“Kekepoan yang membawa berkah” – kisah papiku yang kepo.


Sore itu Papih menelepon dengan background yang agak bising.

“Pei, ini Papih teh lagi di ondangan, ada tamu yang semeja sama Papih teh cucunya kena kawasaki cenah. Jadi ku Papih dikasih nomer Pepei ya bisi mau tanya-tanya langsung.” (Note:kami bicara dengan logat dan tambahan kosa kata bahasa Sunda 😄 seperti: cenah, teh, naon dll)


Ayah saya, yang saya panggil Papih adalah seorang yang sangat gemar berorganisasi. Sejak remaja Papih menekuni bela diri Karate dan beliau sangat aktif di organisasi tersebut hingga sekarang di usia 74 tahun. Papih juga seorang supel dan ramah. Apabila di sebelahnya ada orang yang tidak dikenal di sebuah momen yang sama, dia tidak akan segan untuk menyapa dan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Dia juga pandai berbicara di depan umum. Dia sering diberi tugas menjadi Master of Ceremony (MC) di acara perkumpulan yang dia ikuti. Kalau ada Papih, pasti suasana menjadi seru. Istilah jaman sekarang ‘ga ada lu ga rame’.

Papih juga seorang yang murah hati dan suka menolong. Dia akan melakukan apa yang dia bisa ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Siapa pun itu, baik saudara, teman, pegawai atau orang yang tidak dia kenal sekalipun.

Seperti yang terjadi sore itu, ketika dia sedang berada di sebuah pesta pernikahan. Dia duduk semeja dengan beberapa teman yang dia kenal dan sebagian yang tidak dikenalnya.

Tamu yang duduk tepat di sebelahnya, seorang pria paruh baya yang tidak dikenalnya, sangat sibuk menelepon beberapa kali dan kelihatannya beliau sedang dihadapkan pada satu masalah yang cukup serius. Hingga akhirnya si Om sedikit berteriak ketika dia bicara di telepon dan Papih mendengarnya.

“…naon? Kawasaki? Naha siga ngaran motor? Panyakit eta teh?”(apa? Kawasaki? Koq seperti nama motor? Memangnya itu penyakit?”)

Setelah si Om selesai menelepon, Papih tidak segan2 lagi bertanya, “maaf ko, siapa yang kena Kawasaki? Cucu saya barusan kena juga.”

“Oh, bener itu teh penyakit? Ini anak saya barusan telepon, katanya cucu saya udah panas beberapa hari, trus tadi ke dokter teh cenah kena Kawasaki. Sugan saya teh hereui, da Kawasaki mah setau saya ngaran motor. (Saya kira dia bercanda, soalnya saya taunya Kawasaki itu nama motor).

Lalu berlanjutlah pembicaraan mereka hingga berujung pemberian nomer telepon saya.

Tak lama setelah itu, anak dari Om ini menelepon saya. Kami tidak perlu berbasa basi lebih lanjut waktu itu karena kondisi anak ini memang sudah cukup serius untuk segera dibawa ke Jakarta untuk ditangani oleh dokter spesialis yang ahli di bidangnya. (untuk informasi mengenai penyakit Kawasaki, bisa klik link berikut)

Perjalanan iman melalui “Kawasaki Disease” – part 1

Akhir dari cerita yang diawali oleh ‘kekepoan’ Papih saya ini berujung bahagia. Sang anak segera dibawa ke Jakarta dan mendapat perawatan yang tepat.

Papiku yang kepo nan peduli terhadap sesama

Saya jadi teringat, suatu hari saya makan di sebuah cafe cantik. Sambil menunggu makanan keluar, datanglah sekawanan orang asing berambut pirang duduk tidak jauh dari meja saya.

Pelayan cafe itu tidak dapat berbahasa Inggris dan menunya juga disajikan dalam bahasa Indonesia. Saya mendekati mereka dan menawarkan bantuan untuk menjadi penerjemah di antara keduanya. Setelah mereka selesai memesan, kami pun lanjut bercakap-cakap sambil berkenalan.

Pernah juga suatu hari saya sedang mengantri di sebuah supermarket di mal Semarang. Di depan saya berdiri seorang wanita asing berambut pirang sedang menunggu giliran untuk bayar. Sesampainya di kasir, dia merogoh tasnya untuk mengambil dompetnya. Namun setelah beberapa saat dia tidak dapat menemukan dompet yang dicarinya. Saya kepo tentunya, dan spontan saya bertanya padanya apa yang terjadi.

Dia bilang kalau dia yakin dompetnya dicuri orang di mal itu. Dan bukan kebetulan kalau sehari sebelum kejadian ini, saya kehilangan handphone di mal ini juga. Saya membantu wanita ini untuk melapor ke bagian security seperti yang saya lakukan persis di hari kemarin. Seperti dejavu rasanya. Saya meminta security untuk memutar rekaman CCTV yang pada saat itu masih hitam putih dan gambarnya sangat buram, tidak jelas sama sekali dan saya merasa CCTV di mal tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan hanya untuk formalitas saja.

Wanita ini meminta tolong agar saya untuk menelepon supirnya melalui handphonenya karena supirnya tidak dapat berbahasa Inggris. Lalu dia menelepon suaminya dan menceritakan apa yang terjadi.

Mereka sangat terpukul karena besok mereka akan meninggalkan kota Semarang, setelah tinggal disini selama 5 tahun, untuk pindah ke New Zealand. Mereka harus memblokir credit card yang ada di dompet wanita tersebut dan melapor ke berbagai instansi untuk menghindari pencurian identitas. Yang saya kagumi dari wanita ini adalah cara dia menghadapi kejadian malang yang dialaminya. Dia tidak marah-marah, tidak emosi, tidak teriak-teriak atau menangis. Dia menghadapinya dengan tenang dan pasrah. (Beda banget dengan saya di hari kemarin wkwkwkwkwk)

Dari pengalaman-pengalaman di atas, saya setuju dengan pernyataan bahwa anak meniru orang tuanya meskipun mereka tidak pernah mengajarkannya.

Saya sering melihat Papih dan Mamih saya menyapa orang dan mengajak ngobrol, sehingga saya tidak pernah kesulitan untuk bertemu orang baru dan berada di lingkungan yang baru. Begitu pula berbicara di depan umum. Bagi saya, hal tersebut bukan sesuatu yang sulit karena saya sudah biasa melihat Papih melakukannya sejak saya kecil.

Di Indonesia, rasa kepo itu sangat tinggi. Lihat saja kalau ada kecelakaan di jalan. Yang kepo langsung berkerumun. Ga tau duduk perkaranya sok ikut-ikutan paham. Tapi, dari cerita di atas, kepo tidak selalu buruk.

Yang buruk itu, ketika kita kepo akan apa yang terjadi pada orang lain, lalu menjadikannya bahan gosip yang merugikan orang tersebut.

Jadi….

kepolah untuk mendatangkan berkah,

kepolah untuk mendatangkan kebaikan,

kepolah untuk menolong orang lain,

kepolah untuk sebuah perubahan,

kepolah untuk kemanusiaan,

kepolah untuk mendoakan.

Tetaplah kepo, karena kepo menunjukkan kita peduli.

#kepo #parenting #budayakepo

“Ketika wawancara kerja menjadi sesi konseling”


Nama saya Sri Pudji Astuti, saya berusia 34 tahun, lahir di Semarang, sudah berkeluarga. Anak saya satu.”

“Anaknya usia berapa?”

“Dua minggu.”

“Dua minggu?”

“Iya bu, betul dua minggu”

Sementara Sri melanjutkan bercerita mengenai sejumlah pengalaman kerjanya, saya sudah mempersiapkan apa yang akan saya katakan kepadanya.

“Maaf Sri, nanti anaknya siapa yang menjaga kalau kamu bekerja?”

