Perjalanan Iman melalui “Kawasaki Disease” – part 7


Senin, 25 Februari 2013, jam 10 dokter datang untuk memeriksa Nielsen. Sejak Gammaraas masuk, yang berarti sudah lebih dari 24 jam, suhu tubuh Nielsen masih belum mencapai below 37⁰ C . Menurut dokter, biasanya dalam waktu 24 jam suhu tubuh akan kembali normal, tapi memang ada juga kasus dimana pemberian Immuno Globulin dilakukan 2x karena pemberian yang pertama tidak merespon. Namun itu sangat jarang. Tapi tidak apa-apa, dokter bilang, tunggu sampai besok.

Saya merinding membayangkan yang terburuk. Saya berusaha untuk berpikir positif, tapi tentu saja sebagai manusia selalu tersirat juga pikiran-pikiran negatif, apalagi sudah beberapa hari saya research dan memang ada kasus-kasus seperti itu. Di salah satu forum Kawasaki disease pernah diceritakan dimana seorang pasien yang ditangani oleh dokter yang juga tidak mengerti tentang komplikasi penyakit Kawasaki sehingga pasien ini harus berpindah rumah sakit yang berada di negara bagian (United States) yang lain untuk mendapatkan perawatan yang tepat.

Setelah dokter meninggalkan kamar kami, saya menelepon adik saya. Saya merasa perlu didoakan oleh seorang hamba Tuhan. Saya merasa sangat lelah secara fisik dan mental. Saya memerlukan penyegaran rohani. Saya tanyakan apa di gerejanya ada pelayanan kunjungan yang bisa mampir kesini. Sebetulnya saya tidak enak kalau meminta hamba Tuhan itu datang jauh-jauh kesini, tapi menurut adik saya, biasanya memang ada kunjungan, mungkin per wilayah. Dia kan coba tanyakan ke pendeta yang biasa melayani dia.

Siang itu ada telepon masuk dengan nomor yang tidak saya kenal. Sejak memakai Blackberry, saya jarang sekali menerima telepon, kecuali dari teman yang tidak punya akses ke BBM, telepon dari luar negeri yang mungkin saja Mami atau adik saya atau sales asuransi dan kartu kredit (cukup familiar?).

“Halo.. Halo… Peila?” suara itu terdengar sangat familiar.

Meskipun sudah 7 tahun meninggalkan Australia, saya tidak sedikit pun ragu siapa yang menelepon saya. Itu suara Tante Indri. Tante Indri adalah salah seorang majelis di gereja saya sewaktu saya tinggal di Melbourne.

“Tante Indri? Halo Tante… ini Peila,” jawab saya senang.

“Peila, Tante sudah mendengar berita tentang anakmu, dan kami jemaat dan majelis disini turut prihatin dan terus mendoakan dari sini. Jangan berhenti berharap ya. Tuhan pasti akan sembuhkan anakmu.”

“Iya Tante, terima kasih sekali untuk perhatiaannya.”

“Ya Tante cuma ingin memberikan kamu support dari sini, kamu tidak sendiri ya Pei. Percayalah Tuhan pasti tolong. Yang kuat dan sabar ya.”

“Ya Tante, terima kasih.”

“Ya segitu aja ya Pei, Tante cuma mau sampaikan itu aja. God bless you.”

“Ok Tante, thank you. Bye.”

Wow, saya terharu. Begitu banyak perhatian dari teman-teman dan kerabat. Memang sejak Nielsen didiagnosa Kawasaki, saya mengumumkannya di Blackberry dan Facebook untuk memohon dukungan doa. Saya percaya doa-doa orang benar akan didengarNya.

Setelah makan siang, Nielsen teriak-teriak sambil menunjuk tangannya yang diinfus. Dia bilang,”Sakit, sakittt!” Saya panggil suster dan ternyata lengannya bengkak. Mungkin karena sudah 3 hari dan memang harus diganti. Oh tidak, terbayang bagaimana dia akan meronta, memohon dengan matanya. Saya tidak bisa membayangkan itu terjadi lagi. Tapi tidak ada pilihan lain. Infus harus tetap masuk.

Sewaktu infusnya dilepas, Nielsen sangat senang sekali dan dia pikir sudah selesai. Namun ketika kami mulai memegangnya untuk memasang infus di lengan sebelahnya, dia mulai teriak dan meronta, suaranya memohon dengan lirih.

“Ga mau Ma… ga mau… sakit….sakit….”

Saya bilang sama susternya, boleh tidak kasih waktu sebentar bebas infus sejenak. Nanti kalau sudah tenang kita bawa lagi kesini. Susternya mengijinkan.

Satu jam kemudian, suster masuk untuk cek suhu tubuh Nielsen. Kami terkejut karena suhunya di atas 38⁰ C. Sebelum infusnya dicabut, suhunya masih di atas 37⁰ C tapi tidak sampai 38⁰ C. Lalu susternya menyarankan untuk segera pasang infus lagi.

Dengan berat hati, saya harus membawa Nielsen lagi ke ruangan itu.  Hati saya sudah menangis duluan. Saya tidak tega melihatnya, tapi saya harus melakukannya. Maaf ya Nielsen, ini demi kebaikanmu Nak.

Belum masuk saja Nielsen sudah menangis. Dia sudah tau tempat apa itu. Suster memanggil bala bantuan. Saya minta supaya yang memasang infus suster yang sudah berpengalaman. Seorang petugas laboratorium dipanggil untuk membantu. Saya memeluk Nielsen sambil menangis dalam hati. Sementara suster yang satu memegangi lengan Nielsen dan yang satu membantu memasang perban.

As I’m writing this section, Tuhan mengingatkan saya “Itu hanya jarum suntik yang kecil dan bukan paku di tangan”. Betapa besar kasihMu Tuhan, Engkau rela mengorbankan anakMu…. Saya membayangkan betapi hatiNya hancur ketika Yesus  disiksa, dicambuk, dipaku, ditusuk dan disalib.

Sekitar jam 3.30, adik saya datang bersama kedua temannya, Lusi dan Fitri. Hari itu Ii AA membawa pesanan Nielsen yaitu susu kedele dan roti keju. Sejak Nielsen disapih, saya tidak memberi susu formula. Saya pikir dia sudah bisa makan nasi, dan nafsu makannya cukup baik, jadi sudah tidak perlu lagi susu. Selain itu, saya membaca satu buku yang mengindikasikan bahwa susu itu sebetulnya kurang baik bagi tubuh kita di kemudian hari, walaupun memang kandungan kalsiumnya sangat tinggi. Susu sapi untuk anak sapi – begitu katanya.

Nielsen senang melihat Ii AA, apalagi hari itu Ii AA membawa banyak mainan. Dia sibuk memilih mainan mana yang akan dia mainkan terlebih dahulu. Sementara saya, senang karena bisa relax sejenak, dan merasa terhibur karena ada teman ngobrol.

Mainan dari Ii An-An

Mainan dari Ii An-An

Dua jam kemudian, kami kedatangan tamu. Dia memperkenalkan diri sebagai hamba Tuhan yang ditugaskan untuk mendoakan saya dan Nielsen. Saya lupa tidak mencatat namanya. Sebelum kami mulai, kami berbincang-bincang sedikit tentang Nielsen. Lalu dia mulai membuka Alkitabnya.

Hamba Tuhan itu bertanya pada saya, dimana suami saya. Saya bilang kalau suami saya tidak ikut karena harus bekerja dan menjaga anak saya yang besar. Lalu dia bertanya lagi, apakah saya dan suami saya sering bersaat teduh dan berdoa bersama. Saya menggeleng.

Lalu dia menjelaskan bahwa suami istri itu harus sehati dan kalau bisa, mengadakan mezbah keluarga setiap hari.

Ya, saya sering mendengar kalimat itu, dan seringkali saya bertekad akan melakukannya. Tapi terus terang, terkadang untuk memulai itu sangat sulit. Saya bisa dengan mudah menyebutkan berbagai alasan mengapa saya belum melakukan itu. Pagi hari saya sibuk  menyiapkan anak-anak sekolah sehingga tidak sempat, sedangkan malam hari saya menidurkan anak-anak dan ketika anak-anak sudah tertidur, begitu pula suami saya. Tapi saya tahu, seandainya kita mau, pasti bisa.

