Perjalanan Iman melalui “Kawasaki Disease” – part 2


Kamis pagi, 14 Februari 2013, Valentine’s day, pagi-pagi jam 6 dokternya Nielsen sudah datang membawa hadiah kecil untuk Nielsen sekaligus membawa kabar buruk untuk kami. Hasil tes semalam mengkonfirmasi dugaan penyakit Kawasaki. Nilai CRP yang tinggi, trombosit yang sudah di angka 556 dan LED 101. Dokter sudah yakin Nielsen terkena penyakit Kawasaki. Saat itu yang ada di benak saya adalah pertama, puji Tuhan karena penyakitnya sudah diketahui dengan jelas, dan thank God it is not Campak – mengingat teman saya yang sedang hamil besar itu…. Yang kedua, hati saya sungguh takut karena apa yang saya baca semalam sebelumnya membeberkan fakta tentang penyakit Kawasaki yang jauh lebih kompleks dibanding Campak.

Dokter bilang, obat satu-satunya untuk penyakit ini adalah Gammaraas, yaitu plasma darah dari donor yang sudah disterilkan. Satu botol (satu vial) harganya 2.7juta dan untuk Nielsen yang waktu itu beratnya 10kg, dia membutuhkan 8 botol. Obat akan mulai diberikan malam itu secara bertahap, 2 botol per hari hingga 4 hari. Selain itu, Nielsen harus minum aspirin untuk mengencerkan darahnya. Begitu kata dokter. Ketika saya tanyakan pada dokter tersebut apakah dia sudah pernah menangani pasien Kawasaki, dia jawab, ya sudah, 2 orang dan mereka sembuh. Dokter berharap semoga belum terkena jantung mengingat sejak mulai Nielsen sakit, hari itu sudah hari yang ke 14. Dia menyarankan Echo jantung hari Senin. Saya meminta supaya prosedur itu dimajukan saja supaya kita semua bisa lebih tenang kalau sudah echo jantung. Tapi dokter bilang, tidak usah buru-buru, karena kalaupun sudah kena jantung, there is nothing we can do about it. Tidak ada yang bisa dilakukan. Saya lalu mencatat dan menginformasikan hal ini pada suami saya.

Di saat seperti itu, berapapun harga obatnya, rasanya saya tidak perlu menawar dan mencari atau membanding-bandingkan harga. Yang ada di pikiran saya, Nielsen harus sembuh, whatever it cost!

Saya diskusi dengan beberapa teman dan mereka menyarankan untuk tetap minta second opini dulu sebelum obat masuk. Saya diberi kontak beberapa kenalan baru yang anaknya pernah kena Kawasaki juga dan memang cirri-ciri gejalanya mirip dengan yang dialami Nielsen. Panas tinggi yang tidak kunjung turun, rash di seluruh tubuh, bibir pecah-pecah dan merah, mata yang merah namun tidak ada kotoran. Namun, dia bilang bahwa pemberian obatnya seharusnya secara langsung, yaitu 8 botol non stop, bukan 2 botol per hari seperti yang disarankan dokter Nielsen.

Selain itu, saya kirim hasil tes darah Nielsen pada teman saya yang juga seorang dokter dan dia bilang memang dari hasilnya mengarah ke Kawasaki. Dan obat yang disarankan memang betul. Dia menyarankan agar Nielsen dibawa ke Jakarta saja karena disana ada Kawasaki Centre di Tangerang dan ada dokter yang sangat ahli menangani penyakit ini. Saya kontak dokter tersebut namun beliau sedang cuti sampai minggu depan. Akhirnya saya putuskan Nielsen dirawat di Semarang karena penyakit Kawasaki ini menyerang jantung dan kalau terlambat ditangani bisa fatal.

Malamnya, obat mulai masuk lewat infus. Saya sempat bertanya pada dokter, mengapa harus 2 botol per hari, karena saya dapat info dari teman saya yang anaknya sudah pernah Kawasaki, katanya harus langsung diberikan dalam waktu 12 jam. Dokter bilang, kalau dimasukkan langsung takutnya anaknya tidak kuat, karena masih kecil, takutnya kejang-kejang Bu! Ow… ya sudah, saya pikir demi kebaikan Nielsen, mungkin dokter ini ada benarnya juga.

Intravenous Immunoglobulin Gammaraas

Intravenous Immunoglobulin Gammaraas

Sabtu, 16 Februari 2013, setelah 2 hari berturut-turut obat masuk, suhu tubuh Nielsen mulai normal dan rash nya sudah memudar. Nielsen sudah kelihatan lebih ceria dan nafsu makannya mulai kembali, bahkan dia sangat lahap. Saya senang melihat perkembangan tersebut walaupun Nielsen masih sangat rewel dan terbangun di malam hari. Sementara saya sangat lelah secara fisik karena sejak mulai sakit, Nielsen tidak mau dengan siapa-siapa, dan dia jadi galak bahkan sama papanya. Jadi, saya benar-benar jaga dia seorang diri di rumah sakit. Jam besuk adalah jam yang saya nanti-nantikan dimana saya bisa sedikit ngobrol dan merasa dikuatkan dengan perhatian teman-teman yang menjenguk. Namun untuk Nielsen, justru dia tidak senang kalau ada visitor karena merasa perhatian saya beralih dan tidak 100 persen untuk dia.