” Suami saya bu. Atau, nanti kalau suami sudah mendapat pekerjaan, kami akan titipkan anak kami ke day care. Kan dekat rumah saya banyak day care. Atau kami akan cari orang untuk momong”

“Sepertinya memang sudah mantap untuk bekerja kembali ya Sri. Tapi kan anakmu masih kecil banget, kasian kalau dititipkan sama orang lain. Kalau saya boleh saran, sebaiknya jangan bekerja dulu sampai anakmu sudah agak besar. Kalau masih kecil, dititipkan pada orang lain kasian bu. Saya aja dulu jengkel kalau anak saya tidak berhenti menangis. Saya ibunya bisa jengkel, apalagi orang lain yang cuma dibayar untuk momong. Belum lagi anak sekecil itu daya tahan tubuhnya belum kuat benar, masih rentan dan sebaiknya diberi ASI saja. Selain karena ASI yang terbaik, kita bisa menghemat juga karena tidak perlu membeli susu formula. ”

Sri mengusap air mata yang tiba2 mengalir tak terduga. Saya memberikan sehelai tissue padanya.

” Maaf ya Bu, malah nangis di depan ibu….. Jadi saya tidak bisa ya bu kerja disini? Gara2 saya punya anak? ”

“Jangan salah paham Sri, bukan itu maksud saya. Jangan sampai Sri melihat anakmu menjadi beban, tapi sebaliknya, justru karena dia *penting dan berharga* maka saya menyarankan agar kamu menjaga anakmu di rumah saja sambil bisnis online misalnya. Dengan begitu, akan terjalin bonding ibu dan anak. Wanita itu ada musimnya. Saat ini waktunya kamu memberikan perhatian untuk si kecil. Meskipun saya mengerti bahwa ada kebutuhan lain yg mendesak sehingga kamu harus bekerja, coba untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada dan cari alternatif lain. Nanti kalau anakmu sudah agak besar, kamu bisa kembali bekerja dan berkarir. Dulu saya begitu. Saya jagain anak2 sambil berjualan daster menyusui, jual aksesories, apa aja yang bisa disambi di rumah. Setelah anak2 sudah sekolah, barulah saya kembali membantu suami di kantor.”

Sri masih mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir.

Dan saya… Masih lanjut membagikan pengalaman saya saat saya menjadi seorang ibu kepada Sri.

“Makasih banyak bu untuk sharingnya, maaf kalau saya jadi emosional tadi.”
————

Sekarang saya tahu, bahwa Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihiNya.

Apa yang telah saya lalui dan alami, saya ingin membagikannya untuk menguatkan mereka yang membutuhkan.

#familyministry
#familyfirst

#pergiberdua Europe 2019


Day 2 Neuschwanstein Castle – Innsbruck 28 Juni 2019
Pagi yang sejuk, badan sudah segar setelah beristirahat dengan baik dan benar. Menu sarapan di hotel adalah standard European breakfast namun tentu saja sosis Jerman harus dicoba. Menurut saya pribadi rasanya mirip dengan sosis Kanzler yang dijual di supermarket di Indo.

Hari ini agenda kami mengunjungi Neuschwanstein Castle yang jaraknya kira2 2 jam dari hotel. Castle ini adalah istana dari mahakarya raja Ludwig II dan menjadi model Castle Disneyland di seluruh dunia.
Sesampainya disana, kami masih harus naik shuttle bus yang disediakan menuju Castle. Ada alternatif lain yaitu naik delman (sounds ndeso banget ya..) Jangan bayangkan delman di Indo ya. Tentunya kuda2nya juga kuda Eropa yg besar, kuat dan gagah dan delmannya pun a beautiful horse carriage bukan model delman ditutup terpal. Tapi setelah liat lokasi, kayanya memang lebih baik naik shuttle. Selain lebih cepat karena jalannya agak menanjak, kalau naik delman katanya tergantung mood kudanya juga.
Setelah kami di drop shuttle, kami harus berjalan kira2 5 menit untuk mencapai jembatan dimana kita bisa mendapat full view Castle dari sisi samping. It is amazing!! Sungguh luar biasa, bukan hanya keberadaan Castle yang sangat indah, namun karena letak dari Castle tersebut yang berada di ketinggian dan sekelilingnya adalah hamparan lembah hijau yang asri. Sementara dibawah jembatan ada air terjun kecil dan sebuah kali yang jernih mengumandangkan suara alam yang indah.

Kami foto2 sebentar dan kembali ke tempat shuttle tadi untuk ke arah mendekati Castle. Kami harus berjalan kira2 15 menit dengan jalanan yang menurun. Cuaca siang itu terik namun masih terasa angin sepoi2 sehingga kami tidak terlalu kepanasan.

Setelah kami puas mengambil foto2 Castle dari dekat, kami kembali menuju shuttle untuk makan siang di dekat parkiran bis.
Menu siang itu adalah Consomme yang rasanya sama dengan semalam, yang ini ada bihunnya sedikit. Untuk main coursenya adalah sepotong white fish dan baked potato lalu ditutup dengan sepotong apple struddle.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Innsbruck yang kurang lebih ditempuh selama 2 jam. Sesampainya di kota kecil yang cantik ini, kami langsung cek in hotel untuk menyimpan barang2. Dua tahun yg lalu kami pernah singgah di kota ini namun kali ini kami akan bermalam disini.

Suhu hari itu sangat bersahabat sehingga kami berjalan jauh mengitari kota ini hingga puas. Setelah makanan malam dengan menu Chinese food, suami ingin mencoba menyewa sepeda yang tersedia di trotoar di berbagai spot. Untuk membuka locknya, kita harus membayarnya dengan credit card melalui aplikasi di handphone. Setelah pembayaran diterima akan ada kode yamg diberikan untuk membuka kunci sepeda tersebut. Pemakaian per 30 menit adalah sebesar 1 Euro atau sama dengan kira2 Rp. 16,000,-

Awalnya saya pikir suami akan muter2 sendiri, tapi dia bilang.. Ayo naik, tak bonceng 😂. Dalam hati… Beneran..? Aku berat lho..

Dan akhirnya kami berboncengan mengitari kota Innsbruck bagaikan dua sejoli yang sedang pacaran wkwkwkkw.. (ngaku2). Memang tujuannya pergi berdua itu untuk kita menikmati saat2 berdua. Saat pergi berdua, what matters is you and me. Yang lain ngontrak. Kalau pergi sama anak2 lain cerita.
Kembali ke laptop… 🤣
Sambil dibonceng, saya mencoba ngevlog sambil takut2 jatuh. Dan akhirnya kita sampai ke Inn River, sungai yg melewati kota Innsbruck. Ternyata sungai ini arusnya cukup deras. Tak henti2nya saya merekam apa yang saya lihat. Terlalu indah untuk dilewatkan.
Seolah ga mau rugi, setelah kami mengembalikan sepeda, kami enggan kembali ke hotel, padahal sudah jam 9.30 malam. Namun karena disini summer, maka matahari belum terbenam.. Suasana masih terang… Kami pun lanjut berjalan, menikmati suasana malam yang kian ramai. Orang2 makan malam di cafe diterangi dengan lilin dan musik yang santai. Suasana di luar negri gitu deh kaya di film2…
Akhirnya kami kembali ke hotel pukul 10.30. Mandi dan bersiap tidur. Suami sangat perhatian… Dia menyiapkan ramuan herbal yang kami bawa setiap kami liburan. Apalagi kalo bukan…. TOLAK ANGIN. Kami cinta produk2 Indonesia!!

#pergiberdua Europe 2019


Day 1 – Munich, 27 Juni 2019

Tujuan pertama dari Munich Airport adalah Allianz Arena yang merupakan lapangan sepak bola tim tuan rumah Bayern Munchen.

Kami hanya foto2 dari luar dan melanjutkan ke BMW Showroom, lalu lanjut menuju pusat kota Munich untuk makan siang dengan menu Chinese food.

Di Eropa, chinese food yg disajikan untuk tour biasanya standard sup telur sawi, telur dadar, tauge, buncis, kangkung, ayam dan sapi. Rasanya lebih nikmat chinese food di Indonesia, karena mungkin di Eropa penggunaan MSG minimal 😂

Di saat kami sangat berharap pada Air Conditioning untuk memberikan sedikit kenyamanan, ternyata Chinese restaurant tersebut tidak dilengkapi dengan AC, hanya ada kipas angin. Hal ini disebabkan karena musim panas mereka sangat singkat dalam setahun dan suhu2 panas ekstrim hanya sesaat.

Setelah makan siang kami diberi waktu bebas exploring pusat kota Munich hingga jam makan malam.

Suhu hari ini cukup panas, mungkin sekitar 30°C. Kami menyusuri pertokoan dimulai dari titik kumpul Marienplatz, city square atau alun2 kota Munich yang terletak di pusat kota tua (old town).