Lalu hamba Tuhan itu mulai dengan membacakan satu perikop dari Mazmur. Ayat-ayat itu begitu menyegarkan jiwa, menguatkan roh dan memberikan pengharapan yang teguh. Setelah itu kami dilayani dengan Perjamuan Kudus.

Setelah kami selesai, ada 3 orang lagi yang berkunjung, namun saya tidak mengenalnya. Sepasang suami istri dan seorang wanita. Ternyata mereka adalah teman persekutuan doa dari suami Ketty. Mereka datang untuk memberikan support dan doa. How wonderful! They don’t even know me and Nielsen, tapi kami adalah saudara di dalam Kristus.

Lagi-lagi saya tidak mencatat nama sepasang suami istri tersebut. Mereka buru-buru karena sudah ada acara selanjutnya. Yang wanita bernama Ci Lana – seorang wanita yang berpenampilan rapih dan anggun.

Ci Lana lalu memperkenalkan dirinya dan dia bercerita bagaimana dia dulu pernah menderita Kawasaki sewaktu dia kecil,  tapi baru diketahui beberapa tahun terakhir ini. Awalnya, dia memeriksakan jantungnya, karena memang ada kelainan,  dan dokter jantung ini memberi tahu dia kalau pembuluh darah yang menuju jantung itu melebar. Yang artinya, dokter ini menyimpulkan kalau Ci Lana ini sewaktu kecil pernah kena Kawasaki tanpa diketahui. Lalu Ci Lana menanyakan pada orang tuanya dan memang betul, orang tuanya ingat pernah suatu waktu ketika Ci Lana kecil mungkin usia 2 tahun, dia demam berhari-hari . Tapi waktu itu belum ada dokter yang mengetahui tentang penyakit Kawasaki di Indonesia.  Setelah sekian lama akhirnya sembuh Ci Lana sembuh dengan sendirinya.

Ternyata memang betul, penyakit Kawasaki ini bisa sembuh sendiri seperti yang dibilang dokter di awal pemeriksaan Nielsen, tapi sebagian besar menyerang jantung dengan berbagai macam permasalahan seperti miokarditis yaitu peradangan pada otot jantung, efusi perikardial yaitu akumulasi cairan dalam jumlah berlebih di sekitar jantung dan aneurisma koroner yaitu terjadi penggelembungan abnormal yang terjadi pada bagian tipis dinding jantung. (Informasi ini saya ambil ketika membaca artikel tentang penyakit Kawasaki yang dimuat di koran Suara Merdeka hari Minggu, 16 Maret 2014 halaman 26)

Setelah mengetahui hal yang mengejutkan dari dokter ini akhirnya Ci Lana harus segera melakukan tindakan yaitu operasi bypass. Tapi, yang sulit adalah, Ci Lana harus menemukan dokter spesialis jantung anak dan dewasa karena anatomi jantung anak dan dewasa berbeda, dan Ci Lana harus melakukan 2 prosedur yaitu bypass dan operasi katup jantung. Puji Tuhan akhirnya Ci Lana menemukan satu orang dokter yang bisa melakukan operasi ini di Melbourne.  Sekarang ci Lana sudah sehat dan saya sangat bersyukur sekali bisa berkenalan dengan Ci Lana dengan kesaksian hidupnya yang begitu ajaib.

Dia berkata kalau itu semua adalah mujizat Tuhan. Dia bisa bertahan begitu lama dengan kondisi jantung yang tidak berkembang namun diketahui pada saat yang tepat sehingga bisa diperbaiki sebelum terjadi kerusakan atau serangan jantung. Praise the Lord.

Jam 8 malam, Ii AA dan teman-temannya harus pulang karena keluarga menunggu di rumah – thanks Ladies. Sementara Ci Lana membantu saya membereskan meja dan kamar sebelum dia berpamitan.

Hari itu, dua siraman rohani yang tidak diduga saya dapatkan. Peringatan dari Tuhan untuk memulai mezbah keluarga, dan satu kesaksian yang hidup tiba-tiba saja datang untuk menguatkan saya, untuk mengingatkan saya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. It was a lovely day indeed.

Terima kasih Tuhan untuk kesetiaanMu, Engkau mengetahui apa yang aku perlukan dan Engkau menyediakanNya tanpa aku meminta.

Kemanakah aku dapat pergi
Menjauhi Roh Mu Tuhan
Kuberlari mendaki ke langit
Namun Engkau ada disana

Aku terbang dengan sayap fajar
Diam diujung bumi
Namun tanganMu menuntunku selalu
Bawaku mendekat padaMu

Reff:

Engkau Tuhan Allah Maha Tahu
Betapa dahsyatNya kuasaMu
HadiratMu kini penuhiku
Bawaku mendekat padaMu

 

Perjalanan Iman melalui “Kawasaki Disease” – part 6


Minggu, 24 Februari 2013, pagi itu pemberian Gammaraas sudah selesai dengan baik. I was so relieved. Saya membayangkan betapa tidak enaknya lengan Nielsen yang dilewati bermili-mili cairan sepanjang malam. Kalau orang Semarang bilang “kemeng” (pegel).  Suster menyarankan supaya saya tidur sejenak supaya segar.

Baru saja mau tidur enak, Nielsen bangun. Dia menangis dan mulai lagi dengan kerewelannya. Mungkin dia mulai merasakan pegal di lengannya. Ternyata dia lapar. Dia minta roti keju yang Ii AA bawakan kemarin. Makanan yang disediakan rumah sakit sama sekali tidak mau dimakan.

Serpong-20130225-02912

Sekitar jam 11, kami dikunjungi oleh keluarga Tante dan Om suami saya. Mereka memang tinggal di Jakarta. Lagi-lagi membawa supply makanan dan buah-buahan. Ah, betapa terharunya ada yang memperhatikan. Walaupun sama-sama di Jakarta, tapi Jakarta itu tidak seperti Semarang yang jarak dari ujung ke ujung hanya 30 menit (lancar). Saya sangat menghargai perhatian mereka. Sementara itu, Nielsen malah menunjukkan sikap tidak suka. Dia mulai rewel lagi. Setiap kali ada yang berkunjung dan belum dia kenal, dia selalu teriak-teriak.

Setelah mereka pulang, kamar menjadi hening kembali. Hanya kami berdua.

Kira-kira jam 4 sore, terdengar ketukan di pintu, lalu seorang wanita menyapa,”Peila?”

“Iya, saya Peila. Siapa ya?”

“Gua Ketty.”

Tadi siang memang Ketty menanyakan saya Nielsen di kamar nomor berapa, tapi saya tidak menyangka kalau dia akan kesini. Akhirnya setelah ngobrol di BBM dua minggu terakhir, saya bertemu muka dengan my new friend, Ketty.

Ketty datang sendirian, dia membawakan 2 porsi dinner untuk kami. Terngiang-ngiang lirik lagu “apa yang tak pernah ku pikirkan, itu yang Kau sediakan bagiku…. siapakah aku ini Tuhan? Jadi biji mataMu….”

Belum juga saya berpikir akan makan apa nanti malam, tau-tau sudah disediakan… penyertaanNya begitu ajaib. Thank you Lord, thanks Ketty!

Setelah ngobrol sebentar, Ketty lalu bertanya,”Suami elu lagi kemana?”

“Di Semarang, jaga anak gua yang besar.”

“Jadi lo kesini cuma berdua sama si Nielsen? Ya ampun Pei, hebat banget lo. Kalo gua sih ga sanggup deh kayanya.”

(ya wes meh piye lagi??)

Tidak lama Ketty pun berpamitan. Ah senangnya punya teman baru.

Suster datang untuk mengukur suhu tubuh Nielsen sekaligus menyiapkan obat untuk malam itu. Ternyata masih di atas 37.5⁰ C. Suster bilang tidak apa-apa, biasanya pasien dipantau dalam 2 x 24 jam setelah pemberian Immuno Globulin, kalau sudah di bawah 37⁰ C dalam 2 x 24 jam boleh pulang.