Minggu, 17 Februari 2013, bangun tidur,  Nielsen panas lagi.  Saya tanya susternya, dan saya kontak dokternya. Dokter bilang, mungkin itu karena trauma kemarin dia harus ganti infus. O ya, bisa jadi pikir saya. Tapi seharian itu panasnya  tidak kunjung turun, dan suhunya hampir mencapai 40⁰C, maka diputuskan untuk tes darah lagi karena khawatir ada infeksi lain. Sekali lagi Nielsen harus menjalani proses ‘ambil darah’ untuk yang ke 4 kalinya dalam dua minggu terakhir.

Malamnya, hasil tes menunjukkan kemungkinan adanya infeksi bakteri dan dokter menyarankan pemberian antibiotik dosis tinggi lewat infus. Disitu saya mulai ragu dengan diagnosa dokter. Karena yang saya baca, penyakit Kawasaki itu paling manjur bila sudah masuk obatnya, semua gejala harusnya hilang dan penderita akan merasa segar dan sembuh.

Saya kontak teman saya (dokter) lagi, karena saya orang awam, saya tidak mau dibodohi… Dia bilang gapapa diberi antibiotik karena kalau ternyata memang infeksi bakteri bisa bahaya kalau tidak diberi antibiotik.

Sewaktu saya menyetujui pemberian antibiotik, saya bertanya pada dokter, apa yang bisa menjamin kalau anak saya ternyata benar-benar kena bakteri atau terkena secondary infection seperti yang dibilang dokter. Dia bilang, kita bisa mengambil sampel darah dan mengkulturkannya selama beberapa hari sehingga bisa teridentifikasi jenis bakterinya dan seandainya kambuh di kemudian hari, bisa diberi obat yang tepat. Saya setuju dengan proses tersebut tapi konsekuensinya adalah Nielsen harus diambil darahnya lagi – untuk yang ke 5 kali! Sebetulnya saya tidak tega, tapi demi untuk pembuktian diagnosa….

Senin, 18 Februari 2013, pagi-pagi sekali, dua orang perawat, satu laki-laki dan satu seorang perempuan dari bagian Laboratorium sudah tiba di kamar kami. Nielsen masih terlelap tidur. Mereka berusaha mencari pembuluh darah, tusuk sana, tusuk sini, tidak berhasil. Saya sudah tidak tega, kasian sekali Nielsen sudah trauma. Mereka bahkan mencoba dari kaki, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya, setelah kesekian kalinya, mereka berhasil. Setengah jam kemudian, saya ditelpon oleh bagian laboratorium…. “ibu, maaf sekali, kami harus mengambil darah adik Nielsen sekali lagi, karena darah yang tadi diambil membeku – jadi kami harus ambil sekali lagi, maaf ya Bu”. My poor boy!

The good news is, hari itu Nielsen sudah tidak panas lagi. Sesuai janji, siang itu Nielsen di echo jantungnya.  Nielsen senang karena dia duduk di kursi roda kecil dan saya mendorongnya. Tapi setelah dia masuk ruangan echo, dia menangis melihat dokter dan susternya. Nielsen tidak mau tidur terlentang sewaktu di echo dan akhirnya echo dilakukan sambil dipangku. Suster dan dokternya terlihat kurang serius dalam menjalankan proses ini.  Saya sempat meragukan dan bertanya,”Dok, emang gapapa ya kalo di echo sambil dipangku?”

“Oh, gapapa Bu.” Lalu dokter bilang sama suster ,”Sus, minta kecapnya lagi sus!” Yang dimaksud dokter adalah gel untuk di dada Nielsen minta ditambah karena sudah kering.  Setelah mendengar itu Nielsen langsung nangis keras sekali… “ga mau dikasih kecap… ga mau dikasih kecappppp!” Dia menjerit-jerit sambil meronta-ronta. Sementara Dokter dan suster masih melanjutkan proses echo jantung Nielsen. Lalu saya bertanya lagi, “Dok, apa mungkin nanti saja ya kalau anak saya sudah tenang?”

“Oh, tidak apa-apa kok Bu, bisa kok.”

Akhirnya selesai juga echo jantungnya. Hasil echo baik dan dokternya bilang,”Bagus Bu,  tidak ada gejala Kawasaki.”

Saya senang dengan hasilnya namun ragu karena prosedur yang dilakukan sangat tidak professional menurut saya.

Selasa, 19 Februari 2013, Nielsen sudah boleh pulang. Pagi itu saya mulai terkena diare dan mulai batuk-batuk. Rasanya saya terlambat makan semalam. Tapi, masih bisa diatasi, dan  akhirnya setelah hari-hari yang mencemaskan dan tentunya melelahkan fisik dan mental, kami kembali ke rumah. Home sweet home.

Leave a comment