Setelah 5 jam saya dan suami berkeliling masuk dari satu toko ke toko lainnya, kami berkumpul kembali di Marienplatz untuk makan malam.

Menu makan malam yang disediakan adalah 3 course meal dengan sup pembuka berupa kuah kaldu yang diberi pancake yang dipotong panjang2 menyerupai mie. Pertama saya mencicipi langsung pikiran saya konek ke kuah Pop Mie rasa bakso sapi. Gurih asinnya persis.

Main course malam itu adalah roast chicken yang porsinya per orang adalah setengah ekor ayam. And when I say setengah ekor itu bener2 setengahnya ayam Eropa yang besarnya sama dengan ayam boiler di Indo. Ditambah dengan kentang goreng setengah piring… 🤣

Kami mencicipi bir Jerman yang terkenal. Porsi wanita dan pria beda takarannya. Namun betapa terkejutnya kami ketika satu gelas yang suami saya pesan ternyata ukurannya adalah satu pitcher!!

Karena restoran tersebut sangat besar dan ramai, dessert kami berupa 3 scoops ice cream disajikan dalam jeda waktu yg sangat lama sehingga kami semua sudah mulai mengantuk mengingat jam di Indonesia menunjukkan pukul 1 malam.

Setelah akhirnya dessert disajikan, kami semua diantar ke NH hotel sekitar 20 menit dari pusat kota.

Hotel bintang 4 tersebut cukup terawat meskipun seperti hotel2 di Eropa pada umumnya sangat jarang karyawan yang terlihat karena tingginya standard upah di negara2 tersebut.

Mata sudah sulit diajak kompromi, kaki sudah lelah karena telah melangkah lebih dari 10km muter2 di pusat kota. Saatnya rehat, melepaskan penat, berendam di air hangat…

#pergiberdua Europe 2019


Jakarta – Dubai – Munich, 26 Juni 2019

Jadwal pesawat kami pukul 17.55 WIB sehingga kami harus berkumpul di Bandara Soekarno Hatta jam 14.30. Ruang tunggu Terminal 3 lebih panas dari biasanya. Mungkin karena matahari berada di sudut yang tepat sehingga panasnya menembus dinding kaca. Saya berjalan dari ujung ke ujung sambil window shopping beberapa butik yang ada disana.

Hingga pukul 4 saya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum take off menuju Dubai. Rencana awal saya akan mandi di Dubai Airport. Namun karena di Terminal 3 saya lihat ada fasilitas Free Shower, maka saya mandi disana.

Ada sekitar 6 kamar mandi untuk wanita. Tiap kamar mandi dilengkapi dengan toilet, wastafel, shower, paper towel dan hair dryer.

10 menit saja dan saya sudah merasa segar, siap menempuh perjalanan menyeberangi samudera bersama suami tercinta…

Pesawat Emirates yang kami tumpangi penuh. Angan-angan untuk tidur selonjor sirna seketika. Saya sih ga masalah, tapi saya kasihan sama suami yang notabene kakinya lebih panjang dari saya. Dia membutuhkan space yang lebih longgar untuk bisa tidur dengan nyaman.

Perjalanan Jakarta Dubai ditempuh dalam waktu 8 jam. Kali ini saya memilih 3 movie untuk disimak selama perjalanan.

Bohemian Rhapsody – meskipun saya bukan penggemar musik rock dan Queen, namun saya penasaran juga dengan film ini yang banyak diulas oleh beberapa teman dengan predikat “keren, bagus banget, jenius”. Dan setelah saya menyimaknya, saya belajar satu hal: bahwa setiap jiwa yang terlahir membutuhkan acceptance (penerimaan), unconditional love (cinta tak bersyarat), dan security (rasa aman).Film ini mengingatkan saya sebagai orang tua dimana kita seringkali berharap anak2 kita tumbuh untuk memenuhi harapan2 kita. Namun pada kenyataannya, setiap anak terlahir unik. Meskipun mereka lahir membawa gen kedua orang tuanya, namun tidak selalu mereka akan sama dengan kita.

Film yang kedua yang saya simak adalah “The Wife”. Film yang menceritakan kisah sebuah keluarga yang terlahir dari sebuah perselingkuhan. Sang suami adalah seorang penulis yang sangat narsis dan angkuh sehingga seringkali menekan istrinya yang kurang percaya diri namun memiliki bakat menulis yang menonjol.Alur cerita film ini mengingatkan saya akan kisah2 pernikahan yang kelihatannya “baik-baik saja” di permukaan, namun sesungguhnya ada sebuah gejolak yang terjadi, dibiarkan dan tidak diselesaikan sehingga suatu hari gejolak tersebut meluap keluar menjadi sebuah pertengkaran yang hebat.

Film yang ketiga adalah sebuah dokumentari berjudul “Three Identical Stangers”. Kisah nyata bayi kembar tiga yang tidak diinginkan oleh sang ibu yang waktu melahirkan baru berusia 15 tahun. Bayi2 tersebut lalu ditaruh di panti asuhan dan diadopsi oleh tiga keluarga dengan latar belakang dan status ekonomi yang berbeda. Ketiga bayi tersebut akhirnya menemukan satu sama lain di usia 19 tahun dan sejak saat itu mereka tidak dapat dipisahkan. Kisah hidup dan pertemuan mereka menjadi sangat viral dan menarik beberapa pengamat untuk mendalami apa yang sesungguhnya terjadi. Dan ternyata, bayi kembar tiga ini merupakan “kelinci percobaan” untuk kepentingan sebuah riset yang menyelidiki dampak pada anak kembar yang dipisahkan dan dibesarkan oleh keluarga dan di lingkungan yang berbeda.

Setelah 3 film ini, akhirnya saya tidur.Sesampainya di Dubai kami menunggu penerbangan selanjutnya selama 5 jam.

Perjalanan dari Dubai ke Munich ditempuh dalam waktu 6 jam 30 menit. Berbeda dengan penerbangan sebelumnya, kali ini mata sudah sangat lelah dan berhasil tertidur selama beberapa jam.

Tiba di Munich kami harus antri imigrasi selama kurang lebih 1 jam. Cuaca di luar cukup hangat, dan matahari terasa sangat dekat. Namun demikian, kami siap menikmati pergi berdua yang ke enam.

#pergiberdua #europe2019 #datingwithmyhusband

Trip to Korea – Day 1


Saya bukan penggemar drakor. Bukan ga suka, tapi ga ada waktu. Nonton TV aja jarang (baca:lebih sering ‘nonton’ FB dan IG).