Malam itu Nielsen tidak bisa tidur. Dia minta jalan-jalan keluar. Padahal sudah jam 10 lebih. Selama di rumah sakit itu memang dia belum pernah keluar kamar dan saya sengaja tidak mengajaknya keluar, karena di ujung lorong kamar kami ada playground kecil dan Nielsen tidak diperbolehkan bermain disitu. Penderita Kawasaki dihimbau untuk menghindari tempat-tempat yang umum untuk sementara waktu, apalagi di rumah sakit itu pasiennya tidak hanya Kawasaki saja penyakitnya.

Pertama saya membujuknya untuk di kamar saja. Tapi dia teriak-teriak,”Mau kuar, mau kuaarrrrrr!”

Karena saya takut mengganggu pasien di kamar sebelah, maka akhirnya saya turuti juga. Jam 11 kami berdua berjalan di lorong ke arah meja suster. Saya menggendong Nielsen sambil mendorong tiang infus. Dalam hati saya bersyukur, untunglah Nielsen sudah disapih… kalau belum, mungkin saya akan lebih stress lagi. (membayangkan sambil menggendong, menyusui, mendorong tiang infus… *no way*)

Suster-suster yang bertugas malam itu heran melihat Nielsen masih sangat segar. Mereka mencoba membujuk Nielsen untuk tidur. Tapi Nielsen malah ngambek. Akhirnya kami kembali ke kamar.

“Laper Ma, mau cereal.”

 Serpong-20130224-02902

Rasanya memang Gammaraas itu menambah nafsu makan, karena saya perhatikan Nielsen selalu berinisiatif meminta makan duluan sebelum saya memberinya makan. Ya, akhirnya semangkuk cereal habis disantap Nielsen malam itu dan tidak lama Nielsen pun tidur. Haleluyaaaa!

Setelah Nielsen nyenyak, barulah saya mulai ‘having my ME time’. Dengan bermodalkan iPod yang ukurannya mini itu, saya cek Facebook, baca artikel, balas BBM, dan googling lagi tentang penyakit Kawasaki – sambil menyantap makanan dari Ketty yang belum sempat dimakan tadi.

Ada beberapa message di FB yang harus saya reply. BBM dari suami saya baru saya baca. Dia menanggapi surat yang saya tulis untuk dokter. Dia bilang,”Jangan mikirin hal itu dulu, yang penting Nielsen sembuh dulu ya. Dokter itu juga cukup berjasa karena diagnosanya ternyata benar.” Saya pikir ada benarnya juga. Seandainya dokter tersebut salah diagnosa, mungkin kasusnya akan lebih parah. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” – 1 Tesalonika 5:18 –  (got it Lord… *nod.. nod*)

Saya sungguh penasaran dengan penyebab dari penyakit ini. Sudah puluhan sumber yang saya baca tapi tidak satu pun yang tahu pasti penyebab dari penyakit ini. Di Wikipedia, penyakit ini didefinisikan sebagai penyakit auto-imun. Tapi dari research yang saya lakukan dalam beberapa minggu terakhir, rasanya ada faktor ‘virus’ juga. Hal ini saya simpulkan karena di Jepang, penyakit ini seperti musiman. Jadi di bulan-bulan tertentu banyak yang kena penyakit ini. Mungkin di Indonesia itu seperti demam berdarah dan tipes. Ada musimnya.

Awalnya, saya berpikir apa kemungkinan Nielsen itu keracunan sesuatu? Atau alergi terhadap sesuatu? Dan sewaktu didiagnosa kena Kawasaki, saya sempat berpikir – makanan apa yang dimakan oleh Nielsen yang berasal dari Jepang? (berusaha mencari sesuatu yang ‘common’ dengan orang Jepang hihihi..) Nah, memang sebelum Nielsen sakit, dia sering makan nasi dengan taburan seaweed buatan Jepang dan dia suka juga makan Nori. Seaweed kan dari laut, apa mungkin lautnya tercemar mercury, jadi Nielsen keracunan mercury. Tapi Nicholas makan juga kok ga apa-apa dan saya lihat foto keracunan mercury itu berbeda dengan yang dialami Nielsen.  Jadi, kesimpulan konyol itu saya coret. Lagipula, banyak ditemukan kasus Kawasaki yang dialami oleh orang Amerika, Canada, British juga, jadi bukan hanya ras Mongolian saja.

Lalu saya pernah juga membaca artikel yang ditulis oleh seorang dokter. Dia melakukan research, dan kemungkinan penyakit Kawasaki ini disebabkan oleh virus dari kotoran tungau atau dalam bahasa Inggrisnya dust mite (kutu debu). Tungau itu berada dimana-mana, tempat yang berdebu, hanya saja kita tidak bisa melihat dengan mata telanjang, karena ukurannya sangat kecil, sekitar 0.25 – 0.3mm. Tungau sangatlah nyaman berada di kamar kita, terutama di ranjang kita karena makanan tungau itu adalah sel mati kulit kita. Nah, tungau itu mati kalau kena panas. Makanya jaman dulu kasur dan matras sering dijemur di bawah panas matahari dan sambil dijemur biasanya di’gebukkin’ (I can’t find a better term) pake rotan.  Hal ini dilakukan supaya tungau-tungau yang trap di dalam matras itu terangkat ke permukaan dan mati. Tapi jaman sekarang sudah banyak yang memakai latex dan konon katanya latex itu anti alergi karena pori-pori nya yang sangat padat sehingga tidak memungkinkan untuk tungau bersarang disitu. Latex pun jauh lebih berat dari kapuk dan matras biasa sehingga kurang praktis untuk dijemur. Akibatnya, lama kelamaan tungau bisa bersarang juga disitu. Jadi, cocok sekali kan kalau sarangnya di ranjang kita. Kotoran tungau itu membawa virus yang konon katanya menyebabkan penyakit Kawasaki ini.

Well, saya cukup sreg dengan penemuan dokter ini. I mean, dilihat dari reasoning dan pembuktiannya memang cukup reasonable. Tungau itu berkembang biak dengan baik di tempat tidur kita terutama di bantal. Dan waktu Nielsen sakit awal-awal, saya memang pisahkan dia dari kokonya supaya tidak menular, jadi saya tidur dengan Nielsen di kamar sebelah, yang matrasnya memang lebih lama dari matras di kamar biasanya. Dan sebelumnya, di lengan dan kaki Nielsen sering sekali timbul bentol besar seperti bekas gigitan binatang yang memang menurut dokter itu gigitan tungau, dan hanya pada orang yang alergi tungau saja bentol itu akan muncul. Tapi sepertinya hasil penemuan research ini pun belum diakui kebenarannya.

Sebelum penyakit ini diidentifikasi oleh Dr. Tomisaku Kawasaki, banyak sekali anak-anak di Jepang yang meninggal, karena belum tau obat yang cocok untuk penyakit tersebut. Namun setelah diteliti oleh Dr Kawasaki, angka kematian pun menurun.

Penelitian saya fokuskan pada ‘fever after treatment kawasaki’ atau seputar itu. Fakta bahwa suhu Nielsen masih saja di atas 37⁰ C is not a good news. Walaupun masih hari pertama sejak masuknya Gammaraas yang kedua, saya merasa tidak tenang. Karena idealnya, demam harusnya segera turun.

Sedang asik-asiknya googling, Nielsen bangun dan teriak-teriak. Sudah menjadi sesuatu yang ‘lumrah’ sejak dia sakit. Hampir tiap malam dia selalu terbangun dan teriak-teriak seperti itu. Mungkin dia sangat tidak nyaman sehingga terbawa ke alam bawah sadarnya. Biasanya saya harus menggendongnya dan menidurkannya lagi sambil berjalan-jalan sejenak. Tidur ya Nak, Mama sudah lelah….

Perjalanan Iman melalui “Kawasaki Disease” – part 5


Sabtu 23 Februari 2013, sekitar jam 9 malam, suster masuk membawa 9 botol Gammaraas bersama perlengkapan alat-alat yang akan digunakan untuk memasukkan obat tersebut ke tubuh Nielsen. Déjàvu!

Gammaraas

“Ibu, ini diperiksa dulu ya, obatnya ada 9 botol, kami masukkan ke kulkas sekarang. Lalu tolong tanda-tangan disini.”

