumsi selama isolasi mandiri 23 hari supaya tidak bosan dan tetap menikmati setiap hari yang Tuhan beri.

Sabtu, 12 Juni 2021 – 12PM – hari ke 1

Siang itu badan rasanya tidak seperti biasanya. Saya pikir akibat kelelahan karena hari Jumatnya ada meeting di kantor sampai jam 9.30 malam & sesampainya di rumah saya jatuh kepleset. Jadi saya pikir badan saya ‘njarem’ (pegel2 karena jatuh) dan 2 hari sebelumnya saya dan suami pulang malam juga. Tenggorokan tidak sakit tapi seperti ada yang mengganjal dan tidak nyaman. Saya bertanya pada seorang teman yang berprofesi sebagai apoteker, apakah minum FG Troches boleh?

“Boleh Ci, beli 1 strip sampe habis karena itu antibiotic.”

Jam 12 siang, saya bergegas pulang. Sesampainya di rumah, saya mandi dan langsung masuk kamar untuk istirahat. Saya infokan pada anak-anak dan suami bahwa badan saya sedang tidak fit jadi sebaiknya tidak masuk ke kamar saya dulu. Di dalam kamar pun saya memakai masker karena suami saya masih bolak balik untuk mengirimkan apa yang saya perlukan. Saya segera minum vitamin yang saya punya di rumah saat itu.

Lalu saya melakukan rapid test – ini yang di tusuk di jari, meski saya tau hasilnya tidak akan akurat, tapi saat itu yang ada di rumah hanya rapid test jenis ini. Hasil rapid aman, satu garis. Saya harap besok sudah lebih segar. Mungkin saya hanya perlu istirahat lebih banyak lagi. Malam itu saya masih bisa makan dengan baik.

Hasil Rapid Test yang belepotan tapi negatif

Menjelang malam, saya mulai demam dengan suhu 38.7◦C, badan rasanya sakit semua seperti linu dan kepala pusing. Saya minum penurun panas, waktu itu adanya sirup Sanmol dan bisa tidur dengan baik.

#mycovidjourney

#23dayswithJesus