Waktu suami mengajak liburan ke Korea, saya enggan. Masalahnya, pas tanggal2 itu, anak-anak sedang menjalani Final Test dan si sulung juga berulang tahun. Tapi daripada suami ngajak yang lain, dan setelah kami bermusyawarah dengan anak2, akhirnya saya setuju.
Baru pertama kali pergi berdua dengan suami mengunjungi negara Asia. Dan terus terang pengetahuan saya tentang Korea sangat minim dibanding ibu2 pecinta drakor. Jadi saya tidak berharap terlalu banyak selain pergi untuk mengenal negara ini dan menikmati masa-masa berdua lagi.
Penerbangan dengan Asiana Airlines berangkat tengah malam. Pesawat yang cukup terawat dan nyaman. Pramugarinya tentu mayoritas orang Korea, dan mereka terlihat serupa: ramping semampai dan wajah berkilau.
Saya sempat menyimak satu drama Korea berjudul “On Your Wedding Day” sebelum akhirnya terlelap. Drama Korea memang membangkitkan sisi romantis dalam diri kita. Seolah-olah ada mesin waktu yang membawa kita ke masa-masa SMA.
Penerbangan ditempuh dalam waktu 6.5jam, tepat sesuai jadwal. Tiba di Incheon Airport, kami disambut dengan suhu yang cukup dingin. Belum minus, hanya 8 derajat Celcius. Local guide yang menemani group kami selama 6 hari di Korea bernama Erick, oang Korea asli, dan dia didampingi oleh asistennya yang juga seorang fotografer profesional (katanya), bernama Kuma. Erick sangat fasih berbahasa Indonesia. Beliau pernah belajar bahasa Indonesia dan tinggal di Jakarta selama 10 bulan. Sekilas tidak ada perbedaan antara Erick dengan pria dari group kami. Yang membedakan adalah.. wajah Erick terlihat sangat mulus terawat dan berkilau layaknya Oppa2 yang sering saya lihat di internet.
Sepanjang perjalanan menuju Nami Island yang ditempuh kurang lebih 2.5jam, Erick menceritakan kisah Jenderal Nami yang karena jasanya, namanya diabadikan menjadi nama pulau tersebut. Setelah beberapa kali terlelap dan terbangun, akhirnya kami tiba di seberang Nami Island tepat di jam makan siang. Menu pertama yang kami cicipi adalah ‘Grilled Chicken’ yang disantap dengan daun selada segar ditemani dengan berbagai side dish – Kim Chi.
Beberapa bulan terakhir, saya berupaya menurunkan berat badan dengan mengurangi konsumsi nasi putih. Tapi nasi Korea, who can resist? Teksturnya yang pulen dalam porsi yang mungil, ditambah udara yang dingin menambah nikmat makan siang kami yang pertama.
Dari tempat makan, kami menyebrang menggunakan Ferry menuju Nami Island. Suami saya memiliki jiwa yang lebih ‘adventurous’ dan dia memilih untuk menyebrang menggunakan Flying Fox di ketinggian 80 meter atau sama dengan gedung 25 lantai dan panjang tali yang ditempuh sejauh kurang lebih 940 meter. Harga tiketnya kurang lebih Rp. 550,000,-
Perjalanan naik ferry ditempuh dalam waktu kira2 10 menit. Kami langsung dibawa ke spot yang terkenal dalam film drama “Winter Sonata” dan diarahkan untuk berfoto dengan berbagai gaya oleh Kuma, sang fotografer. Waktu yang diberikan untuk melihat-lihat pulau tersebut 2 jam. Udara cukup sejuk dan setelah puas mengambil beberapa foto, suami mengajak untuk sewa sepeda. Saya menolak. “Takut keringetan trus nanti jaketnya bau,” begitu alasan saya. Suami sewa sepeda untuk setengah jam dengan harga 4000 WON.
Sambil menunggu suami, saya jalan perlahan-lahan menuju meeting point di dekat pelabuhan. Pulau Nami dikelola dan dikembangkan untuk tujuan wisata semata. Pulau yang kurang lebih luasnya 430,000m2, menyajikan berbagai restoran, cafe, art centre, toko souvenier dan beberapa stand makanan kecil. Meskipun tidak lapar, namun saya tergoda oleh bau harum barbeque dari Nami Sausage, so I bought one for 3000 WON.
Dari Nami Island kami melanjutkan perjalanan untuk bermalam di Sokcho. Sebelum sampai hotel, kami makan malam dengan menu Bulgogi. Erick menceritakan perbedaan Bulgogi yang kita temui di Indonesia biasanya di grill, namun sesungguhnya, Bulgogi itu disantap dalam bentuk berkuah.
Kebudayaan Korea mengharuskan kami untuk melepas sepatu sebelum masuk ke rumah atau restoran. Selalu disediakan rak sepatu di dekat pintu masuk.
Rumah makan tersebut tidak sebesar dan semewah restoran Shabu2 di Indonesia. Tempatnya sederhana, namun bersih dan nyaman. Kebanyakan bisnis di Korea tidak memiliki banyak karyawan layaknya di Indonesia, karena gaji minimum disana sekitar 25 juta per bulan. Jadi, untuk restoran kecil seperti ini biasanya hanya dikelola oleh keluarga.
Bisa dibayangkan betapa nikmatnya makan malam itu, di saat kami sudah lelah, suhu di luar 0 derajat Celcius, sajian kuah yang gurih meski tanpa MSG, disertai kim chi yang segar dan rumput laut yang garing memuaskan lidah dan mengenyangkan perut.
Dari tempat makan menuju Hotel Ramada di Sokcho ditempuh dalam 15 menit saja. Setelah cek in, kami pergi jalan2 menyusuri toko-toko di sekitar hotel. Meskipun di luar sangat dingin, tapi kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada.
Kebanyakan restoran seberang hotel menyediakan live seafood. Namun karena malam itu baru turun hujan, maka restoran2 tersebut sepi dikarenakan adanya mitos bahwa di hari hujan, mereka tidak boleh makan ikan.
Setelah puas menyusuri toko-toko disana, kami berjalan menuju hotel untuk beristirahat. Tidak lupa minum Tolak Angin handalan dulu wkwkwk.. Udara dingin, badan lelah, mata lima watt, paling enak mandi air hangat lalu selimutan.

Korea Trip – Day 1


Saya bukan penggemar drakor. Bukan ga suka, tapi ga ada waktu. Nonton TV aja jarang (baca:lebih sering ‘nonton’ FB dan IG).

Waktu suami mengajak liburan ke Korea, saya enggan. Masalahnya, pas tanggal2 itu, anak-anak sedang menjalani Final Test dan si sulung juga berulang tahun. Tapi daripada suami ngajak yang lain, dan setelah kami bermusyawarah dengan anak2, akhirnya saya setuju.

\n

Baru pertama kali pergi berdua dengan suami mengunjungi negara Asia. Dan terus terang pengetahuan saya tentang Korea sangat minim dibanding ibu2 pecinta drakor. Jadi saya tidak berharap terlalu banyak selain pergi untuk mengenal negara ini dan menikmati masa-masa berdua lagi.
Penerbangan dengan Asiana Airlines berangkat tengah malam. Pesawat yang cukup terawat dan nyaman. Pramugarinya tentu mayoritas orang Korea, dan mereka terlihat serupa: ramping semampai dan wajah berkilau.
Saya sempat menyimak satu drama Korea berjudul “On Your Wedding Day” sebelum akhirnya terlelap. Drama Korea memang membangkitkan sisi romantis dalam diri kita. Seolah-olah ada mesin waktu yang membawa kita ke masa-masa SMA.
Penerbangan ditempuh dalam waktu 6.5jam, tepat sesuai jadwal. Tiba di Incheon Airport pukul 8 pagi, kami disambut dengan suhu yang cukup dingin. Belum minus, hanya 8 derajat Celcius. Local guide yang menemani group kami selama 6 hari di Korea bernama Erick, oang Korea asli, dan dia didampingi oleh asistennya yang juga seorang fotografer profesional (katanya), bernama Kuma. Erick sangat fasih berbahasa Indonesia. Beliau pernah belajar bahasa Indonesia dan tinggal di Jakarta selama 10 bulan. Sekilas tidak ada perbedaan antara Erick dengan pria dari group kami. Yang membedakan adalah.. wajah Erick terlihat sangat mulus terawat dan berkilau layaknya Oppa2 yang sering saya lihat di internet.

Sepanjang perjalanan menuju Nami Island yang ditempuh kurang lebih 2.5jam, Erick menceritakan kisah Jenderal Nami yang karena jasanya, namanya diabadikan menjadi nama pulau tersebut. Setelah beberapa kali terlelap dan terbangun, akhirnya kami tiba di seberang Nami Island tepat di jam makan siang. Menu pertama yang kami cicipi adalah ‘Grilled Chicken’ yang disantap dengan daun selada segar ditemani dengan berbagai side dish – Kim Chi.

Beberapa bulan terakhir, saya berupaya menurunkan berat badan dengan mengurangi konsumsi nasi putih. Tapi nasi Korea, who can resist? Teksturnya yang pulen dalam porsi yang mungil, ditambah udara yang dingin menambah nikmat makan siang kami yang pertama.

Dari tempat makan, kami menyebrang menggunakan Ferry menuju Nami Island. Suami saya memiliki jiwa yang lebih ‘adventurous’ dan dia memilih untuk menyebrang menggunakan Flying Fox di ketinggian 80 meter atau sama dengan gedung 25 lantai dan panjang tali yang ditempuh sejauh kurang lebih 940 meter. Harga tiketnya 41,000 Won. (dikali Rp. 14)

Perjalanan naik ferry ditempuh dalam waktu kira2 10 menit. Kami langsung dibawa ke spot yang terkenal dalam film drama “Winter Sonata” dan diarahkan untuk berfoto dengan berbagai gaya oleh Kuma, sang fotografer. Waktu yang diberikan untuk melihat-lihat pulau tersebut 2 jam. Udara cukup sejuk dan setelah puas mengambil beberapa foto, suami mengajak untuk sewa sepeda. Saya menolak. “Takut keringetan trus nanti jaketnya bau,” begitu alasan saya. Suami sewa sepeda untuk setengah jam dengan harga 4000 Won.