Hm… sewaktu di Semarang, saya bahkan tidak tahu botol Gammaraas itu seperti apa. Karena setiap kali obat itu akan dimasukkan ke tubuh Nielsen sudah berada di tabung seperti suntikan besar. Disini saya diperkenankan untuk memeriksa kuantitasnya dan bahkan mereka menaruhnya di kulkas kamar kami. What a difference!

Nielsen menunjukkan wajah yang tidak suka. Selain masih sedih karena ditinggal oleh Ii AA, dia merasa terintimidasi dengan kehadiran 2 orang suster yang sedang mempersiapkan alat-alat dan obat. Saya merapihkan posisi sofa bed dimana Nielsen duduk. Selama di rumah sakit, dia memilih untuk tidur di sofa dibanding di ranjang kecilnya. Jadi, posisinya terbalik. Saya tidur di ranjangnya yang kira-kira panjangnya 1.6m dan Nielsen tidur di sofa. Ada ruang untuk bersyukur lagi…. proud to be ‘petite’.

Setelah semuanya siap, suster mengambil botol pertama dari kulkas. “Masih segelan ya Bu, saya buka yang pertama.”

“Sus, ga dihangatkan dulu? Kan dingin?” tanya saya. Seingat saya, di Semarang sebelum dimasukkan, obat itu ‘dihangatkan’ dahulu oleh susternya.

“Tidak Bu, mana boleh dihangatkan? Harus langsung masuk, malah kalau menyimpan kan harus di kulkas.”

Saya membaca brosurnya. Ternyata betul. Harus disimpan di suhu antara 2⁰ – 8⁰ C.

Ternyata di rumah sakit ini, obat tersebut dimasukkan berbarengan dengan cairan infus. Jadi ada seperti cabang T yang menghubungkan obat dan cairan infus sebelum masuk ke tubuh Nielsen. Lalu suster menjepitkan alat monitor denyut jantung di jari tangan Nielsen. Nielsen menepiskan tangannya dan mencabut alat itu. Lalu sambil membujuk Nielsen, suster memindahkannya di jempol kaki. Nielsen mencabutnya lagi. Saya tanya pada susternya,”Sus, apa perlu dipasang alat ini? Karena sewaktu di Semarang tidak pake ini. Trus, itu kok obatnya dicampur cairan infus ya?”

“Memang obatnya harus dicampur Bu, kalo tidak kan itu pekat sekali, nanti kasian anaknya pasti tidak nyaman. Kalau denyut jantung itu harus Bu, untuk jaga-jaga. Nanti kalau jantungnya semakin cepat dan melebihi kecepatan yang semestinya, alat ini akan berbunyi seperti alarm, nanti kami bisa dengar dari lorong atau Ibu bisa panggil kami, nanti kami lihat.”

Saya bujuk-bujuk Nielsen supaya mau dipasang, tapi tidak berhasil. Akhirnya saya biarkan sebentar, saya matikan lampunya supaya lebih redup sehingga dia bisa tidur. Terlihat sekali kalau Nielsen sangat tidak nyaman dengan masuknya obat itu. Mungkin dia merasa ada cairan dingin masuk. Tapi tidak lama akhirnya dia tertidur. Saatnya memasang alat itu di jempolnya!

Beberapa kali suster masuk dan menyarankan saya untuk tidur. Tapi saya tidak bisa tidur. Pertama, saya jengkel terhadap dokter yang di semarang yang menurut saya sok tahu dalam menangani anak saya padahal caranya salah semua! Saya merasa apa yang sudah dilakukan di Semarang sia-sia, bahkan penyakitnya malah semakin ganas dan menyerang jantung. Kedua, kalimat yang suster bilang tadi mengenai jantung berdegup lebih cepat, berarti ‘ada kemungkinan’ itu terjadi dalam proses masuknya obat ini, sehingga harus dipasang monitor. Saya takut kalau saya terlelap nanti alatnya bunyi tapi suster tidak dengar dari lorong sana.

Heart rate monitor

Sambil menunggui Nielsen, saya ingin mencurahkan kejengkelan saya. Saya memutuskan untuk menulis surat pada dokter yang merawat Nielsen di Semarang. Saya pikir dia harus bertanggung jawab dan dia harus tahu kondisi Nielsen saat ini. Saat itu yang ada pada saya hanya sebuah Blackberry. Saya tidak membawa laptop. Jadi saya menulis draft di BB saya. Begini surat itu bunyinya:

Kepada Dr. XXX,

Saat ini saya dan Nielsen berada di Kawasaki Centre Jakarta. Awalnya saya kesini karena saya ingin melakukan echo ulang untuk Nielsen. Terus terang saya kurang puas dengan proses echo di Semarang. Nielsen dalam keadaan dipangku, dan juga menangis akibat lelucon dr X, yang juga bukan dokter jantung anak, dan idealnya pasien kawasaki ditangani oleh dokter anak dan dokter jantung anak.

Seperti yang dokter ketahui, setelah masuk 300ml Gammaraas, pada hari Kamis, Jumat dan Sabtu masing-masing 100ml, di hari ke 4, Minggu pagi, suhu badan Nielsen mencapai 38.6⁰ C dan terus meningkat hingga 39.5⁰ C. Walaupun keesokan harinya sudah tidak panas lagi, sehari sepulang dari RS, yaitu Rabu sore, Nielsen panas lagi hingga 38.6⁰ C. Saat itu saya masih berharap panasnya karena “infeksi bakteri” seperti yang dicurigai dokter. Jumat pagi kemarin, saya tiba di RS ini, suhu badan Nielsen masih fluktuasi sekitar 36.1⁰ C – 37.5⁰ C. Setelah melakukan beberapa tes, termasuk tes darah, EKG dan rontgent, tadi sore, Nielsen di echo ulang oleh dokter spesialis jantung anak yang mendalami penyakit kawasaki.

Saat memeriksa Nielsen, dokter menemukan bahwa liver Nielsen bengkak. Saya memang sudah merasa ada yang tidak beres dengan perut Nielsen sejak di RS X, bahkan saya menunjukkan pada dokter kalau perut Nielsen kok besar.

Hasil echo menunjukkan tidak ada kerusakan pada jantung, namun ditemukan adanya penebalan di selaput jantung. Dokter disini menyayangkan proses pemberian Gammaraas yang tidak tepat. Seharusnya, Gammaraas diberikan 8botol langsung dalam waktu 12 – 24jam, dan bukan dibagi-bagi dosisnya seperti yang dilakukan pada Nielsen di Semarang. Metode yang dilakukan dokter itu metode lama yang sudah tidak dipakai lagi sekarang ini. Oleh sebab itulah, suhu badan Nielsen masih tidak stabil karena “penyakitnya masih aktif”. Hal ini juga yang menyebabkan liver membengkak dan adanya penebalan di selaput jantung.

Solusi yang ditawarkan dr disini adalah:

1. Mengulang pemberian Immune Globulin kembali dengan full dosis sesuai berat badan, atau

2. Membiarkannya

Sebagai orang tua, tentu saja saya ingin Nielsen sembuh dan penyakitnya dituntaskan. Kami memilih option 1.