Sambil menunggu suami, saya jalan perlahan-lahan menuju meeting point di dekat pelabuhan. Pulau Nami dikelola dan dikembangkan untuk tujuan wisata semata. Pulau yang kurang lebih luasnya 430,000m2, menyajikan berbagai restoran, cafe, art centre, toko souvenier dan beberapa stand makanan kecil. Meskipun tidak lapar, namun saya tergoda oleh bau harum barbeque dari Nami Sausage, so I bought one for 3000 WON.

Dari Nami Island kami melanjutkan perjalanan untuk bermalam di Sokcho. Sebelum sampai hotel, kami makan malam dengan menu Bulgogi. Erick menceritakan perbedaan Bulgogi yang kita temui di Indonesia biasanya di grill, namun sesungguhnya, Bulgogi itu disantap dalam bentuk berkuah.

Kebudayaan Korea mengharuskan kami untuk melepas sepatu sebelum masuk ke rumah atau restoran. Selalu disediakan rak sepatu di dekat pintu masuk.

Rumah makan tersebut tidak sebesar dan semewah restoran Korea di Indonesia. Tempatnya sederhana, namun bersih dan nyaman. Kebanyakan bisnis di Korea tidak memiliki banyak karyawan layaknya di Indonesia, karena gaji minimum disana sekitar 25 juta per bulan. Jadi, untuk restoran kecil seperti ini biasanya hanya dikelola oleh keluarga.
Bisa dibayangkan betapa nikmatnya makan malam itu, di saat kami sudah lelah, suhu di luar 0 derajat Celcius, sajian kuah yang gurih meski tanpa MSG, disertai kim chi yang segar dan rumput laut yang garing memuaskan lidah dan mengenyangkan perut.
Dari tempat makan menuju Hotel Ramada di Sokcho ditempuh dalam 15 menit saja. Hotel yang cukup bersih dan nyaman. Setelah menaruh koper di kamar, kami pergi jalan2 menyusuri toko-toko di sekitar hotel. Meskipun di luar sangat dingin, tapi kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang ada.

Kebanyakan restoran seberang hotel menyediakan live seafood. Namun karena malam itu baru turun hujan, maka restoran2 tersebut sepi dikarenakan adanya mitos bahwa di hari hujan, mereka tidak boleh makan ikan.

Kami memasuki beberapa mini market di sekitar situ dan saya mulai menghitung harga dalam rupiah dan membandingkan dengan harga barang tersebut di Indonesia. Terus terang tidak terlalu banyak berbeda, hanya terpaut 10-20 ribu rupiah.

Setelah puas menyusuri toko-toko disana, kami berjalan menuju hotel untuk beristirahat. Namun sebelum tidur, saya mencoba mengikuti petuah Erick untuk membuka air panas dan membiarkannya mengalir beberapa menit agar udara di dalam kamar tidak terlalu kering. Kami juga disarankan membasahi handuk kecil dan menyimpannya di dalam kamar.

Udara dingin, badan lelah, mata lima watt, paling enak mandi air hangat lalu selimutan. Tidak lupa untuk minum larutan herbal handalan untuk menangkal angin… Orang Indonesia pasti tau yang dimaksud. #orangpintarminum….

Begini rasanya berada di puncak gunung.


Saya bukan tipe orang yang suka berpetualang di alam. Bagi saya, aktifitas di luar itu ya secukupnya saja. Namun dengan bertambahnya usia, saya menyadari, bahwa akan ada masa-masa dimana saya ingin melakukan hal-hal tertentu namun terkendala oleh kondisi fisik.

Tahun lalu, keinginan untuk memanjat gunung ini sempat terbersit setelah saya melihat teman saya, Ririn Cen dan adik ipar saya, Sandra, yang sudah beberapa kali melakukannya. Mereka berdua memang rajin berolah raga dan memiliki fisik serta stamina yang hebat.

Akhirnya beberapa minggu yang lalu, keinginan itu pun terlaksana. Cukup mendadak, tanpa persiapan fisik. Saya berangkat bersama suami dan anak-anak serta keluarga adik ipar, sepupu dan anak-anaknya. Tujuh dewasa, tujuh anak-anak.

Saya mencari informasi dari Cen dan Sandra seputar lokasi dan medan yang akan ditempuh.  Menurut Cen, jarak tempuh terpendek adalah dari jalur Pendem, yang pernah dilaluinya bersama temannya dalam waktu 2 jam saja. Gerbang Pendem tempat parkirnya juga cukup nyaman. Cen meyakinkan saya bahwa saya akan baik-baik saja dan Gunung Andong adalah salah satu gunung yang ramah untuk didaki.

Sedangkan informasi yang saya dapat dari Sandra, dia pernah melalui jalur Sawit yang katanya mungkin lebih jauh namun lebih landai. Dia juga mengirim satu foto temannya yang juga baru saja kesana. Saya lihat sepertinya jalurnya mudah untuk dilalui.

Akhirnya saya putuskan untuk melewati jalur Pendem sesuai anjuran Cen2. Selasa malam saya mempersiapkan pakaian dan tentunya bekal untuk di perjalanan.

Jam 3 subuh kami berangkat dari rumah menuju arah Kopeng mengikuti petunjuk dari Google map dan tiba di parkiran jalur Pendem pukul 4.15. Kami membeli tiket untuk 7 dewasa @Rp. 7.000,- Anak-anak tidak perlu membeli tiket. Kami mendapatkan selembar peta sebagai petunjuk. Peta buta.

Sebelum mulai pendakian, tentunya kami tidak lupa untuk foto bersama di gerbang Pendem. Lalu kami menyusuri jalur menuju puncak.  Awal pendakian tanjakan masih ramah, karena masih di kaki gunung. Jalanannya pun masih lebar dan berpaving. Sudut tanjakan sekitar 20 derajat. Namun setelah 10 menit berjalan, saya mulai melepas jaket karena mulai berkeringat. Lalu jalanan mulai menyempit dan hanya setapak dengan sudut tanjakan sekitar 45 derajat. Berbeda dengan medan di foto yang saya lihat kemarin (yang ternyata adalah foto di puncak hahahaha).

IMG-20180620-WA0071

IMG-20180620-WA0081.jpg

Sesekali saya mengecek anak-anak… “Nicho… Nielsen … kalian dimana.. ?” Karena semakin lama, group kami mulai merenggang. Yang ringan-ringan (baca: langsing) sudah melesat jauh di depan… sementara… saya… berusaha sekuat tenaga agar tidak keduluan oleh munculnya Sang Surya.

Sempat terbersit dalam benak, “tau begini beratnya, ya gak usah naik gunung”. Perasaan yang sama ketika mengalami masa ‘labour’ berjuang melahirkan si sulung 10 tahun yang lalu “tau begini sakitnya, gue pilih cesar” wkwkwkwk…

Setelah kira-kira satu jam, langit sudah mulai terlihat. Saya menengok ke belakang… dan ternyata pemandangan yang sangat indah… awan-awan bergelantungan menutupi lereng gunung yang entah namanya gunung apa di seberang sana. Lampu-lampu berkilauan di sela-sela kabut yang menutupi lembah.

IMG-20180620-WA0082IMG-20180620-WA0083IMG-20180620-WA0084

Saya berhenti sejenak untuk menikmati keindahan ciptaanNya sambil tentunya mengelap tetesan keringat yang sudah membasahi seluruh baju saya dan ransel yang saya bawa. Saya bisa melihat rombongan kami yang sudah agak jauh dan tinggi di depan sana, termasuk anak-anak saya. Sesekali, suami mendorong saya dari belakang, atau menarik saya apabila medan terlalu curam. Di sela-sela nafas yang sudah “ngos-ngosan” saya mendengar si kecil berteriak… “Ma…., nanti Mama jangan marah ya kalau nyuci celana Nielsen!” Celotehan si kecil membawa suasana menjadi renyah dan saya bersemangat kembali.