Saya dan suami ingin menyampaikan beberapa hal kepada dokter:

  1. Sejak awal Nielsen sakit, saya sangat mempercayai kredibilitas dokter dan seluruh pertimbangan diagnosa dokter. Bahkan ketika dokter menyatakan Nielsen kena penyakit kawasaki, saya percaya penuh atas diagnosa dokter dan mempercayakan sepenuhnya penanganan pada anak kami. Kami bersyukur karena dari awal dokter sudah warning mengenai penyakit kawasaki ini. Namun kini, semua yang dilakukan di Semarang seolah-olah sia-sia karena kami harus membeli kembali Immune Globulin yang tentunya bukan obat yang murah.
  2. Apabila pemberian Immune Globulin dilakukan dengan benar, yaitu non stop, maka kami tidak harus menginap 6 malam di RS. Idealnya, setelah satu full dosis masuk, pasien dipantau 2×24 jam, jadi hanya 3 atau 4 hari paling lama. Lagi-lagi pemborosan.
  3. Idealnya, setelah pemberian Immune Globulin non stop, maka dalam waktu 24 jam gejala akan hilang dan jarang sekali yang muncul lagi. Kenaikan suhu Nielsen menyebabkan pengambilan darah dan pemberian antibiotik, yang semestinya bisa dihindari. Penebalan di selaput jantung mungkin tidak akan terjadi kecuali hal ini tidak terdeteksi pada echo yang dilakukan dr X.
  4. Gammaraas yang diberikan di RS X, dihangatkan dulu dalam suhu ruangan sebelum dimasukkan pada Nielsen. Proses yang tidak perlu bahkan menyalahi peraturan yang tertera di brosur Gammaraas. Yang seharusnya adalah, simpan di suhu antara 2⁰ – 8⁰ C dan langsung dimasukkan ke dalam tubuh Nielsen tanpa harus dihangatkan.
  5. Selama pemberian Immune Globulin, detak jantung pasien harus dimonitor untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan oksigen. Hal ini tidak dilakukan di RS X.
  6. Hasil kultur darah menyatakan steril – menunjukkan gejala panas yang dialami Nielsen pada hari Minggu hingga 39.5⁰ C adalah murni karena pemberian Gammaraas yang tidak tepat dan bukan karena “co mordibitas bakteri” seperti yang diduga dokter.
  7. Untuk mendapatkan hasil echo yang maksimal, teliti, sang anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis, tidak dipangku seperti yang terjadi pada Nielsen. Di RS sini, sesaat sebelum di echo, Nielsen diberi obat penenang demi mendapatkan hasil echo yang maksimal dan teliti.

Karena hal-hal yang saya sebutkan di atas, saya sangat menyayangkan tindakan dokter yang seolah-olah tau pasti apa yang harus dilakukan terhadap Nielsen. Padahal metode itu sangat-sangat penting untuk keefektifan bekerjanya Immune Globulin tersebut.

Saya tidak bisa membayangkan kalau saya tidak membawa Nielsen kesini untuk di echo ulang, kerusakan akan semakin menjadi. Liver yang bengkak dikira perut buncit. Bagaimana dengan jantung yang tidak kelihatan dari luar… Dalam hal ini saya bersyukur.

Sebagai seorang Ibu, dokter tentu mengerti apa yang saya rasakan. Saya yakin, dokter akan melakukan hal yang sama apabila seandainya dokter adalah orang awam seperti saya yang sangat mengandalkan pengetahuan, pengalaman dan expertise seorang dokter untuk menyembuhkan anaknya.

Saya memilih untuk menyuarakan hal-hal diatas dan menyampaikannya pada dokter supaya menjadi bahan masukkan yang membangun dan tentunya saya meminta tanggapan dan pertanggung jawaban dokter atas apa yang sudah terjadi.

Demikian surat dari saya.

Salam,

Peila

Setelah saya mengetik surat sepanjang di atas (dengan menggunakan BB *tepok jidat* ckckckckck), saya merasa lega. Kemarahan saya sudah beralih ke isi surat itu.  Saya cek lagi surat di atas berulang-ulang. Saya pastikan tidak ada point-point yang tertinggal. Saya rasa surat itu cukup mewakili isi hati saya saat ini. Saya sempat membayangkan reaksi dokter itu apabila membaca surat saya. Sebetulnya saya tidak mau mengungkit kembali kesalahan-kesalahan di atas, tapi saya pikir dia harus tahu bahwa prosedur yang dilakukan itu tidak tepat, jadi jangan sampai terulang kembali pada pasien yang lain.  Saya membayangkan, hubungan saya dengan dokter tersebut pastilah tidak akan seperti dulu. Padahal, dokter itu saya pilih karena menurut saya dia dokter yang cukup bagus, obat yang diresepkan tidak keras, tempat prakteknya pun bersih dan memiliki ruang tunggu yang nyaman.  Saya kirimkan surat ini pada suami dan adik-adik saya, ingin tahu pendapat mereka. Saya pikir, surat ini akan saya kirim sepulang dari Jakarta nanti.

Sesekali Nielsen terbangun dan mengamuk. Tangannya spontan menarik alat monitor yang dijepitkan di jempol kakinya. Belum lagi dia minta digendong, minta pipis, padahal dia masih pake diaper waktu itu dan saya menyarankan dia untuk pipis di diaper aja karena susah kalau harus bawa alat-alat itu ke toilet. Tapi Nielsen ngotot. Setelah saya tidak mengijinkan dia ke toilet, dia ganti alasan, dia bilang pingin muntah. Mungkin dia merasa tidak enak dan ingin melarikan diri dari alat-alat tersebut. Akhirnya saya panggil suster. Susternya dengan sabar mendorong alat-alat itu bersama kami ke toilet. Sesampainya di toilet, Nielsen bilang,”Ga jadi muntahnya, mau makan!” *elus dada – sigh*

Akhirnya, tengah malam dia makan cereal yang dibawakan Ii AA. Lalu dia minta liat film di TV. Sayangnya siaran TV untuk anak-anak sangat limited sehingga kami harus menelepon bagian teknisi dan minta diputarkan DVD anak-anak. Tidak lama kemudian, Barney muncul di TV. Nielsen pun senang tapi tidak lama dia tertidur lagi.

Perjalanan Iman melalui “Kawasaki Disease” – part 3


Selasa malam, 19 Februari 2013, sepulang dari rumah sakit, saya bawa Nielsen ke dokter yang lebih senior untuk meminta second opini.  I know it’s a bit too late….but I just need to find “the truth”. Pertimbangan saya adalah: pertama, saya ingin memastikan apa Nielsen betul-betul kena Kawasaki, karena kalau seandainya tidak, maka dia tidak harus melanjutkan konsumsi Aspirin (pengencer darah) selama beberapa bulan ke depan. Apalagi dengan hasil echo jantung tadi siang, yang tentu saya harus bersyukur karena jantungnya masih baik, tapi komentar atau kesimpulan dari dokter jantung yang melakukan echo itu yang membuat saya jadi bingung. Kedua, saya juga concern dengan perut Nielsen kelihatannya sedikit buncit.  Sewaktu di rumah sakit, saya tanyakan hal ini pada dokternya, tapi dokter Nielsen bilang kalau itu karena Nielsen makannya sudah banyak, dan bisa jadi itu dampak dari obat yang dia konsumsi menambah nafsu makan.

Dari data-data yang ada, menurut dokter senior tersebut, Nielsen tidak kena Kawasaki. Bahkan hasil tes darah nya sekalipun tidak bisa menkonfirmasi kalau itu penyakit Kawasaki. Dan menurut dia, rash penyakit Kawasaki itu tidak gatal dan jantungnya pasti bengkak. Sedangkan Nielsen normal. Saya lalu tunjukkan jari-jari Nielsen yang sejak 2 hari terakhir sebelum pulang dari rumah sakit ujung jarinya mengelupas. Itu salah satu ciri dari penyakit Kawasaki juga harusnya. Dokter itu bilang, kalau untuk jari mengelupas, ada juga penyakit lain yang ciri-cirinya begitu. Jadi dengan kata lain, dokter ini sangat yakin kalau Nielsen tidak kena Kawasaki. Disitu saya sudah mulai lega dan jengkel. Lega karena berarti saya tidak harus mengkhawatirkan dampak dari penyakit Kawasaki di kemudian hari. Jengkel karena Nielsen harus mengkonsumsi begitu banyak obat yang ternyata tidak sesuai dengan penyakitnya, belum lagi harga obat yang sangat mahal.

“Tapi seandainya bukan Kawasaki, obat yang dimasukkan itu tidak ada efek apa-apa, Ibu cuma buang-buang uang saja,” begitu paparnya. Jadi menurut dokter tersebut, Nielsen bisa saja terkena penyakit lain yang ciri-cirinya mirip dengan Kawasaki. Dia menyebutkan beberapa kemungkinan, yaitu salah satunya Stephen Johnson disease.