IMG_6385

Semakin tinggi, semakin banyak kami berpapasan dengan orang-orang yang sedang menantikan munculnya sang mentari. Langit pun sudah mulai terlihat jingga. Sang Surya sudah mulai mengintip.  Senter sudah tidak diperlukan lagi. Jalan setapak sudah terlihat jelas. Puncak gunung sudah terlihat. Ah.. sudah dekat… akhirnya saya melihat hamparan tenda-tenda dan para pendaki yang sudah bermalam disitu. Setelah lebih dari 1 jam mendaki, kami sampai ke Puncak Alap-Alap – 1692 meter di atas permukaan laut.

IMG_641220180620_06120720180620_062503

IMG-20180620-WA0033IMG-20180620-WA0040IMG-20180620-WA0051IMG-20180620-WA0061IMG-20180620-WA0064IMG-20180620-WA0067IMG-20180620-WA0085

Anak-anak terlihat gembira dan menikmati keberhasilan mereka mencapai puncak. Kami mencari warung yang katanya menjual mie instant. Namun ternyata warungnya tutup.

Suami dan adik ipar menerbangkan drone nya sejenak, mengcapture moment yang tak akan terlupakan. Setelah beristirahat dan foto-foto sejenak, kami melanjutkan perjalanan ke puncak satunya yang lebih tinggi…. yaitu Puncak Andong.

IMG-20180620-WA0019IMG_6444

Dari Puncak Alap-Alap kami bisa melihat dengan jelas jalur menurun dan lalu menanjak untuk mencapai puncak tersebut. Berharap warung di puncak itu buka karena anak-anak sudah kelaparan.

Sesampainya di Puncak Andong, ternyata kemahnya semakin banyak dan sangat padat. Spot untuk foto dengan bendera di puncak tersebut sangat ramai dan antri sehingga kami malas untuk foto disitu. Kami langsung menuju warung yang dimaksud dan syukurlah warungnya buka. Karena padatnya pengunjung pagi itu, kami menunggu cukup lama untuk mendapatkan 12 mangkuk Pop Mie terakhir yang ada di warung itu.

Saya malas berfoto karena kondisi sudah basah kuyup, entah alis masih utuh atau tidak, yang pasti saya tidak ikut foto2 dengan yang lain. Saya berusaha menikmati pemandangan yang sungguh sangat indah dari puncak sana. Dalam hati saya berkata, “ah… apalah kita ini di mata Sang Pencipta, sungguh sangat kecil dibanding alam semesta”

Tiba saatnya untuk turun dan kami memilih menyusuri jalur Sawit yang lebih landai. Memang betul sangat berbeda dengan medan ketika kami naik tadi, namun tetap sulit untuk dijalani karena kami harus menahan berat badan kami dalam setiap langkah kaki. Keringat kembali menetes. Ah untunglah saya membawa handuk kesayangan…. Karena tissue sudah tidak sanggup lagi hahahaha…

Anak-anak sangat gesit, sehingga dalam sekejap, mereka sudah tidak tampak dalam pandangan saya. Beberapa kali saya berpapasan dengan kelompok yang naik lewat jalur tersebut. Dan beberapa kali saya disalip oleh para pendaki yang hanya memakai sendal jepit atau sendal gunung sambil membawa tenda di punggung dan berlari turun dengan lincahnya.

 

20180620_080902

Setiap melewati beberapa warung atau pos, saya rehat sejenak untuk minum dan mengambil foto. Hingga akhirnya saya melihat sebuah jalanan berpaving yang panjang dan landai! Yes… finally.

Saya tiba di parkiran Pendem sekitar pukul 8.45. Basah kuyup, lelah, lutut gemetar dan rasanya ingin pulang, mandi, dan tidur. Padahal kami sekeluarga berencana akan menginap di Jogja, namun rasanya sudah tidak mau kemana-mana lagi selain… HOME!

Itulah yang bisa saya bagikan. Kalau ditanya, kapok atau engga? Well, pengalaman naik gunung ini buat saya persis seperti waktu labour hendak melahirkan. Sakit, yes. Tapi sakitnya lupa setelahnya. Jadi, gunung selanjutnya? Siapa takut!

Pelajaran yang didapat?

Untuk mencapai puncak, kita harus mengarungi lembah, menapaki lereng yang curam dan terjal. Untuk meraih kesuksesan, harus ada usaha dan pengorbanan yang dilakukan. Earn it, enjoy it.

Tips bagi yang mau mencoba:

  1. Berdoa, minta hikmatNya, apakah kira-kira kondisi kita mampu untuk kegiatan ini. Cari info sebanyak mungkin mengenai medan gunung yang akan kita daki.
  2. Siapkan mental dan fisik dengan matang. Stretching dan pemanasan dulu sebelum mendaki. Untuk yang lututnya pernah cedera, sebaiknya tidak usah melakukan aktifitas ini.
  3. Tidak perlu memakai jaket yang tebal karena ternyata di puncak sana tidak terlalu dingin. Hanya angin. Dan sepanjang pendakian pastilah berkeringat. Tapi harus cek juga kapan kita kesana, karena beda bulan, beda musim.
  4. Minum secukupnya selama pendakian supaya tidak beser. Minum yang banyak setelah selesai. Disarankan bawa botol minum model ‘click’, jadi ga usah diputar dan tidak khawatir jatuh tutupnya.
  5. Bawa perlengkapan secukupnya, jangan membawa beban terlalu banyak.
  6. Cobalah mulai pendakian pukul 4 dari kaki gunung supaya dapat menikmati indahnya matahari terbit dari puncak Andong.
  7. Jangan menunda hingga raga menua. Do it now.

“God is Too Wise to be Mistaken” (part 1)


21 Oktober 2014, 11.30 pm – Ketika 2 garis itu muncul, saya cukup terkejut lalu tersenyum. Sudah tidak sabar untuk menyampaikan berita ini pada Alvin. Saat itu dia sedang berada di Bandung.

Paginya, saya kirim foto hasil test pack itu dan ternyata reaksinya pun kaget bercampur bahagia. Dan selanjutnya saya menyampaikan kabar gembira ini pada orang-orang terdekat saya. Reaksi mereka semua tentunya sama – they were happy for me.

Kami memberi tahu anak-anak kami bahwa mereka akan mempunyai adik. Saya bertanya pada Nicholas, si sulung,”Nicho mau adiknya cewe apa cowo?”

“Nicho mau adik cowo,” jawabnya.

“Nicho kan udah punya adik cowo satu, kalo satu lagi adiknya cewe aja gimana?”

“Lho Ma, memangnya kita bisa beli ya?” Nicho bertanya dengan polosnya

Sedangkan si bungsu, Nielsen, tidak ingin punya adik lagi… “Nielsen ga mau punya adek lagi”.

Tapi kemudian mereka berdua sepakat ingin mempunyai adik cowok. Dan kami mulai mencarikan nama untuk si kecil. Tentunya nama dengan awalan N.

Saya mengusulkan memberi nama sementara “Nixon” (gabungan antara Nicholas dan Nielsen dibaca Niksen) atau Nicole. Jadi kami memanggil si kecil dengan kedua nama tersebut.

27 Oktober 2012, kami cek ke dokter untuk memastikan kehamilan saya. Menurut tampilan di layar USG, ada kantung kehamilan dengan bentuk sempurna yang terlihat di tempat yang tepat. Walaupun di dalam kantung itu belum terlihat apa-apa, namun dokter  mengkonfirmasi bahwa saya hamil. Dihitung dari LMP (Last Menstruation Period), kehamilan saya berusia 6 minggu.

foto usg

Sepulang dari dokter, kami semua berbunga-bunga. Sebetulnya saya pribadi tidak ingin mengumumkannya pada teman-teman hingga akhir trimester pertama nanti… tapi Alvin tidak tahan untuk tidak mengumumkannya pada dunia. Dia mengupload printout USG tadi di wall Facebooknya. Ucapan selamat dari teman-teman pun berdatangan.

Suasana yang baru dapat kami rasakan. Sayangnya, saat itu kami sedang tidak memiliki pembantu, sehingga porsi pekerjaan rumah menumpuk. Seperti yang dulu-dulu, di minggu-minggu pertama kehamilan saya selalu disertai dengan rasa sakit di bagian pinggul belakang, sehingga gerak-gerak tertentu sangat terbatas. 2 minggu kemudian rasa sakit itu hilang dan saya bisa bergerak lebih nyaman.

Saya pun mulai membongkar baju-baju hamil yang masih saya simpan karena celana sudah mulai sesak. Saya mulai memikirkan akan melahirkan dimana, dengan dokter siapa, di Semarang atau di Melbourne. Memikirkan tentang melahirkan ada sedikit perasaan takut. Hamil dan melahirkan adalah suatu anugrah untuk seorang wanita, namun proses yang harus dijalani (the labour and delivery) bukan sesuatu yang di ‘look forward’ except the thought and the feeling of meeting the gift itself.

Semua berjalan dengan baik hingga satu hari saya ambruk. Kelelahan secara fisik dan mungkin hormon kehamilan yang membuat emosi saya menjadi sangat labil. Saya merasa tidak sanggup untuk menjalaninya. Setiap hari bangun jam 5 pagi menyiapkan anak-anak ke sekolah lalu mengantar mereka dan baru kembali ke rumah minimal jam 3 siang.  Setelah itu saya harus mencuci baju, menjemur, menyetrika, mencuci piring-piring kotor, memvacuum dan mengepel lalu menidurkan anak-anak. Begitu cycle nya setiap hari.

Akhirnya, karena saya sangat kelelahan, saya minta pada Alvin untuk mengantar anak-anak ke sekolah sementara saya mengerjakan tugas rumah tangga beberapa jam lalu menjemput anak-anak. Namun tetap saja pada akhirnya saya dan anak-anak terkena flu dan setelah 4 hari flu, hari Minggu 9 November 2014  mulai keluar flek. Saya cukup kaget karena kehamilan-kehamilan sebelumnya tidak pernah bermasalah.  Senin, Selasa, Rabu masih keluar flek walaupun tidak banyak. Saya mulai slowing down. Saya coba fokus pada tugas harian yang tidak bisa dikompromi saja.

Kamis, 13 November 2014, saya putuskan untuk cek ke dokter. Dokter yang kemarin saya datangi tidak praktek hari itu, dan akhirnya saya telepon Rumah Sakit lainnya untuk mencari dokter yang praktek hari itu. Puji Tuhan saya mendapat dokter lain yang juga cukup terkenal bagus dan teliti.

Sewaktu saya di USG, dokter bilang kurang jelas dan ukuran janinnya kelihatan lebih kecil dari usianya. Dia menyarankan untuk USG “dalam”. Hm.. despite the joy of being pregnant, selalu ada sisi ‘gak enaknya’ jadi wanita. Selain gejala-gejala fisik yang timbul dari kehamilan seperti mual dan sakit panggul, pemeriksaan fisik juga seringkali membuat kita risih.

USG dari angle yang berbeda memang jauh lebih jelas. Disitu terlihat kalau kantung kehamilan bentuknya tidak sempurna seperti USG pertama kali usia 6 minggu. Sebelah kanan agak pipih, dan betul, size janin menurut USG machine berukuran 6 minggu 2 hari, yaitu 0.54cm. Very small indeed dan belum terlihat ataupun terdengar detak jantung.

Setelah selesai USG, dokter menjelaskan pada kami hasil observasinya. Kantung kehamilan yang sedikit pipih dan ukuran janin yang berbeda dengan usia kehamilan menjadi faktor yang dikhawatirkan sang dokter. Saat itu saya sungguh tidak menyangka kalau kehamilan ini ada ‘masalah’, mengingat dulu-dulu semua berjalan lancar. Saya tanyakan apa yang menjadi penyebabnya? Apakah faktor usia?

Dokter bilang, mungkin juga faktor usia sehingga indung telur yang dibuahi kualitasnya kurang prima. Dokter memberikan 3 jenis vitamin yang semuanya untuk menguatkan kandungan dan membantu pertumbuhan janin untuk 7 hari, dan dijadwalkan untuk kontrol minggu depan.

Sejak cek up hari itu, saya putuskan untuk bedrest dan tidak bepergian selama seminggu.  Alvin yang mengantar jemput sekolah anak-anak. Terus terang saya tidak bisa bedrest total karena tetap harus menyiapkan anak-anak sekolah dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Tapi setidaknya saya tidak keluar rumah.

Jumat pagi perut saya terasa mules dan keluar darah segar, bukan flek. Saya panik dan segera telepon ke rumah sakit untuk konsul dengan bidan. Bidan menyarankan supaya saya bedrest dan apabila ada kontraksi lagi dan keluar darah, maka harus ke rumah sakit.

Sabtu pagi, ketika saya sedang bersantai dengan anak-anak di ranjang dan akhirnya ketiduran, tiba-tiba Alvin telepon, katanya ada Inge dan Teddy di luar rumah. What?? Ngapain mereka kesini ya? I was still in my PJ and having a bad hair day, and all of a sudden they turned up.…  tertangkap basah deh! Rumah dalam keadaan gawat darurat karena sudah beberapa hari tidak dipel dan tidak dibereskan. A big mess!

Ternyata mereka datang membawa berkat jasmani  – HOLLAND – martabak terang bulan dan martabak telor! God is good… di saat rumah tidak ada ransum hahaha… tiba-tiba saja ada sahabat yang teringat saya. Thanks Inge and Teddy for the surprise (please excuse the messy house).

Holland

Hari Minggu ketika anak-anak dan Alvin pergi ke gereja, saya kembali seorang diri di rumah. Bosan tiduran dan Facebook-an terus, akhirnya saya ganti haluan. Nonton TV! Sudah lama sekali saya tidak nonton TV. Ga ada waktu! Biasanya hari berlalu begitu cepat dengan kesibukan-kesibukan yang ada. Namun kali ini, waktu terasa berjalan sangat lambat.

Dari sekian banyak chanel yang ada, akhirnya pilihan jatuh pada “LIFE” chanel. Film dokumenter dengan judul “Eric Liddell”. Saya tidak pernah mendengar nama itu, namun saya tertarik untuk menyimak. Eric Liddell adalah seorang atlit marathon yang sangat terkenal di Scotland yang menolak untuk bertanding pada hari Minggu di Olimpiade 1942. Eric mengabdikan hidupnya menjadi seorang misionaris di China dan telah menyentuh banyak jiwa melalui pengabdiannya tersebut. Di akhir film dokumenter tersebut, ditampilkan murid-murid Eric yang masih hidup hingga saat ini, tentunya sudah berusia lanjut dan mereka memberikan kesaksian tentang hidup Eric yang sangat menyentuh mereka secara pribadi dan bagaimana mereka bisa melihat Kristus dalam apa yang dilakukan Eric.Untuk menyimak kisah Eric selanjutnya bisa lihat di Youtube http://www.youtube.com/watch?v=eqHEYnNSZeA

Kisah Eric sangat menyentuh buat saya. Saat itu saya baru menyadari betapa pelayanan yang saya anggap ‘sudah cukup banyak’ dan ‘sudah cukup porsi’ ternyata tidak ada apa-apanya dibanding pelayanan seorang misionaris. Mereka sungguh terjun untuk menjangkau orang-orang yang belum percaya Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat, mempertaruhkan jiwa dan raga.

Tentunya tidak semua orang memiliki panggilan dalam pelayanan seperti Eric. Namun terkadang kita lupa arti pelayanan itu sendiri ketika kita masih membawa ego kita dalam melayani Tuhan.

Sorenya saya diberkati lagi dengan kedatangan Vivi dan Andriaan yang membawakan oleh-oleh dari Solo – Bolu Gulo Jowo. Cocok untuk cemilan si bumil. Thanks Vivi dan Andriaan. Very thoughtful of you. God is good!

Bolu Gulo Jowo

Hari Senin puji Tuhan hari itu sudah dapat orang untuk membantu pekerjaan rumah tangga, jadi saya bisa istirahat lebih banyak. Untuk mengisi waktu, saya mengerjakan beberapa tugas pelayanan yang sudah menumpuk. Ah, ternyata bedrest membawa hikmah. Semuanya selesai dalam satu hari… *feeling productive*

Selasa sudah tidak keluar flek dan saya sungguh berharap perkembangan yang baik untuk janin saya.

Kamis, 20 November 2014, kami kembali ke dokter untuk melihat perkembangan baby Nixon.  Dalam penantian di ruang tunggu, hati saya berdebar-debar,  tidak sabar untuk melihat perkembangan sang bayi. Anak-anak pun sudah tidak sabar ingin melihat adiknya.