Sepulang dari dokter tersebut, saya jadi tambah bingung lagi. Ada sedikit penyesalan kenapa saya tidak meminta second opini sebelum Nielsen diopname. Tapi semua sudah terjadi. Nielsen sudah sehat sekarang. Mengenai perut Nielsen yang menurut saya buncit pun dokter tersebut tidak memberi komentar yang mengkhawatirkan.

Malamnya, entah kenapa saya masih saja penasaran. Saya googling “Stephen Johnson disease” dan begitu saya membuka image nya, spontan saya menjerit. Ah, itu beda sekali dengan gejala yang Nielsen alami. Rash nya tidak seperti itu dan ternyata lebih mengerikan….

Rabu, 20 Februari 2013, sorenya Nielsen panas lagi. Saya kontak dokternya, dan dia bilang itu biasa.  Coba dipantau saja.  Memang sejak pulang dari rumah sakit, Nielsen masih lemas, tidak seceria sebelum sakit. Dan saya pikir, mungkin belum pulih benar. Di sela-sela waktu ‘luang’ yang saya curi-curi di malam hari, tiba-tiba ada seorang teman saya yang tinggal di Melbourne BBM saya menanyakan Nielsen sakit apa. Saya ceritakan kebingungan saya saat itu karena saya baru ingat kalau suami dia adalah seorang dokter disana. Dari seluruh kronologi dan data yang saya paparkan, suaminya pun menyimpulkan kemungkinan bukan Kawasaki, karena Kawasaki itu amat sangat jarang. Dia bilang, kalau di Australia, ada pasien suspected Kawasaki, seluruh dokter yang saat itu bertugas akan dipanggil untuk mengkonfirmasi diagnosis. Hm.. reminded me of serial “House” atau “ER” dimana dokter-dokter di luar negeri selalu tidak malu meminta opini dari koleganya. Beda sekali dengan dokter di Indonesia yang gengsinya tinggi dan malu bertanya pada sesama dokter. True?

Suami teman saya itu juga bilang kalau seringkali dokter salah diagnosa dengan Scarlet fever karena ciri-cirinya mirip. Setelah saya selesai chatting, saya mulai googling “Scarlet Fever”.  Memang, sangat mirip ciri-cirinya. Lalu saya BBM dokter yang merawat Nielsen kemarin, saya bilang apa mungkin Nielsen kena Scarlet Fever dan bukan Kawasaki? Dokter itu menjawab, saya yakin Bu, karena kalau Scarlet Fever itu ada bintik putihnya di mulut tenggorokan, dan saya lihat Nielsen tidak ada tanda itu.

Dua minggu terakhir, saya sudah googling banyak sekali mengenai penyakit Kawasaki. Memang kasusnya paling banyak terjadi di Jepang dan Korea. Di Indonesia ada seorang anak perempuan yang terlambat diketahui terkena Kawasaki sehingga anak ini harus dibypass jantungnya di Jepang. Putra John Travolta, meninggal kena serangan jantung, padahal dia masih muda, ternyata sewaktu kecil dia pernah kena Kawasaki. Fakta-fakta tersebut membuat saya semakin paranoid. Saya sangat berharap kalau Nielsen tidak kena Kawasaki, setelah terjadi banyak kebingungan ini.

Kamis, 21 Februari 2013, Nielsen sudah tidak panas. Tapi giliran saya yang sakit. Sejak hari Selasa itu, diare dan batuk belum sembuh total.  Saya menyimpulkan kondisi saya akibat kelelahan, makan tidak teratur dan stress. Karena sudah parah, akhirnya saya panggil dokter ke rumah.

Dokter ini adalah dokter keluarga kami yang sering kami panggil ke rumah. Dokter tersebut sudah mendengar kasus Nielsen dari teman saya. Saya ceritakan semua kejadiannya dan kebingungan saya. Dia menyarankan untuk bawa Nielsen ke Jakarta untuk di cek ulang untuk memastikan karena disana memang ada dokter yang ahli. Karena kalau memang ternyata Nielsen tidak kena Kawasaki, dia tidak perlu mengkonsumsi Aspirin lagi.  Lagipula, penderita Kawasaki itu harus ditangani oleh dokter jantung anak dan dokter anak. Dokter di Jakarta yang dimaksud, memenuhi kriteria keduanya. Dia adalah seorang spesialis anak dan juga spesialis jantung anak. Dan dia memang mendalami penyakit ini bahkan dia berguru langsung pada Dr. Tomisaku Kawasaki – dokter yang pertama ‘mengidentifikasi’ gejala penyakit Kawasaki di Jepang. The disease was named after him.

Dr. Tomisaku Kawasaki

Dr. Tomisaku Kawasaki

Setelah berdiskusi dengan suami saya, akhirnya siang itu saya telepon rumah sakit tempat dokter itu praktek. Ternyata dokter masih cuti, dan saya baru bisa bertemu minggu depan. Saya pikir kalau seminggu lagi nanti terlambat. Jadi saya coba mengkontak dokternya langsung dengan bantuan kenalan baru saya yang anaknya pernah ditangani oleh dokter tersebut.  Saya kirim sms ke dokter itu secara singkat mengenai Nielsen, dan jam 8 malam saya baru mendapat jawaban. Dokter tersebut menyarankan agar saya segera membawa Nielsen ke hospital di Jakarta hari Jumat (yang adalah keesokan harinya) dan hari Sabtu dia akan datang khusus untuk periksa Nielsen.

Malam itu juga, jam 10 malam suami saya mencarikan tiket ke Jakarta untuk berangkat Jumat pagi. Harga tiket pesawat sudah sangat mahal, tapi demi Nielsen….

Semalaman saya tidak tidur. Selain ngepak barang-barang yang akan dibawa ke Jakarta, saya juga harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah termasuk mengepel lantai yang sudah seminggu tidak di pel! Sekali lagi, saya harus meninggalkan Nicholas dengan papanya. Kasian Nicholas, sudah 3 minggu ini saya sibuk dengan Nielsen.

Jumat, 22 Februari 2013, pagi-pagi sekali saya sudah berada di airport dengan Nielsen. Saat itu, saya bersyukur sekali kalau Nielsen tidak ‘terlalu montok’. I mean, sebelum dia sakit saya sering berharap Nielsen semontok beberapa temannya di kelas. Setelah dia sakit berminggu-minggu dengan kerewelan tingkat ‘dewa’ – seringnya minta digendong, bahkan tidur pun minta digendong, saya justru bersyukur dia tidak semontok temannya itu. So, selalu ada ruang untuk bersyukur. Betul?

Di pesawat, Nielsen tidur nyenyak, dan thank God perut saya sudah mulai settle a bit. Sesampainya di Jakarta, mata saya berbinar ketika melihat counter “Bakmi GM”. Tapi kami tidak punya waktu banyak karena sudah janji dengan pihak Rumah Sakit sehingga saya membungkus nasi capcay dan bakmi. Kami dijemput oleh pihak Rumah Sakit dengan Ambulance dan seorang suster pendamping. Namun karena Nielsen masih trauma, dia tidak mau tidur atau bahkan duduk sendiri selama di Ambulance, sehingga yang tidur di ranjang adalah…. kopor kami!

Sesampainya di RS, kami diterima di UGD dan ditangani oleh dokter jaga. Dokter jaga itu sangat ramah. Saya ceritakan kronologi dari mulai Nielsen sakit dan menyerahkan hasil-hasil pemeriksaan di Semarang. Dia berkata kalau di RS itu ada beberapa prosedur yang biasa diterapkan untuk menegakkan diagnosa Kawasaki. Sementara dokter itu mempelajari data-data yang saya berikan, Nielsen tidak mau lepas dari gendongan saya. Untuk mengalihkan rasa takutnya, saya tawari dia makan bakmi GM yang kami beli di airport tadi. Setelah menyantap dengan lahap, akhirnya Nielsen mau juga tiduran di ranjang.  Lalu mulailah suster melakukan EKG – merekam denyut jantung Nielsen selama beberapa waktu. Nielsen sudah mulai meronta dan menangis sambil menarik-narik kabel yang menempel di dadanya. Hasil rekam jantung tersebut dianggap tidak valid. Kami harus mengulangnya lagi. Akhirnya saya tidur di sebelah Nielsen dan berusaha membuatnya tenang sehingga rekam jantung bisa dilaksanakan dengan baik.

Ceria makan Bakmi GM

Ceria makan Bakmi GM

Nangis waktu di EKG

Nangis waktu di EKG

Dokter jaga tadi kembali pada kami dan mengatakan bahwa saat ini  dokter yang semalam sms – an dengan saya  sedang berada di Cape Town, dan dia baru akan kembali praktek hari Minggu. Saya sangat terkejut… saya tanya lagi,”Cape Town, maksudnya di South Africa itu Dok?”

“Ya, betul Bu,”jawab dokter jaga tersebut.

“Lho, kemarin dia bilang kalau besok Sabtu dia akan periksa anak saya. Dia sudah janji, makanya saya bela-belain datang kesini hari ini.”

Saya langsung emosi, saya pikir dokter itu sengaja ngerjain saya suruh datang cepet-cepet padahal dia sedang di luar negri. Entah kenapa, mungkin campuran antara cape, stress dan khawatir, tiba-tiba saja saya menangis di hadapan suster-suster dan dokter-dokter yang berkumpul disitu, lalu sambil terisak-isak saya bilang begini,”Dok, saya adalah orang awam, waktu di Semarang dokternya bilang anak saya kena Kawasaki, walaupun obatnya mahal, saya tetap kasih demi anak saya. Tapi kalau saya dipermainkan, saya ga terima. Kalau ternyata dokternya baru datang hari Minggu, ya ngapain dong saya harus nginep disini 2 malam? Tau gitu kan saya datangnya besok aja, ga usah beli tiket pesawat yang harganya udah mahal banget.”

Dokter jaga itu berusaha menenangkan saya. “Bu, kalau dokternya bilang sama Ibu dia akan datang besok, berarti dia akan datang besok khusus untuk memeriksa anak Ibu. Coba saya cek dulu ya Bu, sebentar.”

Tidak lama, dokter itu datang bersama seorang dokter yang lain. Kelihatannya dia lebih senior. Dokter itu memperkenalkan diri sebagai spesialis anak di rumah sakit itu. Dia pun sudah sering menangani pasien penderita Kawasaki. Dokter itu meyakinkan saya kalau dokter yang dimaksud selalu menepati janjinya dan kalau dia sudah bilang begitu pada saya via sms, berarti dia akan langsung mampir ke rumah sakit sepulang dari Afrika.

Akhirnya saya bisa tenang juga. Waktunya menemani Nielsen diambil darah (again). Saya tidak tega melihat Nielsen meronta-ronta.  Sambil memeluk Nielsen, pikiran saya ini bertanya-tanya, apakah yang saya lakukan ini betul??? Kasian sekali Nielsen harus menjalani semua ini lagi dari awal. Lengan kanan dan kirinya sudah banyak bekas tusukan jarum, dan dia masih sangat kecil…

Setelah berhasil mengambil sampel darah, Nielsen diinfus. Saya tidak mengerti kenapa kok harus diinfus. Saya tanyakan,”Sus, kenapa harus diinfus? Kan anak saya ga kenapa-napa.”

“Iya Bu, soalnya suhu tubuhnya agak hangat, di atas normal dan memang kita jaga-jaga seandainya harus masuk obat, jadi kita tidak usah tusuk lagi Bu, kasian anaknya nanti.”

Prosedur selanjutnya adalah Rontgen. Di Semarang Nielsen tidak di rontgen. Saya tanya lagi ke suster yang mengantar kami. Dia bilang untuk melihat kondisi jantung. Baik, kalau memang harus, akan saya turuti. Saya pikir bagian ini akan jauh lebih mudah dari 3 prosedur tadi.

Ternyata dugaan saya salah. Nielsen tidak mau lepas dari gendongan saya. Walaupun saya bujuk-bujuk dia dengan bermacam-macam cara, dia merengut. Posisi berdiri, nangis. Posisi tidur meronta. Hm.. lama juga kita disitu, tapi akhirnya berhasil juga dengan posisi tidur.

Akhirnya kita diantar ke kamar. Karena saat itu masih penuh, kami ditempatkan di kamar isolasi. Di kamar itu hanya ada ranjang kecil. Tidak ada sofa, tidak ada kursi. Kosong. Tapi suster disitu sangat ramah dan membantu sekali. Tidak lama kemudian, Nielsen tertidur. Ah tenangnya liat dia tertidur nyenyak. Kasian dia sudah kecapean dari tadi nangis terus.

Ruang Isolasi

Dua jam kemudian, suster datang untuk memberi kabar bahwa sudah ada kamar yang available. Sebenarnya tadi siang sudah ada ranjang yang kosong, tapi untuk pasien Kawasaki disarankan  menempati  kamar sendiri. Akhirnya kami pindah ke VIP room. Kamar ini jauh lebih luas dan lebih nyaman. Tidak seperti kamar rumah sakit pada umumnya. Well, penampilan dan konsep rumah sakit ini sangat berbeda dengan rumah sakit di Semarang. Disini lebih seperti hotel. Ada lobby, cafe, dan lantainya pun marmer, dan tidak ada kesan ‘seram’ hehe…. duh berasa dari desa ke kota deh.

Lorong Rs Omni

Ruang VIP

Setelah kami settle down, tidak lama kemudian Papi yang tinggal di Bandung dan adik saya yang tinggal di Jakarta Utara datang. Haleluya!! Senang sekali bertemu mereka. Selain membawa banyak supply makanan, kedatangan mereka sangat saya nanti-nantikan karena saya sudah sangat mengantuk akibat tidak tidur semalam. Syukurlah Nielsen masih tertidur pulas sehingga saya bisa memejamkan mata sejenak.

Malamnya, dokter spesialis anak yang tadi siang menenangkan saya mengunjungi Nielsen dengan membawa hasil tes darah dan hasil rontgen tadi siang. And the verdict was….

“Ibu, menurut hasil tes darah dan rontgen, kami konfirmasikan kalau Nielsen positif kena Kawasaki. Dan kalau saya lihat, perutnya ini tidak normal. Livernya sepertinya agak bengkak Bu.”

I had a mixed feeling when I heard the news. Pertama, kebingungan saya selama berminggu-minggu akhirnya ‘terjawab’. I mean, I went to this place, to find the truth, right? And there it was… the truth, even though it wasn’t something that you wanted to hear. Yang kedua, feeling saya tentang perut Nielsen yang buncit ternyata betul! Bukan karena makannya banyak, tapi memang ada ‘something wrong’. Kali ini saya percaya dan menerima fakta itu dengan lapang dada. Ok, at least I know the truth, and so what do we do next?

Dokter itu menjelaskan bahwa dokter yang sedang berada di Afrika itu akan mengambil alih tugasnya besok sesuai janjinya. Malamnya Nielsen panas lagi. Tidak terlalu tinggi, tapi di atas suhu normal. Saya merasa ‘beruntung’ berada disana, dan saya teringat jika bukan karena diare, maka saya tidak akan panggil dokter ke rumah, dan tentunya situasinya akan sangat berbeda bila Nielsen saat itu berada di Semarang, dalam keadaan panas dan perut buncit.

It must be GOD!

Perjalanan iman melalui “Kawasaki Disease” – part 1


Satu tahun 2 bulan yang lalu, tepatnya bulan Februari 2013,  my second child, Nielsen di diagnosa “Kawasaki Disease”. Sudah lama saya ingin membuat catatan di blog mengenai hal ini, karena banyak yang saya pelajari dari pengalaman ini. Saya juga ingin membagikan informasi mengenai penyakit KAWASAKI yang masih belum diketahui oleh banyak orang tua.  I hope our true story can be a blessing to all of you.

Kamis, 31 Januari 2013, Nielsen badannya hangat (sekitar 37 °C – 38.5 °C). Beberapa hari sebelumnya memang dia batuk grok-grok seperti banyak angin.

Jumat pagi, 1 Februari 2013, saya bawa ke dokter karena semalaman panas. Diagnosa dokter, Infeksi Saluran Pernafasan, banyak riak yang kental di dada.