Kembali dokter menyarankan untuk USG dalam. Tampilan di layar sungguh membuat saya sedih. Kantung kehamilan semakin pipih dan ukuran janin bukannya bertambah malah menyusut. Usia janin menurut mesin USG adalah 6 minggu 2 hari, dan ukurannya 0.49cm, dan masih juga belum terlihat ada detak jantung.

Rentang perbedaan antara usia kehamilan (10 minggu) dan usia menurut ukuran janin (6 minggu) menjadi 4 minggu. Terlalu besar gap nya, kata dokter. Akhirnya dokter pun menyampaikan pendapatnya. Menurut pengamatan dia, dan perkembangan dalam seminggu terakhir, dokter berkesimpulan bahwa janin yang saya kandung tidak berkembang dengan sempurna.  Dokter menyarankan untuk dikuret.

KURET? Pikirku… beberapa kali saya mendengar kata ini dari teman-teman pernah mengalaminya.  Tapi kali ini harus terjadi pada diri saya sendiri.

Dokter tetap memberi pilihan apabila kami masih ingin mempertahankan dan melihat perkembangannya seminggu lagi. Dia memberikan 2 surat, satu berisi surat pengantar untuk kuret sewaktu-waktu di RS tersebut, dan satunya adalah resep untuk vitamin selama seminggu.

Saya menceritakan tentang pendarahan dan mules yang saya alami hari Jumat lalu. Dokter mengatakan itu adalah salah satu reaksi alami dari rahim untuk mengeluarkan janin tersebut karena rahim tau kalau janin tersebut tidak berkembang.

Alvin menanyakan apa resiko dan apa yang akan terjadi bila kami membiarkannya dan tidak melakukan tindakan apa-apa.  Dokter berkata bahwa lama-lama akan membusuk dan membahayakan ibunya, bisa terjadi pendarahan sewaktu-waktu dan itu berbahaya.

Kami keluar dari tempat praktek dokter dengan sedih dan kecewa. Apalagi saya teringat wajah Nicholas yang selalu menanyakan dan mendoakan adik bayi nya setiap malam.

Saya dan Alvin berdiskusi sejenak. Sedih dan tidak percaya itu terjadi pada kehamilan saya kali ini. Kami mencoba untuk meminta second opini malam harinya. Dokter yang kami temui adalah dokter yang juga sudah senior dan pernah memeriksa saya sewaktu hamil kedua anak saya.

Dokter ini melihat tampilan di layar USG dan menunjuk pada janin saya. Dia bilang, usia kehamilan ibu menurut LMP adalah 10 minggu. Usia janin ibu menurut ukuran di USG adalah 7 minggu. Dia tidak khawatir mengenai perbedaan antara usia dan ukuran janin. Dia juga tidak khawatir kalau hingga saat ini belum terlihat detak jantung. Dia juga tidak khawatir ketika saya menceritakan tentang flek dan pendarahan disertai rasa mules weekend lalu. Dia hanya menyarankan untuk banyak istirahat, tidak kelelahan dan meresepkan 2 vitamin penguat.

Sepulang dari dokter tersebut, saya dan Alvin semakin bingung. Entah apa yang harus kami lakukan. Mungkin mesin USG yang ada di RS itu sudah kuno sehingga tidak bisa melihat janin dengan jelas. Jadi dokter tersebut tidak terlalu khawatir akan ukuran janin. Saya coba bertanya pada 2 orang teman yang pernah mengalami flek dan kuret karena kasus yang sama. Teman yang pertama mengalami flek selama 5 bulan tapi janinnya berkembang dengan baik dan tidak ada masalah. Teman yang kedua mengalami 2x kuret karena janin tidak berkembang.

Jumat pagi, bangun tidur saya merasa sangat galau. Perasaan bercampur aduk. Bingung, sedih, dan merasa bersalah. Menuduh diri sendiri dengan berbagai tuduhan, seolah saya sedang mencari kambing hitam atas tidak berkembangnya janin ini.  Melihat di kaca, rasanya wajah saya tidak karuan. Rambut saya berantakan. Mata saya tidak bersinar. Persis seperti ungkapan rasa galau dan frustasi.

Siang itu, saya memohon ampun apabila saya seringkali take things for granted, dan saya memohon agar Tuhan sendiri yang memberikan peneguhan akan pendapat kedua dokter ini.

“Tuhan, apabila janin ini memang tidak berkembang dengan sempurna, maka biarlah terjadi reaksi alami dari tubuh ini, dan sebaliknya apabila janin ini memang bisa dipertahankan, mohon campur tangan Tuhan yang menyempurnakan dan menguatkan,” begitu doa yang saya panjatkan.

Setelah saya selesai berdoa, saya merasa lebih lega. Beberapa teman menanyakan bagaimana hasil kontrol dengan dokter kemarin. Saya mensharingkan apa yang sedang kami gumulkan. Saya sangat bersyukur memiliki teman-teman yang sangat supportive dan selalu ada untuk saya.

Alvin tiba di rumah bersama anak-anak membawa bingkisan dari dua teman saya: Ika dan Ike. Ika menitipkan Nasi Ayam Panggang, dan Ike memberikan roti isi buatannya.  Pas banget lagi laper… tadi siang cuma makan nasi dan abon – menu emergency. God is good! Thank you sweet ladies (tidak ada fotonya karena sangking lapernya ga sempat difoto).

Malamnya saya pergi ke ICARE, my second family at my home church. Setelah sekian lama tidak berkumpul dengan teman-teman (padahal baru 2 minggu saja), senang rasanya bisa bertemu kembali.  Bersyukur sekali kalau malam itu saya hadir di ICARE karena ada kesaksian spesial dari Bapak Andy Prawira dari Bali, beliau menceritakan kisah hidupnya yang sungguh memberkati kami semua.

Beliau adalah anak yang terhilang karena tidak memiliki figur seorang ayah, dan mengalami berbagai pergumulan hidup yang luar biasa – drug, dugem hingga masuk penjara. Namun justru di penjara itulah dia bertobat dan keluar dari penjara menjadi seorang pribadi yang baru yang membawa perubahan bagi orang-orang yang terhilang.  Kisah hidupnya yang kelam, justru Tuhan pakai sebagai bekal dalam pelayanannya saat ini. God is good!

When the time comes, don’t say ‘good bye’ but ‘see you later’


Kita ini sedang mengantri ke liang kubur.  Cuma tinggal tunggu harinya saja. Tapi yang pasti, semua orang akan mati. Jadi, pergunakanlah waktu yang masih Tuhan beri, hiduplah dengan baik dan nikmatilah, jangan pikirkan terlalu banyak tentang masalahmu…” begitulah kata-kata seorang hamba Tuhan sewaktu saya konseling pribadi dengannya di Sydney, tahun 2001.  Saya masih mengingatnya hingga saat ini karena walaupun jawaban dia tidak ada hubungannya dengan problema yang waktu itu saya hadapi alias gak nyambung, namun membuat saya berpikir lebih dalam tentang ‘arti hidup’ yang sesungguhnya.

Minggu tanggal 18 Mei 2014, seperti biasa kami pergi ke gereja. Setelah saya mengantar makanan untuk anak-anak di rumah, saya pergi ke rumah sakit untuk menengok Papi Liong – papi mertua saya – dengan terburu-buru karena dikabari oleh adik Alvin bahwa nafas Papi semakin berat. Papi masuk rumah sakit sehari sebelumnya karena kesulitan bernafas akibat berkurangnya fungsi paru-paru karena kanker yang ada di paru nya semakin membesar. Namun saya tidak menyangka kalau hari itu adalah hari perpisahan kami di dunia ini.

Kami sangat sedih dan berduka akan kepergian Papi, namun kami sangat yakin Papi sudah menjalani hidup ini dengan sebaik yang dia mampu dan Papi sudah bebas dari penderitaan dan sakit penyakit. Kami akan selalu mengenang that “Golden moment” ketika kami mengantar dan menyaksikan kepergian Papi dalam damai sejahtera pukul 18.05 WIB di saat Pendeta Jerdi membacakan perikop Mazmur 23:

TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.

Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;

Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya.

Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.

Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.

Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa

Tubuh yang fana akan menjadi abu, namun teladan dan kasih sayang Papi akan kukenang selalu dan akan kuteruskan pada anak cucuku. Selamat jalan Papi Liong, sampai bertemu kembali di rumah Bapa ….