Hari Sabtu, 2 Februari 2013,  Nielsen masih panas sehingga saya memutuskan untuk cek lab. Hasil lab nya baik walaupun trombositnya sudah di ambang nilai rujukan. Seharian Nielsen rewel sekali. Waktu itu Nielsen masih ASI, dan maunya nempel terus tidak mau lepas. Saya sampai stress dibuatnya, karena tiap kali dilepas dia menangis sejadi-jadinya. Mungkin badannya tidak enak dan dengan nenen dia merasa nyaman. Tapi karena sudah terlalu cape, akhirnya saya pikir, mungkin sudah saatnya juga disapih karena memang rencana sudah ingin menyapih, dan mungkin ini saatnya. Suami pun mendukung karena sudah seharian saya ‘disetrap’ oleh Nielsen, tidak bisa mengerjakan apa-apa seharian, apalagi waktu itu tidak ada pembantu sama sekali, jadi banyak pekerjaan rumah yang terbengkalai.

Minggu malam, 3 Februari 2013, suhu tubuh Nielsen mencapai 40°C dan kami bawa ke UGD. Diagnosa dokter jaga adalah Infeksi Saluran Pernafasan dan disarankan untuk opname karena khawatir mengarah ke asthma. Namun karena tidak ada kamar yang kosong maka kami pulang.

Senin, 4 Februari 2013, suhu tubuh Nielsen sudah kembali normal. Selama sakit, Nielsen ingin makan Rotiboy. Dia bilang, “nanti kalau sudah sembuh, ke Paragon beli Rotiboy ya Ma….”

Selasa, 5 Februari 2013, Nielsen sudah mulai ceria. Hari itu saya membawa dia ke Paragon sesuai janji saya. Dia memakan Rotiboy dengan lahap.

makan roti boy

Jumat, 8 Februari 2013,  Nielsen kembali sekolah. Pulang sekolah, gurunya laporan kalau Nielsen agak diam dan minta gendong terus. Saya juga perhatikan lehernya keluar rash seperti biang keringat. Sorenya rash nya semakin banyak terutama di punggung tapi suhu badannya normal.  Untuk memastikan, sorenya saya bawa lagi ke dokter. Dokter bilang, ada 2 kemungkinan: pertama, Exanthem Xubitum biasanya setelah panas keluar merah-merah. Atau, apabila nanti demam lagi, bisa jadi ini Campak atau Rubella, atau Kawasaki tapi kasusnya jarang sekali.

Jumat malam ternyata Nielsen panas lagi. Rash nya semakin banyak dan Nielsen mulai rewel karena kelihatannya rash tersebut gatal.

Sabtu, 9 Februari 2013, rash di tubuh Nielsen semakin menyebar hingga bagian wajahnya pun kena. Kasian sekali karena dia terlihat sangat tidak nyaman.

Minggu malam, 10 Februari 2013,  suhu tubuh Nielsen mencapai 40°C lagi dan kami kembali ke UGD.  Melihat kondisi Nielsen dengan rash di sekujur tubuhnya, dokter jaga menyimpulkan Nielsen kena Campak.  Saya langsung teringat teman saya yang sedang hamil 7 bulan karena hari Kamis saya dan Nielsen mampir ke rumahnya dan kami mengobrol disana. Langsung saya kontak dia, saya ceritakan bahwa Nielsen kena campak dan saya minta maaf karena saya tidak tahu. Saya berharap kandungannya baik-baik saja.

Senin, 11 Februari 2013, Nielsen terlihat sangat menderita. Bangun tidur dia mulai garuk-garuk mukanya yang kemerahan. Dan sepertinya, rash yang berada di muka, menurut saya membentuk pola seperti kupu-kupu. Sering kali saya temui dia berada di kolong meja dalam keadaan tertidur. Jadi dia lebih nyaman tertidur di lantai. Nafsu makannya sangat menurun. Tingkat kerewelannya sangat tinggi. Keinginannya jadi aneh-aneh. Semaleman dia hanya tidur 10 menit lalu menangis terbangun, dan seringkali sulit untuk tidur lagi. Sementara saya sudah sangat lelah menjaga Nielsen dan sekaligus harus mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Saya merasa heran karena rasanya kalau Campak tidak serewel ini dan demamnya kok tidak turun-turun. Saya kontak dokternya Nielsen dan dia menyarankan supaya Nielsen dibawa saja ke tempat prakteknya keesokan paginya.

Selasa, 12 Februari 2013,  pagi-pagi saya bawa Nielsen ke dokter karena panas Nielsen masih turun naik dan obat turun panasnya sudah habis 1 botol.  Sewaktu dia lihat Nielsen, dia ragu kalau itu Campak dan dia khawatir kalau ini mengarah ke penyakit Kawasaki.  Untuk memastikan, Nielsen harus cek darah lagi.

Hasil lab menunjukkan trombosit Nielsen sudah naik dari hasil minggu lalu, namun CRP nya positif menunjukkan adanya infeksi di dalam tubuh. Saya sudah konsultasikan hasil lab tersebut ke dokter dan dia berkata masih ok. Perasaan saya masih ga enak dan malamnya saya Google “Kawasaki”. Yang keluar ternyata gambar-gambar motor Kawasaki terbaru….. ternyata saya harus mencantumkan kata ‘penyakit Kawasaki’ or ‘Kawasaki disease’. Tidak banyak yang mengulas tentang penyakit ini di situs-situs berbahasa Indonesia, dan informasinya kurang jelas. Namun satu hal yang pasti, yang saya ketahui sementara mengenai gejala atau ciri-ciri penderita sebagian besar cocok dengan gejala yang diderita Nielsen.  Ciri-cirinya antara lain yang terdapat pada Nielsen: bibir merah dan pecah-pecah, lidah merah, mata merah tapi tidak ada kotoran, rash, demam yang tak kunjung turun, anaknya rewel sekali. Hati saya sangat galau karena seandainya betul Nielsen kena penyakit Kawasaki, selain obatnya mahal, penyakit ini sangat berbahaya karena menyerang jantung. Malam itu saya sungguh berharap kalau Nielsen kena Campak saja…. bukan Kawasaki.

Rabu pagi, 13 Februari 2013, saya kontak dokter lagi karena saya khawatir dengan kondisi Nielsen yang sangat rewel. Setiap malam sejak dia mulai sakit, Nielsen selalu terbangun antara jam 3 subuh dan nangis-nangis minta keluar kamar dan minta banyak hal. Badannya sudah mulai kurusan karena nafsu makannya turun drastis. Juga dia tidak berhenti garuk-garuk. Kondisinya memprihatinkan. Dokter menyarankan Nielsen diopname saja karena dia sangat khawatir sakitnya mengarah ke Kawasaki. Kami segera menghubungi rumah sakit yang disarankan. Namun ternyata semua kamar penuh karena banyak sekali anak-anak yang kena DB dan typhus waktu itu. Kami dicantumkan dalam ‘waiting list’.

Kondisi Nielsen sebelum dibawa ke RS

Kondisi Nielsen sebelum dibawa ke RS

Rabu jam 3 siang kami mendapat panggilan dari RS sudah ada kamar kosong. Dengan kekuatan dari Tuhan, saya membawa Nielsen seorang diri, membawa tas dan barang-barang lain ke mobil menuju rumah sakit. Secara fisik dan mental, saya sungguh lelah sekali karena sudah 2 minggu Nielsen sakit dan setiap malam saya ikut begadang menjaga Nielsen. Dengan masuk rumah sakit, saya berharap Nielsen bisa beristirahat lebih baik, setidaknya kalau diinfus dia akan sedikit lebih enakan, pikir saya.

Sebelum saya cek in, beberapa teman saya menyarankan untuk minta second opini ke dokter yang lebih senior. Tapi waktu itu saya bingung karena dokter yang dimaksud baru praktek jam 6 sore sedangkan kondisi Nielsen sudah sangat lemas saya khawatir dia dehidrasi dan saya takut kalau kamarnya tidak diambil sekarang maka harus waiting list lagi.

Akhirnya saya cek in tanpa second opini. Nielsen langsung diambil darah lagi untuk yang ke 3 kalinya dan langsung diinfus. Malam itu Nielsen terlihat tidur dengan nyenyak, walaupun masih sesekali dia rewel karena tidak nyaman akibat infus, tapi kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya.